CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, Juni 06, 2011

Geopolitik Amerika Serikat di Afghanistan dan Irak

Amerika Serikat sebagai negara besar semenjak dahulu memiliki keinginan sebagai pemimpin dunia. Perang Dingin dengan Uni Soviet membuat Amerika Serikat mengeluarkan serangkaian kebijakan, salah satunya adalah containment policy dengan agenda untuk membendung penyebaran ideologi komunis di seluruh dunia. Negara-negara kawasan Timur Tengah dipandang oleh Amerika Serikat sebagai peluang untuk mempersempit ruang gerak persebaran komunis. Tak hanya itu, Amerika Serikat juga memiliki serangkaian kepentingan lain di dalamnya, seperti kepentingan ekonomi hingga kepentingan politik. Pada kesempatan ini, penulis akan menjelaskan tentang geopolitik Amerika Serikat di Afghanistan dan Irak yang termasuk sebagai negara kawasan Timur Tengah yang potensial bagi Amerika Serikat.

Afghanistan dipandang sebagai salah satu jalan masuk Amerika Serikat untuk membendung ideologi komunis mengingat letaknya yang berdekatan dengan Republik Rakyat Cina serta Rusia. Jikalau Afghanistan dapat dikuasai oleh Amerika Serikat, maka negara tersebut akan dapat dengan mudah mempersempit sphere of influence Republik Rakyat China maupun Rusia.
Karena itulah pada peristiwa pengeboman gedung World Trade Center serta gedung Pentagon pada 11 September 2001 memberikan momentum yang tepat bagi Amerika Serikat yang dipimpin oleh George W. Bush untuk menerapkan strategi containment pada Afghanistan dengan mengeluarkan kebijakan war on terrorism. Pada kebijakan tersebut, Bush secara tegas meminta keikutsertaan seluruh negara-negara di dunia untuk memerangi terorisme dengan memberikan dua opsi, yaitu “Either you are with us or you are with the terrorists”. Dalam pernyataannya tersebut, Bush jelas menolak memberikan ruang bagi negara-negara yang lebih memilih netral.

Dengan berbekal Bush Doctrines serta penuduhannya pada Al-Qaida sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa 9/11, Amerika Serikat lantas melakukan serangan terhadap Afghanistan pada 7 Oktober 2001. Penyerangan tersebut dimaksudkan untuk memaksa Taliban menyerahkan orang-orang yang terlibat peristiwa penyerangan World Trade Center dan Pentagon yang dianggap sebagai teroris oleh Amerika Serikat. Posisi strategis Afghanistan yang terletak diantara China dan Rusia dapat dimanfaatkan Amerika Serikat untuk menghancurkan hubungan kerja sama antar kedua negara tersebut serta mengontrol kebijakan opium di samping pencarian kepentingan terhadap sumber daya alam minyak (Guttinger, 2011).

Opium termasuk komoditi yang menjadi salah satu incaran Amerika Serikat di sektor pengembangan ekonomi mengingat ketika opium memiliki harga yang tinggi di pasar gelap, yaitu dengan harga sekitar US$ 125 per kilogram opium kering serta sekitar US$ 4622 per hektar-nya (Glaze, 2007: 5). Selain itu, opium termasuk sebagai tanaman yang mudah untuk ditanam, tahan terhadap kondisi kering, mudah diangkut dan disimpan, tidak mudah rusak, tidak memerlukan pendingin serta membawa keuntungan yang besar, sehingga jelas saja Amerika Serikat pun memiliki keinginan untuk ikut mengatur kebijakan opium di Afghanistan di samping juga berkeinginan untuk menghancurkan pemerintah Afghanistan mengingat sampai sekarang opium merupakan komoditi penghasil devisa terbesar di Afghansitan.

Selain Afghanistan, Amerika Serikat juga melancarkan invasinya pada Irak yang dipimpin oleh Saddam Husein. Dalam kasus Irak, Amerika Serikat menggunakan alasan kepemilikan Irak atas Weapon of Mass Destruction (WMD) atau senjata pemusnah massal. Meskipun nyatanya Amerika Serikat belum menemukan bukti otentik kepemilikan Irak atas senjata tersebut, namun Amerika Serikat tetap menginvasi Irak dengan menggunakan kebijakan pre-emptive sebagai pendukungnya. Alasan lain yang mendukung Amerika Serikat untuk melancarkan serangan ke Irak berkaitan dengan masalah ekonomi adalah adanya kekhawatiran Amerika Serikat terhadap Irak yang menggunakan mata uang Euro dalam berbagai perdagangan internasionalnya. Peralihan penggunaan mata uang ini oleh Irak dimaksudkan untuk menghilangkan ketergantungan negaranya terhadap Dollar, apalagi pada 19 Maret 2003 lalu, mata uang Euro mengalami kenaikan hingga 22,5% atas mata uang Dollar. Kekhawatiran Amerika Serikat pun kemudian tidak hanya peralihan penggunaan mata uang Euro pada Irak saja, namun juga pada kemungkinan keikutsertaan negara-negara sekitar Irak lainnya untuk mengganti mata uang perdagangan internasionalnya ke mata uang Euro yang apabila berimbas terlalu luas dapat berakibat pada terjadinya guncangan finansial Amerika Serikat (Clark, 2003).

Selain itu, invasi Amerika Serikat ke Irak juga dikarenakan oleh misi pendemokrasian bangsa Irak. Amerika Serikat yang menganggap dirinya sendiri sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi serta hak asasi manusia memandang kepemerintahan Saddam Husein di Irak merupakan salah satu ciri pemerintahan yang bersifat otoriter dan sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi sehingga dapat menyengsarakan rakyat Irak. Karena itulah Amerika Serikat berniat untuk menggulingkan pemerintahan Saddam Husein dan menggantinya dengan kepemerintahan baru. Letnan Jenderal Jay Garner dan beberapa staf pemerintahan Amerika Serikat ditugaskan untuk melakukan rekonstruksi langsung serta mengelola kementerian Irak pada April 2003. Garner mengepalai Office of Reconstruction and Humanitarian Assistance (ORHA) dibawah pengawasan departemen pertahanan (Department of Defense / DOD). Dengan adanya pemerintahan tersebut, tentunya membuang proyek Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang dinamai Future of Iraq Project. Proyek ini sebelumnya telah dirancang untuk perencanaan kepemerintahan Irak setelah jatuhnya Saddam Husein. Garner mulai mencoba mendirikan perwakilan rezim penerus dengan mengatur pertemuan di Nassiriyah pada 15 April 2003 dengan mengundang sekitar 100 etnik Irak yang beragam. Selanjutnya, pada tanggal 26 April 2003 di Baghdad, diadakan pertemuan dengan mengundang sekitar 250 tokoh-tokoh yang kemudian menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan pertemuan yang lebih luas satu bulan kemudian untuk memberikan nama pada pemerintahan sementara (Katzman, 2009: 9).

Kemudian, pada Mei 2003, Presiden Bush kemudian menempatkan Duta Besar L. Paul Bremer untuk menggantikan Garner dengan mengepalai Coalition Provisional Authority (CPA) dan tidak melanjutkan proses transisi yang dilakukan Garner serta menunjuk suatu badan penasehat Irak yang terdiri dari 25 anggota dengan nama Iraq Governing Council (IGC). Pada September 2003, IGC juga menunjuk 25 anggota kabinet untuk menjalankan pemerintahan yang terdiri dari sedikit anggota Muslim Syi’ah. Kebencian semakin bertambah ketika CPA memberlakukan kebijakan de-Baathification yaitu membersihkan pemerintah dari 30.000 warga Irak yang menduduki empat peringkat teratas Partai Baath (CPA Order 1) serta tidak menugaskan kembali angkatan bersenjata era Saddam (CPA Order 2). (Katzman, 2009: 10).

Kepemerintahan sementara Amerika Serikat di Irak juga mengalami tantangan terutama berasal dari Ayatollah Ali Sistani. Nyatanya pada tanggal 26 Agustus 2004, Sistani berusaha menunjukkan pada pemerintah sementara Amerika Serikat (IIG) serta CPA bahwa dia adalah orang yang memegang peranan penting dalam proses transisi damai. Pengaruh Sistani dan otoritasnya sebagai Maraji at-Taqlid terus menunjukkan bahwa ia adalah orang yang paling dihormati dan berpengaruh di Irak serta memerangi propaganda media (Rahimi, 2004: 2). Sistani menunjukkan peranannya dengan menolak konstitusi sementara (transitional administrative law), sistem pemilihan sementara yang dilakukan Amerika Serikat serta menggerakkan warga Irak untuk mengadakan aksi protes dan menduduki seluruh kota-kota di Irak. Hal ini tentu saja merupakan ancaman bagi pemerintahan Amerika Serikat di Irak yang berkeinginan untuk menguasai Irak agar dapat mempersempit ruang gerak komunis.

Dari kasus invasi Amerika Serikat di negara-negara Timur Tengah tersebut, tetap ada interest yang sama yaitu penguasaan minyak, mengingat sekitar 42% kebutuhan minyak Amerika Serikat disokong dari cadangan minyak di Timur Tengah. Tentu saja Amerika Serikat berniat untuk menguasai sumber daya alam minyak di Timur Tengah dalam kaitannya untuk kemudian dapat mengontrol peredaran minyak di seluruh dunia atau bahkan ingin untuk dapat berpengaruh dalam penentuan harga minyak internasional. Di samping itu, usaha ‘pendemokrasian’ juga menjadi fokus invasi Amerika Serikat pada negara-negara kawasan Timur Tengah, ketika para pemimpinnya dianggap telah menjalankan pemerintahan yang tidak demokratis. Kemudian, hal yang lebih penting lagi terkait invasi Amerika Serikat di negara-negara Timur Tengah ialah sebagai pengimplementasian containment policy untuk membendung atau mempersempit ruang gerak pengaruh komunis yang dikhawatirkan semakin menyebar di negara-negara tersebut (salah satunya terbukti ketika kebanyakan senjata yang digunakan negara-negara Timur Tengah merupakan senjata produk China maupun Russia).

Referensi:

Clark, William. (2003). The Real Reasons for the Upcoming War with Iraq: A Macroeconomic and Geostrategic Analysis of the Unspoken Truth. http://www.ratical.org/ratville/CAH/RRiraqWar.html#p3a. Diakses 16 Mei 2011.

Glaze, John A. (2007). Opium and Afghanistan: Reassessing US Counternarcotics Strategy. Research Strategic Studies Institute.

Guttinger, Anne F. (2011). Geopolitics of US. Kuliah Geopolitik dan Geostrategi minggu ke-7. Universitas Airlangga: Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Katzman, Kenneth. (2009). Iraq: Post-Saddam Governance and Security. Congressional Research Service.

Rahimi, Babak. (2004). Ayatollah Ali Sistani and the Democratization of Post-Saddam Iraq. Nathan Hale Foreign Policy Society.