CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Minggu, Juni 06, 2010

What Is Constructivism Theory in International Relations???

Teori konstruktivisme merupakan sebuah teori dalam hubungan internasional yang berfokus pada segi sosial dari politik dunia atau bisa disebut juga sebagai intersubjektif. Kaum konstruktivis berpendapat bahwa dunia sosial serta hubungan internasional merupakan suatu konstruksi manusia. Maksud dari konstruksi manusia di sini, dijelaskan dalam buku “Introduction to International Relations”, dunia sosial itu sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang hukum-hukumnya dapat dijelaskan secara ilmiah melalui penelitian-penelitian maupun teori ilmiah, melainkan dunia sosial itu dibentuk atau dibuat oleh masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, itulah mengapa dunia sosial sangat berarti bagi masyarakat yang hidup di dalamnya dan yang memahaminya. (Jackson & Sorensen. 1999). Kaum konstruktivis, dalam rangka membangun suatu konstruksi lebih memilih mengambil posisi sebagai subjektifis yang berkenaan dengan keyakinan kaum konstruktivis dimana realitas itu berada di dalam pikiran masing-masing pengamat. Lantas mengapa harus secara subjektifis? Kaum konstruktivis menyatakan justru dengan jalan inilah yang merupakan satu-satunya cara untuk dapat menciptakan suatu interaksi subjektif agar realitas tersebut dapat diakses. Andrew Bradley Philips mendefinisikan teori konstruktivisme sebagai suatu pandangan yang berfokus pada pembentukan karakter secara sosial oleh kepentingan dan identitas aktor, serta seiring dengan kepercayaan akan kelemahan untuk merubah berbagai praktek-praktek dan institusi dalam politik dunia yang kelihatannya bersifat kekal. (dalam Griffiths. 2007).

Asumsi dasar konstruktivisme, seperti yang dijelaskan oleh Agnes Sri Poerbasari menyangkut tiga aspek ilmu pengetahuan, yaitu ontologi, epistemologi serta metodologi. Dilihat dari segi ontologi, diasumsikan jika banyak interpretasi yang dapat diajukan untuk suatu realitas namun tidak dapat ditentukan adanya kebenaran tertinggi terhadap konstruksi tersebut, maka tidak ada jalan lain kecuali mengambil relativisme sebagai suatu posisi. Relativisme adalah bentuk pemikiran yang menjunjung keterbukaan sekaligus merupakan proses pencarian terhadap konstruksi-konstruksi baru secara terus menerus sehingga para konstruktivis dapat melihat realitas yang bercorak plural dan berada di dalam pikiran masing-masing orang.

Jika dilihat secara epistemologi, seperti yang telah dijelaskan di atas, para konstruktivis lebih mengambil peran sebagai subjektifis sebagai sarana membangun konstruksi. Mengingat pandangan ontologi yang menyatakan bahwa realitas itu berada di dalam pikiran masing-masing orang, maka para konstruktivis menggunakan interaksi subjektif sebagai cara untuk dapat mengakses realitas tersebut.

Dan aspek yang terakhir, yaitu metodologi yang menyangkut metode pembentukan pengetahuan, para kaum konstruktivis mula-mula mengidentifikasi berbagai konstruksi yang ada. Selanjutnya, mereka menggunakan metode hermeneutika dan dialektika sebagai cara untuk mencapai konsensus. Penggunaan kedua metode ini dalam konstruktivisme sebenarnya bertujuan untuk membangun konstruksi yang lebih canggih sekaligus untuk mempertahankan keterbukaan saluran komunikasi sehingga proses konstruksi berikutnya tidak mengalami hambatan. Melalui metode hermeneutika, suatu konstruksi dapat diurai setepat mungkin, sedangkan melalui metode dialektika, suatu konstruksi lama akan diperbandingkan dan dibedakan dengan konstruksi yang akan dibangun. (dalam Asrudin & Suryana. 2009). Jadi dapat dikatakan bahwa konstruktivisme itu tidak bertujuan untuk menghasilkan pengetahuan yang dapat digunakan untuk memprediksi, mengontrol dan mentranformasi dunia riil, melainkan merekonstruksi dunia yang terjadi di dalam benak para konstruktivis. Jika terdapat proses transformasi, maka pikiranlah yang ditransformasi dan bukan dunia riil.

Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Alexander Wendt yang menyebutkan bahwa konstruktivis itu sangat menekankan peran pemikiran serta pengetahuan bersama. Dilema keamanan, sebagai contoh, menurut Wendt bukan hanya dibuat dari fakta bahwa dua negara berdaulat memiliki persenjataan yang sangat mematikan, namun juga bergantung pada bagaimana negara-negara tersebut memandang satu sama lain. Kita tahu bahwa dilema keamanan adalah struktur sosial yang terdiri dari pemahaman intersubjektif dimana negara-negara sangat curiga bahwa mereka membuat asumsi-asumsi keadaan yang buruk tentang maksud dari masing-masing pihak dan sebagai akibatnya adalah terjadi saling curiga, tidak terdapat adanya kerja sama serta menolong diri sendiri. Wendt kemudian menyebutkan adanya suatu komunitas keamanan yang merupakan struktur sosial yang berbeda dari dilema keamanan tersebut. Komunitas keamanan terdiri dari pengetahuan bersama dimana negara saling percaya satu sama lain sehingga mereka dapat menyelesaikan perselisihan tanpa perang. (dalam Jackson & Sorensen. 1999).

Konstruktivis, muncul dalam konteks disiplin yang lebih berubah-ubah (tidak stagnan) pada periode pasca Perang Dingin. Namun, sejauh konstruktivisme saling berbagi perhatian yang serupa dengan teori kritis, maka rekapitulasi atas perbedaan-perbedaan yang ada sangat diperlukan sebelum perdebatan dalam menjembatani antara rasionalis-konstruktivis dievaluasi. (Griffiths. 2007). Terdapat beberapa hal yang membedakan antara konstruktivis dan rasionalis, namun penulis hanya akan menyebutkan dua diantaranya saja, mengingat keterbatasan yang dimiliki penulis. Pertama, Finnemore dan Sikkink menyebutkan bahwa konstruktivis lebih bersifat idealis filosofis daripada materialis. Mereka berpendapat bahwa struktur material memperoleh arti sosial hanya melalui pengartian bersama intersubjektif melalui apa yang mereka mediasikan. (Finnemore & Sikkink. 2001). Konstruktivis tidak menyangkal fenomena nyata dari proses material seperti proliferasi nuklir, namun mereka menyarankan bahwa satu-satunya yang dapat memahami respon tingkah laku para aktor untuk mengatakan sebuah fenomena dari referensi menuju ke artian bersama struktur melalui proses-proses yang dipahami. Apakah proliferasi nuklir itu akan dirasa mengancam stabilitas internasional, mempertingginya, atau bahkan melakukan efek netral akan bergantung pada kepentingan dan identitas aktor, yang mana dikonstruksikan secara sosial daripada dapat diduga secara logis dari posisi struktural seseorang dalam sistem internasional.

Kedua, rasionalis dan konstruktivis memiliki perbedaan berkenaan dengan konsepsi mereka tentang tindakan logis agen yang dominan. Tingkah laku, menurut konstruktivis dipandang sebagai dasar norm-driven, dengan negara yang meyakinkan sebuah kesesuaian antara kelakuan mereka sendiri dan ketentuan-ketentuan tertentu untuk mengesahkan perilaku yang berasal dari identitas mereka. (Finnemore. 1996). Jauh dari nilai ornamental yang murni, norma menguji pengaruh besar pada perilaku negara dengan menolong mengangkat identitas negara dan kepentingannya, serta mengkondisikan dan mendesak strategi dan tindakan yang dijalankan oleh suatu negara sejauh yang ada pada kepentingan mereka. Posisi yang sedemikian ini sangat kontras dengan kepercayaan rasionalis bahwa perilaku agen tidak diperintah melalui kepatutan yang logis namun melalui konsekuensi yang logis. (Baldwin. 1993)

