Dalam kajian hubungan internasional, terdapat beberapa teori yang berperan penting dalam menyikapi suatu fenomena sosial, salah satunya ialah teori posmodernisme. Apa itu yang dinamakan dengan teori Posmodernisme? Jackson dan Sorensen mengungkapkan bahwa posmodernisme merupakan teori sosial yang berasal dari kelompok filosof Perancis pasca perang yang menentang filsafat eksistensialisme dimana eksistensialisme tersebut sangat dominan pada saat itu. (Jackson & Sorensen. 1999). Dan seperti halnya teori kritis, posmodernisme itu berupaya membuat ilmuwan “sadar” akan penjara modernitas beserta pemikiran menyeluruh bahwa teori tersebut menyebabkan kemajuan serta kehidupan yang lebih baik. Kaum posmodernis membuang keraguan dalam kepercayaan modern bahwa ada pengetahuan objektif atas fenomena sosial. Mereka itu cenderung selalu mengkritisi segala sesuatu serta menolak anggapan tentang realita, kebenaran, dan pemikiran bahwa ada pengetahuan yang terus meluas tentang dunia manusia. Posmodernisme mungkin memang dapat membawa pengaruh yang baik yaitu sebagai penurun kesombongan akademik. Namun, disamping itu rupanya posmodernisme juga dapat buruk dan berubah menjadi nihilisme. Apa itu yang disebut sebagai nihilisme? Nihilisme itu adalah suatu negativisme bagi teori posmodernisme itu sendiri, nihilisme tidak dapat memberikan landasan pengetahuan apa pun sebab nihilisme menolak kemungkinan dan nilai pengetahuan. Kritisisme dapat dibuat hanya sekedar menjadi kritisisme saja, tanpa adanya suatu solusi. Dan masalah ekstrim yang bisa saja muncul adalah posmodernisme akan menolak semua teori yang dikritisi dan kemungkinan fertilisasi silang apa pun (contohnya neorealisme) dari tradisi teoritis ditentang.
Argumen posmodernisme, seperti yang diungkapkan oleh Martin Griffiths, bahwa semua klaim terhadap kebenaran itu berdasarkan pada metanaratif. (Griffiths. 2002). Metanaratif adalah suatu pemikiran seperti halnya neorealisme atau neoliberalisme yang menyatakan telah menemukan kebenaran tentang dunia sosial. Kaum posmodernis lantas menganggap pernyataan yang sedemikian itu adalah suatu hal yang tidak masuk akal dan tidak memiliki kredibilitas serta menganggap bahwa teori empiris adalah mitos belaka.
Genealogi, sangat penting dalam perspektif posmodernisme di hubungan internasional. Genealogi adalah suatu jenis pemikiran historis yang mengungkap dan mencatat signifikansi dalam hubungan kekuasaan-pengetahuan. (Burchill. 1996). Michel Foucault menambahkan bahwa genealogi adalah pembentuk sejarah, tetapi justru membangun dasar-dasar dengan wadah sejarah, oleh sebab itu, genealogi tidak berkaitan dengan kesadaran, persepsi, pandangan, perspektif, paradigma dan bentuk ideologi, namun berkaitan dengan taktik serta strategi kekuasaan yang menyebar melalui penanaman, distribusi, pembatasan, pengontrolan terhadap ruang (imajinatif) dan tempat (teritori). (Foucault. 1980). Richard Davetak menambahkan pandangannya mengenai genealogi yang mempelajari peristiwa awal atau asal-muasal dari segala sesuatu dengan memperhitungkan pertimbangan bagaimana nilai-nilai yang ada disekitar penulis mengkonstruksikan pemikirannya yang kemudian nantinya akan berpengaruh pula terhadap karya yang dihasilkan. Mengenai masalah genealogi neorealisme, dapat kita ketahui bahwa neorealisme merupakan hasil dari rekonstruksi antara realisme, strukturalisme dan mendapat bumbu-bumbu behavioralisme. Apa yang menyebabkan genealogi ini menyangkut neorealisme? Karena neorealisme menekankan bias kaum strukturalis mengenai teori. Struktur anarkis sistem internasional menghadapkan aktor-aktor individual sebagai realitas material yang given dan tidak dapat dirubah. (Jackson & Sorensen. 1999). Menurut kaum posmodernis, hal ini mengakibatkan reifikasi, yaitu gerakan yang secara historis menghasilkan struktur yang dihadirkan sebagai hambatan yang tidak dapat diubah yang diberikan alam. Sebenarnya, dijelaskan lebih lanjut oleh Foucault, genealogi digunakan untuk menelusuri jejak diskontinuitas dan keterputusan sejarah guna menekankan singularitas dari suatu fenomena, bukan berusaha menjelaskan kecenderungan sejarah. (dalam Steans & Pettiford. 2009)
Intertekstual Hubungan Internasional. Der Derian, berpendapat posmodernisme itu sangat berkaitan dengan upaya menunjukkan adanya saling pengaruh tekstual di balik kekuasaan politik. Ia menganggap bahwa realitas itu merupakan suatu teks yang saling bertemu. Pertemuan teks-teks tersebut menciptakan suatu jaring teks yang berisi makna ontologi politik internasional. (dalam Asrudin & Suryana. 2009).
Diperkuat oleh Derrida bahwa sulit untuk menemukan arti pakem dari teks itu sendiri, sehingga dia tidak membatasi arti teks atas literatur maupun gagasan orang. Mengingat tidak ada batasan tentang apa itu arti pakem dari teks, Derrida bahkan menganggap dunia juga merupakan sebuah teks. Dunia nyata ini tersusun seperti halnya teks. (dalam Burchill. 1996). Seseorang tidak dapat merujuk sesuatu yang nyata kecuali dengan pengalaman interpretatif, maka dari itulah, posmodernisme menganggap interpretasi itu sangat penting dan fundamental dalam pembentukan dunia sosial. Saling pengaruh tekstual tersebut merupakan suatu hubungan yang saling membentuk antara interpretasi berbeda mengenai representasi dan susunan dunia. Untuk menyebarkan pandangan saling pengaruh tekstual itulah, posmodernisme menggunakan metode-metode dekonstruksi dan pembacaan ganda.
Dekonstruksi Diplomasi. Dekonstruksi dapat dipahami sebagai suatu cara untuk dapat membongkar sesuatu dengan tujuan menunjukkan elemen-elemen yang berubah dan tujuannya yang bias. Pada dasarnya, menurut Derrida, dekonstruksi itu bertujuan untuk mengungkap akibat serta kerugian yang dihasilkan dari pertentangan yang baku, untuk mengungkap hubungan parasitikal antara hal-hal yang bertentangan serta berupaya untuk memindahkannya. Dekonstruksi ini, dapat pula digunakan dalam proses diplomasi, karena dekonstruksi dapat membedah suatu elemen-elemen tertentu dari fenomena yang ada.
Anti-Positivisme sangat erat kaitannya dalam pembentukan ide-ide posmodernisme, mengapa demikian? Dikarenakan anti-positivisme ini merupakan pandangan yang menuntut para akademisi untuk menolak empirisme dan metode-metode ilmiah dalam kaitannya untuk menyusun suatu teori sosial maupun penelitian. Anti-positivisme menganggap bahwa fenomena sosial itu tidak dapat diukur karena sangat berhubungan dengan pemikiran subjektif seseorang. Hal tersebut sangat berkaitan erat dengan posmodernisme yang juga menganggap bahwa tidak ada suatu realitas objektif; segala sesuatu yang melibatkan manusia itu subjektif.
Berkenaan dengan ontologisme, sejauh pengetahuan penulis, adalah suatu sistem ideologis yang mempertahankan bahwa ide Tuhan adalah objek pertama dari kecerdasan kita, jadi segala sesuatu yang berasal dari Tuhan itu merupakan pengetahuan kita yang pertama kali dan di luar dari konteks Ketuhanan, maka tidak dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang ilmiah. Namun dalam posmodernisme, ontologisme itu dapat dikatakan sebagai ruang lingkup maupun objek kajian dari suatu fenomena yang dapat dikritisi oleh para pemikir posmodernis.
Referensi :
Asrudin & Suryana, Mirza Jaka. (2009). Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke Kontemporer. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). Theories of International Relations. New York : St. Martin’s Press.
Foucault, Michel. (1980). Power / Knowledge : Selected Interviews & Other Writings 1972-1977. New York : Pantheon Books.
Griffiths, Martin & O’Callaghan, Terry. (2002). International Relations : The Key Concepts. New York : Routledge.
Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999). Introduction to International Relations. New York : Oxford University Press.
Steans, Jill & Pettiford, Lloyd. (2009). International Relations : Perspectives and Themes. Edinburgh Gate : Pearson Education Limited.
Minggu, Juni 13, 2010
Posmodernisme Dan Keberadaannya Dalam Hubungan Internasional
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 6:53 PM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Posting Komentar