Berbicara mengenai interupsi dalam globalisasi, berdasarkan artikel yang kami baca rupanya memang terdapat beberapa interupsi yang terjadi selama proses globalisasi. Menurut artikel yang saya peroleh dari situs milik IMF (International Monetary Funds), interupsi dalam globalisasi muncul pada sekitar awal abad ke-20 an yang dipicu oleh gelombang proteksionisme serta nasionalisme yang agresif, dimana kedua pemicu tersebut menghantarkan kita pada Great Depression dan perang dunia. (http://www.imf.org/external/np/exr/ib/2002/031502.htm). Great Depression dan perang dunia telah kita ketahui membawa berbagai perubahan pada aspek kehidupan manusia, termasuk membawa krisis ekonomi yang hebat pada waktu itu. Beberapa peristiwa yang dapat dijadikan sebagai bukti dari krisis global yang pernah terjadi dapat kita lihat pada peristiwa kemunduran ekonomi Jepang, kegagalan transisi Uni Soviet menuju ekonomi pasar pada sekitar tahun 1990-an, serta munculnya kembali masalah finansial di Brazil.
Dalam artikelnya yang berjudul The Global Financial Crisis, George Soros menjelaskan dengan gamblang mengenai krisis yang melanda finansial global, salah satu contohnya adalah krisis yang melanda benua Asia. Penyebab cepat krisis finansial ini, menurut Soros, dikarenakan oleh ketidaksejajaran nilai tukar mata uang. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara mempertahankan susunan informal-nya yang mengikat nilai tukar mereka terhadap dollar Amerika. Stabilitas taraf dollar yang nyata, mendorong bank serta perusahaan lokal untuk meminjam dollar dan mengkonversikan dollar terhadap mata uang lokal tanpa ada batasan-batasan tertentu. Tapi susunan yang sedemikian muncul di bawah tekanan, sebagian berasal dari penilaian nilai tukar China pada tahun 1996, dan sebagian lagi berasal dari apresiasi dollar Amerika terhadap yen Jepang. (Soros. 1998). Akhirnya, pada awal tahun 1997, ketidaksesuaian antara perhitungan perdagangan dan perhitungan kapital menjadi tidak dapat dipertahankan. Krisis pun muncul seiring pemerintah Thailand menaikkan nilai tukar mata uangnya, krisis ini, oleh Soros, terjadi lebih lambat dari yang diperkirakan karena pemerintah keuangan setempat tetap mendukung nilai tukar mereka untuk semakin tinggi dan semakin tinggi sehingga bank-bank internasional melanjutkan untuk perpanjangan peminjaman. Kemudian, krisis pun menyebar bagai jamur dengan cepat ke berbagai penjuru, seperti Malaysia, Indonesia, Filipina, Korea Utara dan negara-negara lainnya.
Ada beberapa kelemahan dalam struktur ekonomi Asia, terutama Asia Timur. Jika dilihat, memang kebanyakan perusahaan dimiliki oleh keluarga sendiri, maksudnya di sini adalah perusahaan yang bersifat tertutup, artinya hanya para anggota keluarga-lah yang boleh menentukan kebijakan-kebijakan perusahaan dan berdasarkan pada tradisi Konfusian, bahwa keluarga ingin menguasai kendali penuh. Jika mereka memutuskan untuk membuat perusahaan yang bersifat terbuka dan memberikan saham kepada masyarakat, mereka cenderung untuk bersikap tidak memperdulikan hak dari pemegang saham yang minoritas. Dan ketika mereka tidak sanggup membiayai untuk pertumbuhan pendapatan perusahaan, mereka lebih memilih untuk bergantung pada pinjaman daripada resiko kehilangan kendali. Pada waktu yang sama, pejabat-pejabat tinggi pemerintahan menggunakan kredit dari bank sebagai alat untuk pelaksanaan kebijakan industri. Gabungan dari faktor yang telah kami sebutkan di atas pada akhirnya menghasilkan pinjaman yang sangat tinggi pada sektor finansial.
Stephen Gill, menambahkan dalam artikelnya yang berjudul The Geopolitics of The Asian Crisis bahwa krisis ekonomi di Asia bukan hanya sekedar suatu persoalan pergerakan dalam pasar global, namun faktor geopolitik rupanya juga mempengaruhi. Krisis Asia Timur menunjukkan ada konflik intens antar negara pada bentuk dan arah pola regional serta global dari perkembangan kapitalis. Dalam konteks krisis tersebut, pengarahan dan kendali yang dilakukan oleh negara membentuk politik ekonomi yang ditekan pada liberalisme. (Gill. 2008). Pola umum ini dapat dikenali tidak hanya pada perkembangan yang terjadi pada dewasa ini di Asia, namun juga dapat kita temui pada restrukturalisasi Amerika Latin seiring krisis pada awal tahun 1980-an serta kegagalan transisi Uni Soviet pada awal 1990-an seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Menurutnya, krisis di Asia Timur ini menggambarkan fase ketiga dalam proses strategi dominasi Amerika Serikat. Krisis ini merupakan suatu bentuk otoriter, dimana kapitalisme yang bersifat state-directed menghalangi tipe spesifik dari internasionalisasi modal. Sasaran Amerika Serikat adalah sistem perusahaan swasta bebas secara global (global free enterprise system), yang memungkinkan bagi para investor besar serta perusahaan transnasional raksasa untuk memperoleh kendali yang lebih besar pada masa depan aliran keuntungan suatu wilayah serta memastikan pasar bebas tenaga kerja, sehingga modal dapat mengeksploitasi tenaga kerja. Rencana yang demikian, membutuhkan peran serta pemerintah setempat untuk melanjutkan tindakan ini, dan mampu mempertahankan perintah politik, karena proses penyesuaian struktural ini sangat sulit. Globalisasi nyatanya memang pernah mengalami interupsi-interupsi dalam prosesnya.
Referensi:
Gill, Stephen. (2008). The Geopolitics of The Asian Crisis, dalam Power and Resistence in The New World Order. New York : Palgrave Macmillan.
International Monetary Funds. (2002). Globalization : A Framework for IMF Involvement. (http://www.imf.org/external/np/exr/ib/2002/031502.htm). Diakses tanggal 6 Juni 2010.
Soros, George. (1998). The Global Financial Crisis, dalam The Crisis of Global Capitalism. New York : Public Affairs.
Minggu, Juni 13, 2010
Krisis Globalisasi
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 6:38 PM
Label: Jurnal Pengantar Globalisasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Posting Komentar