Mengenai masalah argumen via realisme dan idealisme, seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya adalah berkenaan tentang kondisi anarki. Alexander Wendt memberikan pandangannya bahwa sesungguhnya yang disebut dengan anarki adalah “apa yang dibuat negara darinya.” (what states make of it). Tidak ada dunia internasional objektif yang terpisah dari praktek-praktek dan institusi yang telah diatur negara. (Wendt. 1992). Wendt menyangkal tesis Kenneth Waltz dengan menyebutkan bahwa sesungguhnya menolong diri sendiri dan politik kekuatan itu bukan merupakan fitur penting anarki, karena keduanya merupakan bentuk institusi. Wendt menyebutkan bahwa sifat sistem internasional (entah kooperatif ataupun konfliktual) itu merupakan hasil dari konstruksi negara-negara dan bagaimana negara-negara tersebut bertindak yang tentunya juga dipengaruhi oleh faktor psikologis dari tiap negara.

Konstruktivis bersikeras bahwa hubungan internasional itu tidak bisa direduksi menjadi tindakan rasional dan interaksi dalam batasan material (seperti beberapa klaim realis) atau dalam batasan institusional pada tingkat internasional dan nasional (seperti yang dikatakan oleh beberapa liberal internasionalis). Bagi konstruktivis, interkasi antar negara tidak hanya sebatas meliputi kepentingan nasional tertentu saja, namun harus dipahami bahwa interaksi itu adalah suatu pola tindakan yang membentuk identitas maupun dibentuk oleh identitas dari waktu ke waktu. (Griffiths. 2002). Yang membedakan dengan pendekatan teoritis lain, adalah konstruktivis mengajukan sebuah model interaksi internasional yang mengkaji pengaruh normatif struktur institusi yang fundamental dan hubungan antara perubahan normatif, identitas negara serta kepentingan negara. Pada saat yang bersamaan, institusi itu sendiri secara konstan berpotensi mengalami perubahan seiring dengan aktivitas negara dan faktor lain.

Menurut konstruktivis, institusi internasional itu mempunyai fungsi regulatif dan konstitutif. Norma regulatif mengatur peraturan dasar sebagai standar kepemimpinan dengan cara menentukan atau melarang perilaku tertentu. Sedangkan apa itu yang disebut sebagai norma konstitutif ialah norma yang menegaskan suatu perilaku dan memberikan artian tentang perilaku tersebut. tanpa norma konstitutif, suatu tindakan tidak akan dapat dimengerti. Sebenarnya, lebih dari sekedar hal tersebut, norma konstitutif itu juga dapat diumpamakan sebagai peraturan suatu permainan. Seperti halnya permainan catur, norma konstitutif ini memungkinkan aktor memainkan perannya dengan disertai dengan pengetahuan sebagai respon balik terhadap tindakan yang dilakukan oleh aktor lain.

Referensi:
Asrudin & Suryana, Mirza Jaka. (2009). Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke Kontemporer. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Baldwin, D.A. (1993). Neorealism and Neoliberalism: The Contemporary Debate. New York: Columbia University Press.

Finnemore, M. (1996). National Interests in International Society. New York : Cornell University Press.

Finnemore, M. & Sikkink, K. (2001). Taking Stock: The Constructivist Research Program in International Relations and Comparative Politics, Annual Review of Political Science 4: 391–416.

Griffiths, Martin & O’Callaghan, Terry. (2002). International Relations : The Key Concepts. New York : Routledge.

Griffiths, Martin. (2007). International Relations Theory for the Twenty-First Century : An Introduction. Routledge.

Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999). Introduction to International Relations. New York : Oxford University Press.

Wendt, Alexander. (1992). Anarchy Is What States Make of It, International Organization, 46 : 394-419.

0 Comments: