CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Selasa, September 13, 2011

Geopolitik dan Geostrategi Negara-Negara Asia Tengah dan Kawasan Laut Kaspia

Laut Kaspia merupakan kawasan di sekitar negara-negara kawasan Asia Tengah yang memiliki sumber daya alam minyak dan gas alam yang tinggi di dalamnya. Laut Kaspia terletak di antara Azerbaijan, Iran, Kazakhstan, Russia dan Turkmenistan. Kita tahu bahwa minyak merupakan suatu komoditi yang sangat vital bagi kehidupan manusia ketika disadari bahwa minyak tergolong sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Perburuan akan sumber daya alam minyak semakin meningkat ketika banyak negara mulai memasukkan kebutuhan tersebut sebagai salah satu interest yang harus dipenuhi atau bahkan dikuasai semenjak Perang Dunia I hingga saat ini demi berbagai kepentingan mulai dari kebutuhan energi hingga sebagai pelumas senjata. Faktanya, sejak 1970 konsumsi energi dunia semakin meningkat hingga sebesar 84 persen, yaitu sekitar 207 hingga 382 kuadriliun BTU (British Thermal Unit) dan diperkirakan semakin meningkat lagi sebesar 60 persen dua puluh tahun kemudian. Michel Collon pernah menuliskan suatu hal dalam bukunya yang berjudul Monopoly, yakni, “If you want to rule the world you need to control the oil. All the oil. Anywhere.” Karena jelas bahwa minyak merupakan salah satu kebutuhan vital manusia dalam kehidupan sehari-hari

Selain karena kepemilikan sumber daya alam minyak yang besar di Laut Kaspia, kawasan tersebut menjadi penting karena beberapa keunggulan, diantaranya yang pertama, jika dilihat dari segi geografis, Laut Kaspia merupakan jalur hubungan komunikasi antara benua Eropa dan Asia yang lebih dikenal sebagai Eurasian Pearl. Dapat disebut demikian karena Laut Kaspia dapat menyediakan kesempatan transportasi barang maupun penumpang antara negara-negara kawasan tersebut, serta menjadi kawasan strategis sebagai rute transit yang besar bagi Eropa, Arab Saudi, Asia Timur serta wilayah selatan Laut Kaspia. Kedua, Laut Kaspia memiliki reputasi yang sangat baik dalam aspek perikanan dan menyediakan banyak kesempatan kerja bidang tersebut. Serta yang terakhir adalah Laut Kaspia juga memiliki kualitas caviar yang baik sebagai makanan mewah dan menjadi representasi kemakmuran.

Selain Laut Kaspia, Asia Tengah juga merupakan kepentingan utama bagi negara-negara besar ketika Mackinder menempatkannya sebagai wilayah heartland yang sangat strategis. Dalam teorinya, Mackinder menjelaskan bahwasanya siapa saja yang mampu menguasai heartland, maka dia akan dapat menguasai dunia. Maka kemudian, banyak negara yang memiliki berbagai kepentingan demi menguasai kawasan tersebut, negara besar yang menginginkan kawasan tersebut sebagai contohnya ialah Amerika Serikat dan Rusia. Amerika Serikat dalam hal ini memiliki kepentingan minyak yang besar terhadap negara-negara kawasan Asia Tengah dikarenakan adanya dorongan kebutuhan konsumsi Amerika Serikat akan minyak yang semakin meningkat, bahkan pada tahun 1991 saja, Amerika Serikat mengkonsumsi hingga 17 juta barrel per harinya. Dorongan tersebut kemudian dijawab oleh negara-negara kawasan Asia Tengah yang memiliki cadangan sumber daya alam minyak dengan kualitas bagus, karena itulah kemudian Amerika Serikat berusaha untuk dapat mengadakan berbagai kerja sama dengan negara kawasan Asia Tengah agar kemudian Amerika Serikat dapat memastika akses energi minyak yang lancar di kawasan tersebut. Selain itu, kawasan Asia Tengah digunakan oleh Amerika Serikat sebagai kawasan pembendung sphere of influence komunis Rusia agar tidak semakin menyebar.

Semenjak peristiwa pengeboman gedung World Trade Center dan Pentagon pada 11 September 2001, Amerika Serikat kemudian juga berfokus pada kebijakan war on terrorism untuk mencegah agar negara kawasan tersebut tidak menjadi tempat perlindungan para teroris. Dengan demikian, Amerika Serikat juga dapat mencapai kepentingan nasionalnya dengan menjaga stabilitas keamanan regional dari aksi-aksi terorisme karena dirasa banyak negara Asia Tengah yang memiliki cadangan uranium yang besar, sehingga dikhawatirkan hal tersebut akan disalahgunakan oleh teroris untuk melakukan tindakan kriminal hingga mengenalkan nilai-nilai demokratisasi dan hak asasi manusia, sehingga diharapkan akan terjadi reformasi pada beberapa negara kawasan Asia Tengah yang dianggap tidak demokratis oleh Amerika Serikat.

Maka kemudian, Rusia juga memiliki kepentingan akan sumber daya alam minyak di kawasan Asia Tengah. Kepentingan tersebut juga didorong oleh kepentingan Rusia untuk mensukseskan kebijakan Grand Russia Project yang berkeinginan untuk menyatukan kembali pecahan negara-negara bekas Uni Soviet menjadi satu kembali di bawah naungan Rusia. Rusia juga mengklaim bahwa Laut Kaspia merupakan kawasan inland lake dan bukan merupakan closed sea, yang berarti bahwa kawasan tersebut bukan merupakan subjek hukum dari Law of The Sea. Dan sebagai konsekuensinya, maka eksploitasi yang dilakukan di kawasan tersebut harus melalui kesepakatan kelima negara yang berada di sekitarnya. Hal ini sebagai bentuk pembendungan agar Amerika Serikat tidak dengan serta merta dapat mengeksploitasi sumber daya alam di kawasan tersebut. Dengan demikian, Rusia juga selalu berusaha untuk menghindarkan kawasan-kawasan Asia Tengah (terutama di sekitar Laut Kaspia) dari sphere of influence Amerika Serikat, karena Rusia khawatir jika kawasan tersebut tidak dibendung secara cepat, maka kemudian Amerika Serikat akan memiliki kekuatan dan aset besar yang dapat mengancam keamanan Rusia sendiri. Dalam rangka penguasaan sumber daya alam minyak di kawasan tersebut pun, Rusia juga mengadakan berbagai kerja sama dengan negara-negara kawasan Asia Tengah salah satunya ialah diadakannya kesepakatan antara Rusia, Kazakhstan dan Turkmenistan untuk membangun jalur pipa gas utama baru pada bulan Mei 2007 dengan jalur memutari Laut Kaspia mulai dari Turkmenistan kemudian melalui Kazakhstan yang pada akhirnya sampai di Rusia. Selain dengan Rusia dan Turkmenistan, Kazakhstan juga membangun jalur pipa minyak dengan China. Pada Juli 2005, Presiden Hu Jintao menandatangani sebuah declaration of strategic partnership dengan Nazarbayev yang memiliki agenda pembangunan jalur pipa sejauh 1300 km melalui Atasu hingga Alashankou untuk mentransportasi sekitar 10 juta ton minyak dari pantai kaspia Kazakhstan menuju Propinsi Xinjiang di China.

Isu kepentingan minyak di kawasan Laut Kaspia tersebut kemudian memunculkan masalah baru. Ketika banyak negara besar yang melakukan pengeksploitasian dengan terlalu besar pada kawasan tersebut, telah mengakibatkan berbagai pencemaran air dan menurunkan kualitas perikanan di kawasan tersebut. Atas terjadinya kerusakan tersebut, kemudian muncul kerangka kerja sama berkenaan dengan isu kelingkungan di Laut Kaspia. Isu ini kemudian direalisasikan oleh PBB dengan menciptakan program CEP (Caspian Environmental Program) yang memiliki agenda menjaga kualitas kelingkungan kawasan tersebut dan berusaha untuk mengontrol pengeksploitasian yang selama ini telah dilakukan oleh berbagai negara-negara besar.

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa kawasan Asia Tengah dan Laut Kaspia tersebut memiliki poin strategis tersendiri ketika kawasan tersebut memiliki potensi sumber daya alam yang besar serta letak geografis yang berpengaruh terhadap sphere of influence bagi negara-negara besar, sehingga kemudian yang terjadi ialah persaingan ketat terhadap pengeksplorasian secara besar-besaran pada kawasan tersebut yang kemudian berakibat pada kerusakan lingkungan. Selain itu, pengeksplorasian tersebut juga disertai dengan berbagai motif dari negara-negara besar.

Referensi:

Arvanitopoulos, Constantine. The Geopolitics os Oil in Central Asia. http://www.hri.org/MFA/thesis/winter98/geopolitics.html. Diakses 30 Juni 2011

United States Energy Information Administration. (2002). World Energy Outlook 2002. http://www.eia.gov. Diakses 30 Juni 2011.

Zenolabedin, Y; Yahyapour, M.S & Shirzad, Z. (2009). Geopolitics and Environmental Issues in the Caspian Sea. The University of Guilan.

Senin, September 12, 2011

Geopolitik dan Geostrategi Pakistan Terhadap Afghanistan

Pakistan dianggap penting secara geopolitik oleh negara-negara kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan. Peristiwa seperti konflik Kashmir dan bahaya selanjutnya mengenai senjata nuklir Pakistan, membawa pengaruh ancaman bagi negara-negara di sekitarnya. Kepemimpinan Pakistan sendiri didominasi secara langsung oleh militer, terutama ketika Jenderal Pervez Musharraf berkuasa melalui kudeta yang dilancarkan pada 12 Oktober 1999. Kudeta tersebut dipicu oleh sikap Perdana Menteri Nawaz Sharif yang berusaha untuk memberhentikan Musharraf dari jabatannya sebagai Jenderal Bintang 4 dan melantik Direktur Inter-Service Intelligence Ziauddin Butt untuk menggantikan posisinya. Dominasi militer sebenarnya tidak hanya bertonggak pada pemberontakan tersebut, jika dilihat ke belakang melalui fakta sejarah, pentingnya kekuatan militer Pakistan berakar pada situasi yang sulit semenjak kemerdekaannya pada 1947 serta konfliknya dengan India di daerah Kashmir.

Berkenaan dengan hubungan Afghanistan dan Pakistan, kedua negara tersebut memiliki hubungan yang tidak terlalu baik. Pada September 1947, Afghanistan menjadi satu-satunya negara di dunia yang menolak masuknya Pakistan menjadi salah satu anggota PBB (Siddiqi, 2008). Hal ini tentu saja dirasa sangat menyakitkan bagi Pakistan sebagai negara yang juga sama-sama menganut paham muslim dengan Afghanistan di samping permasalahannya dengan India pada waktu itu. Keadaan tersebut juga menempatkan para pemimpin Pakistan pada situasi kekhawatiran yang kompleks akan posisi geografisnya yang dikelilingi oleh musuh di berbagai sisi. India di sebelah timur Pakistan, Afghanistan di sebelah barat laut Pakistan. Pada tahun yang sama, Pakistan juga mengalami konfrontasi klaim teritorial dari Afghanistan berkenaan dengan bagian propinsi barat lautnya. Afghanistan dengan mayoritas kaum Pashtun-nya sama sekali tidak menyetujui Duran Line bentukan Inggris sebagai pemisah area tersebut yang juga didiami oleh penduduk Pashtun (Kreft, 2008).
Pada sekitar tahun 1979, Pakistan kemudian mengalami situasi dimana negara tersebut ditempatkan pada garis depan Perang Dingin ketika Soviet dengan paham komunisnya mulai menginvasi Afghanistan. Pada waktu itu, Pakistan mendapatkan dukungan militer Amerika yang luas dan Inter-Service Intelligence Pakistan melatih para anggota mujahidin untuk perjuangan mereka melawan Soviet di Afghanistan (Siddiqi, 2008). Sejak saat itu, Pakistan memiliki pengaruh yang besar bagi sekutu Barat nya terutama ketika Amerika Serikat menyadari bahwa Karachi digunakan Afghanistan sebagai penghubungnya dengan pasar internasional mengingat Afghanistan secara geografis tidak memiliki wilayah laut. Tentu hal ini merupakan ancaman bagi Amerika Serikat sehingga melakukan pengawasan secara terus menerus pada Pakistan dengan didorong oleh perasaan khawatir pengaruh komunisme akan semakin kuat untuk memasuki Pakistan mengingat secara geografis Pakistan berbatasan langsung dengan Republik Rakyat China dan disamping Afghanistan yang juga sedang diinvasi oleh Soviet menggunakan Karachi sebagai penghubungnya dengan pasar internasional.

Pada perkembangannya, kehadiran Amerika Serikat semakin penting bagi Pakistan dalam hal geostrategis, terutama semenjak peristiwa 9/11 ketika Amerika Serikat menuduh kelompok Al-Qaeda di Afghanistan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan gedung WTC dan Pentagon. Penuduhan tersebut kemudian membawa Pakistan pada posisi mendukung Amerika Serikat dalam memerangi kelompok teroris di Afghanistan. Pakistan membantu Amerika Serikat dengan fasilitas dan basis-basis militer sebagaimana yang diperlukan intelijen dalam rangka memenangkan perang di Afghanistan dengan cepat. Namun, kurangnya jumlah pasukan darat ternyata hanya mampu memecah Taliban serta Al-Qaeda menjadi berbagai unsur saja, tanpa memusnahkannya. Banyak dari kalangan tersebut yang kemudian melarikan diri ke pegunungan-pegunugan terjal di Afghanistan serta tribal areas di Pakistan (Siddiqi, 2008). Di samping itu, kehadiran tentara Amerika Serikat menjadi penting karena para strategis Pakistan menakutkan adanya aliansi baru antara Kabul dan Delhi. Itulah mengapa kepemimpinan Pakistan merasa sangat khawatir dengan fakta bahwa India telah membentuk sejumlah besar konsulat di Afghanistan, khususnya dekat dengan perbatasan Pakistan.

Hubungan antara Pakistan dan Afghanistan sampai saat ini pun ditandai dengan rasa saling tidak percaya yang mendalam di kedua belah pihak. Rasa tidak percaya tersebut terutama muncul dari Afghanistan, dimana pemerintahan Karzai menuduh Pakistan telah memperbolehkan Taliban untuk berkumpul kembali setelah kekalahan mereka dan pelarian diri mereka ke Pakistan serta kegagalan Pakistan dalam hal mencegah kelompok tersebut memasuki wilayah Afghanistan (Kreft, 2008). Daerah yang digunakan kelompok Taliban baru sebagai tempat berlindung dan rute suplai terutama berada di Federally Administered Tribal Areas (FATA), yang berada di sepanjang perbatasan Pakistan-Afghanistan. Tuduhan tersebut kemudian semakin mencuat dan berujung pada konflik terutama ketika para protester di Kabul menjarah kantor kedutaan Pakistan.

Tuduhan tersebut membuat Pakistan juga mengalami tekanan dalam rangka menolak suaka pada kelompok Taliban di tahun 2002-2003. Pada tahun itu, Amerika Serikat melalui Mayor Steve Clutter sebagai juru bicara militer menerapkan kebijakan hot pursuit dengan meminta hak untuk dapat mengejar para pejuang Taliban dan Al-Qaeda dari Afghanistan yang melarikan diri ke Pakistan tanpa ijin pemerintah setempat (Siddiqi, 2008). Sedangkan pada tahun 2006, hubungan antara Afghanistan dengan Pakistan semakin memburuk tajam. Pada periode ini, para pemberontak Taliban telah mengumpulkan kekuatan kembali, dan dengan berbekal daftar nama-nama serta alamat para pemimpin Taliban yang diduga tinggal di Pakistan, Afghanistan lagi-lagi menuduh Pakistan-lah yang mendukung gerakan pemberontak tersebut serta memberikan perlindungan kepada para pemimpin Taliban di alamat tersebut.

Semenjak pengunduran diri Musharraf pada tanggal 18 Agustus 2008 akibat tekanan impeachment dari pemerintah koalisi Pakistan People’s Party, Pakistan mengalami perubahan geopolitik yang besar. Semasa pemerintahan Musharraf, Pakistan dikenal memiliki kemampuan tentara yang kuat baik secara langsung dalam hal memerintah negara maupun dalam rangka mempertahankan pengawasan atas administrasi sipil. Kejatuhan pemerintahan Musharraf mengakibatkan tentara tidak lagi ditempatkan pada posisi step-in and impose order (Bokhari, 2008). Kepemerintahan yang baru menganggap posisi tentara yang demikian hanya akan mengakibatkan ketidakstabilan negara, sehingga kepemerintahan sebaiknya dipegang oleh kalangan sipil. Namun, semenjak lembaga sipil Pakistan secara historis tidak pernah benar-benar berfungsi secara baik memunculkan keraguan serius akan kelangsungan hidup Pakistan baru yang demokratis. Selain itu, posisi geografis Pakistan yang diapit oleh musuh serta peran tentara yang semakin dipersempit semakin membuat kekhawatiran akan stabilitas negara yang terancam.

Referensi:

Bokhari, Kamran. (2008). Pakistan Geopolitics: The Implications of Musharraf's Resignation. STRATFOR Global Intelligence. www.stratfor.com

Kreft, Heinrich. (2008). The Geopolitical Importance of Pakistan: A Country Caught between Threat of “Talibanisation” and the Return to Democracy. Berlin: Institut für Strategie-Politik-Sicherheits-und Wirtschaftsberatung.

Siddiqi, Shibil. (2008). Afghanistan-Pakistan Relations: History and Geopolitics in a Regional and International Context. Walter and Duncan Gordon Foundation.

Geopolitik dan Geostrategi Republik Rakyat China di Afrika: Kasus Sudan

China merupakan salah satu negara komunis terbesar di dunia selain Rusia. Sebagai negara komunis yang besar, China memiliki kepentingan geopolitik di berbagai negara dalam rangka penyebaran pengaruh komunis ke seluruh belahan dunia untuk membendung ideologi liberalis. Peningkatan China semakin pesat seiring berkembangnya jaman semenjak berbagai reformasi yang dilaksanakan oleh Deng Xiao Ping termasuk dengan melaksanakan sistem ekonomi yang bersifat terbuka, sehingga Amerika Serikat pun menempatkan China pada posisi competitor. Dalam rangka memperbesar jangkauan perekonomiannya, China memiliki kebijakan yang disebut sebagai The String of Pearl, dimana dalam kebijakan ini, China membangun jalur perdagangan melalui perairan Laut China Selatan, Selat Malaka, hingga kemudian mencapai Afrika. Dalam jalur perdagangan ini, China banyak membangun hubungan baik dengan negara-negara di area jalur tersebut. Penyebaran kepentingan geopolitik China salah satunya tertuju pada Sudan di Afrika. Kepentingan China di Sudan juga terdorong akan kepentingan menguasai minyak seiring dengan kebutuhan energi China yang terus meningkat dan kekhawatiran akan kelangsungan hidup industrinya ketika China memiliki pasokan minyak yang kecil. Pada tahun 1980, China telah mengkonsumsi sekitar 1,8 juta barel minyak per hari, dan pada tahun 2008, China telah membutuhkan 8 juta barel minyak per hari demi memenuhi kebutuhan energinya (Oliveira, 2006). Melihat hal tersebut, China kemudian berusaha memasuki pasar minyak Sudan dan mengikatkan diri pada hubungan ekonomi yang semakin erat dengan negara tersebut.

Salah satu perusahaan minyak China, CNPC (China’s National Petroleum Corporation), kemudian mulai aktif di Sudan, lebih tepatnya di daerah Muglad Basin sebagai langkah memasuki pasar global (Dralle, 2009). Dalam waktu singkat, Sudan kemudian menjadi pengekspor minyak yang besar. Dengan adanya kesuksesan ekonomi di Sudan, China menganggap hal tersebut dapat memiliki kerja sama yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak. China juga mendukung pemerintah Sudan untuk membangun jalur pipa yang memudahkan Sudan mengeksporkan minyaknya melalui Laut Merah. Ketika pendapatan nasional Sudan meningkat, maka pada saat itu pula ketergantungan Sudan pada perusahaan ekspor minyak yang ada semakin meningkat, termasuk di dalamnya CNPC milik China. Melihat hal tersebut, China mulai menerapkan kebijakan Public-Diplomacy-Initiatives dalam rangka mengambil simpati pemerintah Sudan, yaitu dengan cara: membantu membangun fasilitas pelayanan masyarakat seperti rumah sakit, stadion olahraga, serta membantu negara-negara Afrika dalam memerangi penyakit Malaria dan AIDS (Dralle, 2009). China banyak memberikan bantuan karena dianggap hal ini dapat menarik perhatian Sudan untuk semakin menerima dan mendukung China, mengingat ketika itu Sudan sedang dilanda berbagai permasalahan mulai dari masalah penyakit, konflik internal dan lain-lain.


Nyatanya, berbagai kegiatan sosial yang dilakukan oleh pemerintah China di Sudan memang membuahkan hasil. Adanya berbagai kerja sama yang dilakukan oleh kedua belah pihak membuat hubungan China-Sudan semakin membaik dan secara halus China berhasil menggenggam Sudan. China juga menawarkan pinjaman dengan bunga rendah serta bantuan pembangunan tanpa disertai berbagai persyaratan. Selain itu, China tidak meminta diadakannya reformasi demokratis maupun adanya transparansi pada pemerintah Sudan dan berusaha untuk memberikan kesan bahwa antara China dengan negara-negara kawasan Afrika merupakan mitra yang sejajar. China cenderung tidak terlalu ingin mencampuri urusan perpolitikan internal Sudan dan hanya lebih peduli dalam mengedepankan kerjasama di bidang ekonomi. Hal inilah yang mendukung Sudan memiliki ketergantungan yang semakin meningkat kepada China dan menganggap China adalah mitra kerja sama yang dapat diandalkan, sehingga pada tahun 2008, Hu Jintao menyatakan bahwa mutual respect, kesamarataan serta hubungan resiprositas akan menjadi batu pijakan hubungan China dan Sudan yang lebih erat. Sudan yang semula hanya menjadi negara pengimpor minyak bumi, kemudian berubah menjadi negara pengekspor minyak bumi semenjak CNPC masuk ke Sudan. Bahkan hingga tahun 2008, ekspor minyak Sudan telah mencapai angka 480.000 barel per harinya, dengan rincian tingkat konsumsi minyak di Sudan sendiri hanya sekitar 86.000 barel per hari sedangkan sisanya diekspor ke pasar Asia, terutama China (www.eia.gov).

China juga memanfaatkan negara-negara Afrika serta negara lain di sekitar jalur String of Pearl untuk menggalang dukungan dalam rangka memperkuat posisi China di mata dunia internasional terutama di PBB. Di samping itu, tentu saja Sudan juga digunakan oleh China sebagai salah satu negara untuk membendung kekuatan liberalis Amerika Serikat, mengingat Sudan juga pernah menjadi incaran Amerika Serikat dan pernah mendapat perlakuan yang kurang adil dari Amerika Serikat, misalnya dengan pengeksploitasian minyak di Sudan oleh Amerika Serikat dengan tanpa memberikan kontribusi yang menguntungkan pemerintah Sudan. Hubungan buruk Amerika Serikat-Sudan tersebut mencapai puncaknya ketika pada tahun 1997 pemerintah Amerika Serikat dikenakan sanksi ekonomi, perdagangan dan keuangan serta dilarang untuk melakukan kegiatan bisnis apapun di Sudan.

Tidak hanya sampai pada Amerika Serikat saja, bendungan China juga ditujukan pada Jepang. Karena di samping isu Taiwan yang menjadi prioritas China, rupanya China juga ingin membatasi pengaruh Jepang di benua Afrika demi mencegah Jepang menggalang suara dari Afrika dalam rangka kepentingan Jepang untuk dapat menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council). Karena itulah China sangat mempertahankan Afrika agar dapat terus bergantung pada China dan selalu memberikan dukungan kepada China (Dralle, 2009).

Referensi:

Dralle, Tilman. (2009). Sudan, Angola, and China: Oil, Power and the Future of Geopolitics. Dresden.

Oliveira, Ricardo Soares. (2006). The Geopolitics of Chinese Oil Investment in Africa. Lisabon: Instituto Portugues de Relacoes Internacionais.

U.S. Energy Information Administration. Sudan Analisys Brief. http://www.eia.gov/countries/country-data.cfm?fips=SU diakses 5 Juni 2011.

Geopolitik dan Geostrategi Jerman

Jerman sebagai salah satu negara di Uni Eropa memiliki pengaruh yang besar bagi dunia internasional terutama semenjak pengabaiannya pada Perjanjian Versailles, Perang Dunia 2, hingga menjadi negara yang memiliki pendapatan luar biasa di Eropa. Dalam pelaksanaan geopolitiknya, Jerman semasa Perang Dunia menganut pemikiran Karl Haushofer tentang lebensraum (ruang hidup) ketika pemerintah Deutsche Dritte Reich yang berada berada di bawah kepemimpinan Adolf Hitler dengan partai National Sozialistiche. Teori lebensraum dibawa oleh salah satu murid Haushofer yaitu Rudolf Hess yang kebetulan merupakan orang dekat Hitler. Lebensraum dan cita-cita Hitler untuk membangkitkan kembali The Holy Roman Empire membawa Jerman menjadi negara yang ekspansionis selama Perang Dunia ke-2. Jerman yang menganut sistem negara kerakyatan (folkish state) merasa harus mempertahankan eksistensinya di dunia dan dengan didukung ruang yang besar, maka eksistensi tersebut akan dapat terjamin (Routledge, 1998).

Ekspansi pertama dilancarkan pada negara Polandia pada 1 September 1939 dengan menggunakan blitzkrieg dengan dalih banyak warga negara Jerman yang berada di Polandia. Tak hanya sembarang ekspansi saja, namun rupanya Jerman juga mengincar sasaran lama, yaitu Heartland. Pada waktu itu, Hitler telah berhasil menaklukkan hampir seluruh daratan Eropa, sebelum pada akhirnya pada akhir April 1945, Jerman mengalami kekalahan setelah Berlin dilumpuhkan oleh Tentara Merah Soviet.

Setelah kalah dalam peperangan, angkatan bersenjata Jerman baik Wehrmacht, Luftwaffe serta Kriegsmarine dipangkas oleh tentara Sekutu karena dikhawatirkan akan muncul kembali Nazi baru dan melakukan pengalaman yang sama, mengingat pada saat mengalami kekalahan Perang Dunia I sebelumnya, Jerman nyatanya berhasil membangkitkan kembali Luftwaffe. Jerman kemudian tergabung dengan Uni Eropa pada 1967 dengan membawa label sebagai pihak yang pernah kalah perang dalam Perang Dunia 2 dalam rangka membangun kembali citra Jerman di benua Eropa.

Jerman yang baru lebih memfokuskan diri pada pengembangan ekonomi dalam negeri terutama dalam segi pengembangan teknologi dan industri automobil. Semenjak bergabungnya negara tersebut ke dalam keanggotaan Uni Eropa, Jerman berkomitmen pada program pengintegrasian Uni Eropa yang didasarkan pada keinginan besar untuk dapat berdamai kembali dengan negara-negara yang dulu pernah menjadi musuh Jerman semasa Perang Dunia serta tentunya untuk semakin memacu perkembangan ekonomi dan politiknya. Jerman telah dengan baik menggunakan Uni Eropa sebagai forum utama untuk menempanya menjadi lebih memiliki peranan yang proaktif dalam lingkup internasional. Pada sekitar tahun 1990an, kebijakan luar negeri Jerman selalu berfokus pada integrasi dan pengembangan sayap Uni Eropa (Belkin, 2009).

Kebangkitan Jerman dengan perekonomian yang mengalami booming secara luar biasa sempat membuat Margareth Thatcher terkejut. Hal ini menarik karena Inggris sempat merasa khawatir akan kebangkitan Jerman kembali sehingga Thatcher mengatakan bahwa,”We’ve beaten the Germans twice, and now they’re back.” (www.economist.com) Karena memang dalam waktu yang sangat cepat, Jerman mampu mengembalikan keadaan dirinya yang porak poranda setelah mengalami kekalahan perang menjadi negara yang mapan. Dengan didukung kedisiplinan yang sangat tinggi pada warganya (salah satunya dikarenakan semasa Hitler pemerintahan Jerman dibawah komando militer, sehingga prinsip-prinsip kedisiplinan pun wajib ditanamkan kepada warganya). Kekhawatiran akan kebangkitan Jerman tidak hanya dirasakan oleh Inggris, namun juga dirasakan oleh Polandia pada khususnya. Kebangkitan ekonomi Jerman yang luar biasa seolah membawa kembali trauma Polandia akan penyerangan blitzkrieg tentara Nazi di Danzig.

Selain pengembangan ekonomi, Jerman juga mengutamakan aspek pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri. Pada masa Kanselir Gerhard Schröder, Jerman bekerja sama dengan Vladimir Putin untuk membuat jalur pipa gas baru yang terhubung langsung dengan Rusia. Jalur pipa gas tersebut rencananya akan dibangun di Vyborg, Rusia dan langsung terhubung dengan Greifswald, Jerman melalui Laut Baltik tanpa melalui Polandia terlebih dahulu dengan membawa sekitar 55 milyar m3 gas setiap tahunnya (Engdahl, 2010). Proyek ini dinamai sebagai Nord-Stream Project. Nord-Stream Project sempat membuat Amerika Serikat memiliki kekhawatiran akan kecenderungan eratnya hubungan kerja sama Jerman dengan Rusia. Kekhawatiran semakin besar mengingat Jerman memiliki pengaruh yang besar di Uni Eropa, karena jikalau Jerman memang kemudian menjadi lebih pro-Moscow dan anti-NATO, maka hal tersebut akan dapat menjadi spoiler effect bagi negara-negara Uni Eropa. Amerika Serikat khawatir kerjasama Schröder-Putin kemudian berkembang dan menjadi bentuk kedua Molotov-Ribbentrop Pact. Dan Jerman hingga sekarang pun masih melanjutkan untuk berprioritas pada hubungannya dengan Rusia. Jerman merupakan mitra dagang Rusia yang terbesar dengan tingkat ketergantungan sebesar 40% gas alam Rusia serta sekitar 30% kebutuhan minyak mentah (Belkin, 2009).

Dalam urusan pertahanan dan keamanan di Uni Eropa, salah satu bentuknya ialah Kanselir Angela Merkel memberikan dukungan serta memberikan pengaruh terhadap proses berkembangnya konsep Common Foreign and Security Policy serta European Security and Defense Policy sebagai cara untuk saling menyatukan sumber pertahanan serta bekerja sama dalam melawan ancaman-ancaman keamanan yang muncul (Belkin, 2009). Selama berada di bawah kepemerintahan Merkel, Jerman juga berusaha untuk semakin memperkuat hubungan dagang dengan Amerika Serikat serta saling bekerja sama dalam hal kebijakan perlawanan terhadap terorisme. Kebijakan yang dibuat oleh Angela Merkel ini ditanggapi secara positif oleh pemerintah Amerika Serikat. Beberapa langkah nyata yang diambil oleh Merkel dalam menjalankan komitmennya ialah Jerman tidak hanya berhubungan dagang saja dengan Amerika Serikat, namun juga berkomitmen dalam rangka saling berbagi nilai-nilai demokrasi ke berbagai belahan dunia. Selain itu, melalui keterlibatannya di dalam NATO, Jerman juga pernah membantu Amerika Serikat dalam memerangi usaha terorisme dengan memerangi Taliban dan ‘menguatkan’ kepemerintahan Afghanistan (Belkin, 2009).

Referensi:

Belkin, Paul. (2009). German Foreign and Security Policy: Trends and Transatlantic Implications. Congressional Research Service.

Engdahl, F. William. (2010). Pipeline Geopolitics: The Russia-German Nord Stream Strategic Gas Pipeline. Global Research. http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=20080. Diakses tgl 10 Juni 2011.

Routledge, Paul. et all. (1998). The Geopolitics Reader. London: Routledge.

The Economist. (2010). Germany’s Role in the World: Will Germany Now Take Centre Stage? Its Economy is Booming, But Its Strength Poses New Questions. http://www.economist.com/node/17305755. Diakses tgl 10 Juni 2011.

Senin, Juni 06, 2011

Geopolitik Amerika Serikat di Afghanistan dan Irak

Amerika Serikat sebagai negara besar semenjak dahulu memiliki keinginan sebagai pemimpin dunia. Perang Dingin dengan Uni Soviet membuat Amerika Serikat mengeluarkan serangkaian kebijakan, salah satunya adalah containment policy dengan agenda untuk membendung penyebaran ideologi komunis di seluruh dunia. Negara-negara kawasan Timur Tengah dipandang oleh Amerika Serikat sebagai peluang untuk mempersempit ruang gerak persebaran komunis. Tak hanya itu, Amerika Serikat juga memiliki serangkaian kepentingan lain di dalamnya, seperti kepentingan ekonomi hingga kepentingan politik. Pada kesempatan ini, penulis akan menjelaskan tentang geopolitik Amerika Serikat di Afghanistan dan Irak yang termasuk sebagai negara kawasan Timur Tengah yang potensial bagi Amerika Serikat.

Afghanistan dipandang sebagai salah satu jalan masuk Amerika Serikat untuk membendung ideologi komunis mengingat letaknya yang berdekatan dengan Republik Rakyat Cina serta Rusia. Jikalau Afghanistan dapat dikuasai oleh Amerika Serikat, maka negara tersebut akan dapat dengan mudah mempersempit sphere of influence Republik Rakyat China maupun Rusia.
Karena itulah pada peristiwa pengeboman gedung World Trade Center serta gedung Pentagon pada 11 September 2001 memberikan momentum yang tepat bagi Amerika Serikat yang dipimpin oleh George W. Bush untuk menerapkan strategi containment pada Afghanistan dengan mengeluarkan kebijakan war on terrorism. Pada kebijakan tersebut, Bush secara tegas meminta keikutsertaan seluruh negara-negara di dunia untuk memerangi terorisme dengan memberikan dua opsi, yaitu “Either you are with us or you are with the terrorists”. Dalam pernyataannya tersebut, Bush jelas menolak memberikan ruang bagi negara-negara yang lebih memilih netral.

Dengan berbekal Bush Doctrines serta penuduhannya pada Al-Qaida sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa 9/11, Amerika Serikat lantas melakukan serangan terhadap Afghanistan pada 7 Oktober 2001. Penyerangan tersebut dimaksudkan untuk memaksa Taliban menyerahkan orang-orang yang terlibat peristiwa penyerangan World Trade Center dan Pentagon yang dianggap sebagai teroris oleh Amerika Serikat. Posisi strategis Afghanistan yang terletak diantara China dan Rusia dapat dimanfaatkan Amerika Serikat untuk menghancurkan hubungan kerja sama antar kedua negara tersebut serta mengontrol kebijakan opium di samping pencarian kepentingan terhadap sumber daya alam minyak (Guttinger, 2011).

Opium termasuk komoditi yang menjadi salah satu incaran Amerika Serikat di sektor pengembangan ekonomi mengingat ketika opium memiliki harga yang tinggi di pasar gelap, yaitu dengan harga sekitar US$ 125 per kilogram opium kering serta sekitar US$ 4622 per hektar-nya (Glaze, 2007: 5). Selain itu, opium termasuk sebagai tanaman yang mudah untuk ditanam, tahan terhadap kondisi kering, mudah diangkut dan disimpan, tidak mudah rusak, tidak memerlukan pendingin serta membawa keuntungan yang besar, sehingga jelas saja Amerika Serikat pun memiliki keinginan untuk ikut mengatur kebijakan opium di Afghanistan di samping juga berkeinginan untuk menghancurkan pemerintah Afghanistan mengingat sampai sekarang opium merupakan komoditi penghasil devisa terbesar di Afghansitan.

Selain Afghanistan, Amerika Serikat juga melancarkan invasinya pada Irak yang dipimpin oleh Saddam Husein. Dalam kasus Irak, Amerika Serikat menggunakan alasan kepemilikan Irak atas Weapon of Mass Destruction (WMD) atau senjata pemusnah massal. Meskipun nyatanya Amerika Serikat belum menemukan bukti otentik kepemilikan Irak atas senjata tersebut, namun Amerika Serikat tetap menginvasi Irak dengan menggunakan kebijakan pre-emptive sebagai pendukungnya. Alasan lain yang mendukung Amerika Serikat untuk melancarkan serangan ke Irak berkaitan dengan masalah ekonomi adalah adanya kekhawatiran Amerika Serikat terhadap Irak yang menggunakan mata uang Euro dalam berbagai perdagangan internasionalnya. Peralihan penggunaan mata uang ini oleh Irak dimaksudkan untuk menghilangkan ketergantungan negaranya terhadap Dollar, apalagi pada 19 Maret 2003 lalu, mata uang Euro mengalami kenaikan hingga 22,5% atas mata uang Dollar. Kekhawatiran Amerika Serikat pun kemudian tidak hanya peralihan penggunaan mata uang Euro pada Irak saja, namun juga pada kemungkinan keikutsertaan negara-negara sekitar Irak lainnya untuk mengganti mata uang perdagangan internasionalnya ke mata uang Euro yang apabila berimbas terlalu luas dapat berakibat pada terjadinya guncangan finansial Amerika Serikat (Clark, 2003).

Selain itu, invasi Amerika Serikat ke Irak juga dikarenakan oleh misi pendemokrasian bangsa Irak. Amerika Serikat yang menganggap dirinya sendiri sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi serta hak asasi manusia memandang kepemerintahan Saddam Husein di Irak merupakan salah satu ciri pemerintahan yang bersifat otoriter dan sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi sehingga dapat menyengsarakan rakyat Irak. Karena itulah Amerika Serikat berniat untuk menggulingkan pemerintahan Saddam Husein dan menggantinya dengan kepemerintahan baru. Letnan Jenderal Jay Garner dan beberapa staf pemerintahan Amerika Serikat ditugaskan untuk melakukan rekonstruksi langsung serta mengelola kementerian Irak pada April 2003. Garner mengepalai Office of Reconstruction and Humanitarian Assistance (ORHA) dibawah pengawasan departemen pertahanan (Department of Defense / DOD). Dengan adanya pemerintahan tersebut, tentunya membuang proyek Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang dinamai Future of Iraq Project. Proyek ini sebelumnya telah dirancang untuk perencanaan kepemerintahan Irak setelah jatuhnya Saddam Husein. Garner mulai mencoba mendirikan perwakilan rezim penerus dengan mengatur pertemuan di Nassiriyah pada 15 April 2003 dengan mengundang sekitar 100 etnik Irak yang beragam. Selanjutnya, pada tanggal 26 April 2003 di Baghdad, diadakan pertemuan dengan mengundang sekitar 250 tokoh-tokoh yang kemudian menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan pertemuan yang lebih luas satu bulan kemudian untuk memberikan nama pada pemerintahan sementara (Katzman, 2009: 9).

Kemudian, pada Mei 2003, Presiden Bush kemudian menempatkan Duta Besar L. Paul Bremer untuk menggantikan Garner dengan mengepalai Coalition Provisional Authority (CPA) dan tidak melanjutkan proses transisi yang dilakukan Garner serta menunjuk suatu badan penasehat Irak yang terdiri dari 25 anggota dengan nama Iraq Governing Council (IGC). Pada September 2003, IGC juga menunjuk 25 anggota kabinet untuk menjalankan pemerintahan yang terdiri dari sedikit anggota Muslim Syi’ah. Kebencian semakin bertambah ketika CPA memberlakukan kebijakan de-Baathification yaitu membersihkan pemerintah dari 30.000 warga Irak yang menduduki empat peringkat teratas Partai Baath (CPA Order 1) serta tidak menugaskan kembali angkatan bersenjata era Saddam (CPA Order 2). (Katzman, 2009: 10).

Kepemerintahan sementara Amerika Serikat di Irak juga mengalami tantangan terutama berasal dari Ayatollah Ali Sistani. Nyatanya pada tanggal 26 Agustus 2004, Sistani berusaha menunjukkan pada pemerintah sementara Amerika Serikat (IIG) serta CPA bahwa dia adalah orang yang memegang peranan penting dalam proses transisi damai. Pengaruh Sistani dan otoritasnya sebagai Maraji at-Taqlid terus menunjukkan bahwa ia adalah orang yang paling dihormati dan berpengaruh di Irak serta memerangi propaganda media (Rahimi, 2004: 2). Sistani menunjukkan peranannya dengan menolak konstitusi sementara (transitional administrative law), sistem pemilihan sementara yang dilakukan Amerika Serikat serta menggerakkan warga Irak untuk mengadakan aksi protes dan menduduki seluruh kota-kota di Irak. Hal ini tentu saja merupakan ancaman bagi pemerintahan Amerika Serikat di Irak yang berkeinginan untuk menguasai Irak agar dapat mempersempit ruang gerak komunis.

Dari kasus invasi Amerika Serikat di negara-negara Timur Tengah tersebut, tetap ada interest yang sama yaitu penguasaan minyak, mengingat sekitar 42% kebutuhan minyak Amerika Serikat disokong dari cadangan minyak di Timur Tengah. Tentu saja Amerika Serikat berniat untuk menguasai sumber daya alam minyak di Timur Tengah dalam kaitannya untuk kemudian dapat mengontrol peredaran minyak di seluruh dunia atau bahkan ingin untuk dapat berpengaruh dalam penentuan harga minyak internasional. Di samping itu, usaha ‘pendemokrasian’ juga menjadi fokus invasi Amerika Serikat pada negara-negara kawasan Timur Tengah, ketika para pemimpinnya dianggap telah menjalankan pemerintahan yang tidak demokratis. Kemudian, hal yang lebih penting lagi terkait invasi Amerika Serikat di negara-negara Timur Tengah ialah sebagai pengimplementasian containment policy untuk membendung atau mempersempit ruang gerak pengaruh komunis yang dikhawatirkan semakin menyebar di negara-negara tersebut (salah satunya terbukti ketika kebanyakan senjata yang digunakan negara-negara Timur Tengah merupakan senjata produk China maupun Russia).

Referensi:

Clark, William. (2003). The Real Reasons for the Upcoming War with Iraq: A Macroeconomic and Geostrategic Analysis of the Unspoken Truth. http://www.ratical.org/ratville/CAH/RRiraqWar.html#p3a. Diakses 16 Mei 2011.

Glaze, John A. (2007). Opium and Afghanistan: Reassessing US Counternarcotics Strategy. Research Strategic Studies Institute.

Guttinger, Anne F. (2011). Geopolitics of US. Kuliah Geopolitik dan Geostrategi minggu ke-7. Universitas Airlangga: Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Katzman, Kenneth. (2009). Iraq: Post-Saddam Governance and Security. Congressional Research Service.

Rahimi, Babak. (2004). Ayatollah Ali Sistani and the Democratization of Post-Saddam Iraq. Nathan Hale Foreign Policy Society.

Rabu, Maret 16, 2011

What Is Indonesia : Gagasan Tiap Nama Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbentuk Republik yang secara astronomis terletak pada 6o Lintang Utara hingga 11o Lintang Selatan dan 95o Bujur Timur hingga 141o Bujur Timur, sehingga beriklim tropis. Wilayah kepulauan ini secara geografis terletak di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, dan di antara Benua Australia dan Benua Asia. Mungkin terkadang kita bertanya-tanya, darimana asal-usul Indonesia?

Wilayah kepulauan Indonesia sebenarnya telah dikenal sejak dahulu dengan berbagai nama. Awalnya sebelum abad ke-20, kepulauan ini hanya dikenal sebagai Ye-Po-Ti oleh penjelajah China yang bernama Fa Hien. Dalam bukunya yang berjudul Fa-Kuo-Chi pada tahun 414, Fa Hien mengungkapkan bahwa di Ye-Po-Ti terdapat suatu kerajaan yang bernama To-Lo-Mo (Tarumanegara). Sumber asing lain mengenal kepulauan ini dengan adanya kerajaan Buddha terbesar yang bernama San-fo-Tsi (Sriwijaya). Berita tentang kerajaan ini dulunya dibawa oleh Pendeta China yang bernama Yi Jing pada tahun 671 dalam bukunya yang berjudul Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan dan Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan. Dalam buku ini, Yi Jing menyebutkan kepulauan Indonesia pada zaman dahulu sebagai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). (Takakusu. 1894).

Sedangkan berdasarkan catatan kuno bangsa India, kepulauan ini dikenal sebagai kepulauan Dwipantara yang berasal dari bahasa Sansekerta Dwipa (pulau) serta Antara (luar, seberang). Kisah Ramayana juga menyertakan keterangan pulau Suwarnadwipa yang terletak dalam kepulauan Dwipantara. Sumber lain menyebutkan bahwa kepulauan ini dinamakan sebagai Nusantara yang juga memiliki makna yang sama dengan Dwipantara. Istilah Dwipantara juga ditemukan dalam buku Pustaka Dwipantara-Parwa yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta pada tahun 1675 dengan rujukan catatan-catatan dari Panembahan Losari. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana keramaian situasi di sekitar perairan Dwipantara (yang diperkirakan berbentuk kepulauan yang terbentang mulai dari Srilanka hingga kepulauan Nusantara), mengingat di situ merupakan tempat perniagaan antar negeri. (Wangsakerta. 1675).

Sedangkan bangsa Eropa, menyebut kepulauan ini sebagai Hindia Timur (Oost-Indie), hal ini juga merujuk pada organisasi perdagangan Belanda yang dinamakan Vereenigde Oost-Indische Compagnie yang menyertakan wilayah Oost-Indische sebagai wilayah operasionalnya. Kemudian ketika dijadikan unit politik di bawah pemerintahan penjajah Belanda, kepulauan ini dinamai sebagai Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda) sebagai nama resmi. Setelah itu, Edward Douwes Dekker / Multatuli dalam bukunya Max Havelaar Of De Koffij-Veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij mengganti nama Nederlandsch-Indie menjadi Insulinde yang terdiri dari kata Insula yang berarti pulau dan Indie yang berarti Hindia. Multatuli tidak mau menggunakan nama Nederlandsch-Indie mengingat kekejaman yang dilakukan pemerintah Belanda, terutama pada saat pemberlakuan sistem cultuur-stelsel yang diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch kepada kaum bumiputra (rakyat jelata) dengan menyisihkan 20% tanah dari setiap desa untuk ditanami komoditi ekspor, terutama tanaman kopi. (Hooghe. 2004).

Pada tahun 1850, George Samuel Windsor Earl menginginkan nama khas untuk membedakan Kepulauan Hindia dengan India, yaitu antara Indunesia atau Melayunesia. Pada tahun yang sama, James Richardson Logan memungut istilah Indunesia milik Earl, namun kemudian diganti menjadi Indonesia. (Elson. 2008). Adolf Bastian pada tahun 1884 kemudian menggunakan terminologi Indonesia pada lima volume karyanya yaitu Indonesien Oder die Inseln des Malayischen Archipel.

Istilah Indonesia ini kemudian digunakan oleh Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar Dewantoro), ketika beliau tergabung dalam Indische Vereeniging dan menjadi pemimpin redaktur majalah Hindia Poetra. Istilah Indonesia juga dipergunakan Mohammad Hatta ketika sedang menyelesaikan studinya di Handels Hoogeschool pada tahun 1923. Mohammad Hatta mengganti nama Indische Vereeniging yang telah berdiri sejak tahun 1908 sebagai organisasi pelajar Nederlandsch-Indie di Belanda menjadi Indonesische Vereeniging serta mengganti nama majalah Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka. Berkenaan dengan alasan pergantian nama Nederlandsch-Indie menjadi Indonesia ditegaskan oleh Bung Hatta melalui salah satu tulisannya di Gedenkboek ialah bahwa, “Negara Indonesia Merdeka pada masa yang akan datang (de Toekomstige Vrije Indonesische Staat) mustahil nantinya disebut Nederlandsch-Indie. Juga mustahil disebut Indie saja, sebab akan menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami, nama Indonesia menyatakan tujuan politik, karena melambangkan serta mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya, Indonesier akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.” (Swasono. 1980).

Sebenarnya hal yang terpenting tidak hanya apa namanya, namun juga makna apa yang terkandung dalam setiap nama yang digagas. Tentunya para penggagas Indonesia menginginkan suatu pengharapan yang besar pada bangsa ini, seperti ibarat musafir yang mengharapkan oase di tengah gurun pasir. Terlihat pada cita-cita Hatta dan Soekarno yang melihat Indonesia sebagai bangsa yang terus berjuang, bangsa yang memiliki persatuan dan kesatuan yang kokoh, bangsa yang bernasionalisme tinggi, bangsa yang memiliki masa depan gemilang serta bangsa yang tidak lagi dijajah. Karena itulah, kemudian Indonesia membawa semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa yang diambil dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. KARENA INDONESIA ITU BERAGAM, KARENA INDONESIA ITU KAYA, KARENA INDONESIA ITU SATU.

Referensi:

Elson, R. E. (2008). Asal-Usul Ggasan Indonesia, dalam The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Serambi.

Hooghe, Marc D (ed). (2004). Max Havelaar Of De Koffij-Veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij door Multatuli. Nederlands.

Swasono, Meutia Farida. (1980). Bung Hatta Pribadinya Dalam Kenangan. Jakarta: Sinar Agepe Press.

Takakusu, Junjiro. (1896). A record of the Buddhist Religion as Practised in India and The Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing. London: Oxford University Press.

Wangsakerta, Pangeran. (1675). Pustaka Dwipantara-Parwa. Cirebon.

Kamis, Maret 10, 2011

Imperialisme Kontemporer ASEAN Tinjauan Pada ASEAN-China Free Trade Area

ASEAN atau Association of South-East Asian Nations merupakan suatu lembaga yang beranggotakan negara-negara kawasan Asia Tenggara. Pembentukan lembaga ini awalnya dikarenakan oleh berbagai perihal, salah satunya adalah kesamaan nasib negara pendiri ASEAN sebagai negara yang pernah dijajah. Pada masa itu, imperialisme yang terlihat mungkin masih berupa pemaksaan ideologi dari negara penjajah dan lain-lain. Dalam masa kontemporer ini, bentuk imperialisme di negara-negara anggota ASEAN tidak lagi pada pemaksaan ideologi dari negara lain. Permasalahannya justru semakin samar-samar dan tidak banyak orang yang menyadarinya, kami ambil contoh pada poin ASEAN-China Free Trade Area. Adam Smith sebagai pelopor perdagangan bebas berpendapat bahwa motif manusia akan mengikuti watak dasarnya yang cenderung egois, sedang dalam kompetisi perdagangan bebas bertujuan untuk menguntungkan seluruh masyarakat dengan memaksa harga agar tetap rendah dan tetap membangun insentif dalam barang dan jasa. (Cannan. 1904). Konsep perdagangan bebas ini diharapkan oleh Smith dapat meminimalisir monopoli negara yang dianggap justru terlalu banyak ikut campur dalam proses ekonomi dan ekspansi industri, salah satunya dengan penentuan harga tarif. Namun yang kemudian perlu dipertanyakan adalah benarkah dengan perdagangan bebas tersebut dapat melahirkan kemakmuran bagi umat manusia, terutama pada negara berkembang? Ataukah justru menghasilkan suatu bentuk imperialisme model baru?

Pada kenyataannya, konsep perdagangan bebas ini masih belum terlalu dapat memajukan negara berkembang dan hanya menguntungkan negara maju untuk memperluas pangsa pasarnya, bahkan dapat mematikan industri domestik negara-negara tersebut. Dalam kasus ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), sudah tentu ini merupakan misi besar bagi China untuk memperluas jangkauan tangannya. Bagi Indonesia sendiri misalnya, ketika persetujuan ini disepakati di Bandar Seri Begawan pada 6 November 2001 silam, diharapkan dapat menghasilkan beberapa manfaat, diantaranya pertama, penurunan dan penghapusan tarif serta hambatan non tarif di China membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia tersebut. Kedua, penciptaan investasi yang kompetitif dan terbuka membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dari China. Ketiga, peningkatan kerja sama ekonomi dalam lingkup yang lebih luas membantu Indonesia melakukan peningkatan capacity building, technology transfer dan managerial capability. (www.okezone.com).

Tapi apakah hal tersebut benar-benar dapat dicapai dan bermanfaat besar bagi Indonesia? David Ricardo pada tahun 1817 mungkin pernah mengusulkan suatu perdagangan bebas dengan memperhatikan comparative advantage antar negara dalam menghasilkan komoditas tertentu sehingga dapat saling melengkapi satu sama lain. (Lindert & Kindleberger. 1983). Mungkin jika secara teoritis, hal itu bisa saja terjadi dan menguntungkan, namun benarkah kenyataannya demikian? Kenyataannya, negara asing seperti China misalnya, yang menjual barangnya di negara lain justru dilakukan pada semua komoditas. Dalam kehidupan sehari-hari saja misalnya, sudah banyak sekali produk China yang justru lebih “familiar” daripada barang domestik buatan anak bangsa sendiri, mulai dari barang elektronik, kendaraan, makanan dan masih banyak lagi. Hal ini pun terjadi pada negara-negara ASEAN, yang rata-rata merupakan negara berkembang. Jika perdagangan bebas ini terus diperjuangkan, kebijakan tarif dan bea impor dihapuskan, sedang perekonomian masih belum dapat berkembang pesat dan industri domestik masih kalah saing dengan produk asing, bukankah ini justru akan memperburuk kondisi domestik? Lantas dimana letak tujuan awal perdagangan bebas yang dapat membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia?

Jika kebijakan tarif dan bea impor dihapuskan, banyak negara berkembang yang akan mengalami kerugian karena barang asing yang masuk dapat mengalahkan barang domestik. Berbagai sektor industri, khususnya manufaktur, dipastikan akan terpukul mundur dengan kesepakatan area perdagangan bebas tersebut. Menurut Dirjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan Anwar Suprijadi, pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas (FTA) berpotensi menurunkan penerimaan negara (potential loss) dari kepabeanan hingga mencapai sekitar Rp 15 triliun. Ini tentu akan memaksa penyesuaian anggaran APBN. (http://bisniskeuangan.kompas.com). Pada akhirnya banyak industri lokal yang gulung tikar dan memperparah tingkat pengangguran. Sedangkan negara maju dapat memperoleh keuntungan besar-besaran dengan perdagangan bebas tanpa harus dikenai tarif maupun bea impor, apalagi ditambah dengan adanya Transnational Corporations yang dapat berpindah kemana-mana. Ironis ketika pada tanggal 8 kemarin, kami sempat melihat sekilas berita dengan wacana “Indonesia Kaya Akan Minyak, namun Mengalami Kelangkaan BBM”. Hal tersebut juga tak lepas dari peranan pihak asing yang ‘menancapkan’ kuku imperialisme baru dengan terus mengeksplor kekayaan alam melalui perusahaan-perusahaan trans-nasional di seluruh ASEAN. Sulit rasanya jika negara ini harus ikut perdagangan bebas seperti yang digagas negara maju dengan tanpa intervensi pemerintah, mengingat selera masyarakat terhadap produk domestik masih sangat rendah. Dari situlah, timbul pertanyaan kepada negara kita sendiri, ”Sudah benar-benar siapkah negara kita?”

Referensi:

Adam, Latif. (2009). FTA ASEAN-Cina, Sebuah Dilema. OkeZone.com. http://economy.okezone.com/read/2009/12/22/279/287131/279/fta-asean-china-sebuah-dilema. diakses tgl 9 Maret 2011.

Cannan, Edwin (ed). (1904). An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nations by Adam Smith. London: Methuen & Co. Ltd.

Kompas.com. (2009). Akibat Perdagangan Bebas, Penerimaan Negara Hilang Rp 15 Triliun.http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/12/16/1526036/akibat.perdagangan.bebas.penerimaan.negara.hilang.rp.15.triliun diakses tgl 9 Maret 2011.

Lindert, P. H. dan Kindleberger, C.P. (1983). International Economics 7th Edition. Jakarta: Erlangga.