CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Minggu, Juni 13, 2010

Feminisme Sebagai Pendobrak Maskulinitas Dalam Hubungan Internasional

Dalam teori hubungan internasional, kita sadari bahwa memang sebagian besar bidang kajian hubungan internasional sebagian besar mempelajari tentang perang, konflik, pengembangan cara diplomasi dan hukum internasional, serta masalah mengglobalnya perdagangan internasional yang notabene merupakan “makanan” para sarjana HI dan sebagian besar merupakan bidang untuk kaum pria (cenderung identik dengan maskulinitas). Kemudian, muncullah feminisme sebagai teori pendobrak kebiasaan-kebiasaan pemisahan gender dalam kehidupan, sebagai contoh adalah masuknya perempuan kontemporer ke dalam ranah pertempuran militer (misalnya Lyudmila Pavlichenko, seorang sniper ulung dari Uni Soviet). Dapat dikatakan bahwa feminisme ini berusaha untuk menunjukkan bahwa wanita juga memiliki hak yang sama dengan kaum pria, bahwa wanita juga mampu melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh kaum pria, bahwa wanita juga memiliki talenta yang dapat sejajar dengan kaum pria, bahkan ada yang dapat melebihinya.

Feminisme, menurut Martin Griffiths didefinisikan sebagai sebuah studi atau pergerakan wanita tidak hanya sebagai objek, namun kali ini sebagai subjek pengetahuan. Gelombang feminisme pertama pada tahun 1980, yang dikenal sebagai feminism empiricism, seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, mengklaim kembali suara perempuan serta menunjukkan peranan wanita dalam kekuatan ekonomi global dan interaksi negara. (Griffiths. 2002). Dari beberapa penjelasan di atas, maka sebenarnya sudah dapat kita simpulkan bahwa asumsi dasar feminisme ini adalah masalah gender. Para wanita ingin menuntut hak yang sama dengan kaum pria karena sudah sekian lama para wanita diperlakukan secara rendahan dan tidak adil, sebagai contoh dalam segi pekerjaan, dalam program pembangunan PBB disebutkan bahwa di Austria, Jepang dan Italia, beban pekerjaan kaum wanita lebih besar daripada kaum beban pekerjaan pria, dan kaum wanita menerima upah yang sangat sedikit atau bahkan tidak menerima upah sama sekali.

Lantas, seperti apa perjuangan kaum feminisme demi memperjuangkan emansipasi politik? Sampai sekarang, dapat kita lihat sudah banyak sekali perjuangan emansipasi kaum wanita dalam ranah politik untuk mendobrak tradisi lama bahwa wanita tidak bisa apa-apa, wanita tidak berkedudukan lebih rendah daripada kaum pria dan masih banyak lagi. Feminisme membuktikan semua kelebihan dari wanita, seperti terpilihnya Margareth Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris yang dijuluki sebagai The Iron Lady, kemudian Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto, dan bahkan ibu negara kita Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada akhirnya dapat kita lihat pada masa sekarang ini semakin banyak para aktivis wanita baik dalam organisasi maupun pemerintahan.

Berkenaan dengan masalah pluralitas, sebenarnya sudah dapat kita lihat ketika feminisme sendiri juga membagi dirinya menjadi beberapa golongan, yaitu feminisme liberal, Marxis, radikal, standpoint, kritis serta feminisme posmodernis. (Steans & Pettiford. 2009). Sebagai contoh, jika feminisme liberal mengedepankan masalah aktor-aktor internasional lain selain negara serta memperjuangkan hak-hak kaum wanita, sebaliknya feminisme Marxist justru menganggap persamaan hak tidak akan berujung pada emansipasi wanita. Mengapa demikian? Dijawab oleh kaum feminisme Marxist bahwa istilah ‘hak’ itu sendiri dapat dikatakan berakar pada suatu pandangan tentang sifat asli manusia yang sangat individualistik dan anti-sosial. Dalam memberikan kontribusinya sejalan dengan pluralitas aktor-aktor hubungan internasional, feminisme memberikan ‘pintu’ kepada para kaum wanita untuk dapat berpartisipasi dalam organisasi internasional maupun aktor lain.

Feminisme juga banyak memberikan kontribusi bagi teoritisasi politik internasional. Misalnya pada sekitar tahun 1990-an dalam konferensi-konferensi profesional mengenai masalah kurikulum ajar dan terbitan akademis, feminisme dimasukkan sebagai sub-topik bahasan dalam studi HI. (Burchill. 1996). Dikarenakan HI sebagai suatu disiplin ilmu yang tidak terpisah dari praktik pemisahan gender dan realitas hierarki gender, maka feminisme hadir untuk memberikan solusi pemisahan gender tersebut serta berusaha memberikan bukti “this is the women’s power”, bahwa kaum wanita juga memiliki potensi dan tidak patut untuk disingkirkan dalam perpolitikan dan bidang lain.

Mengenai aspek perdamaian dan keamanan, feminisme tidak sependapat bahwa peperangan dan konflik dapat digunakan sebagai alat pencipta serta pemelihara perdamaian dan keamanan internasional. Kaum feminis justru menganggap hal yang demikian itu dapat merubah konsep tentang perdamaian dan keamanan sendiri. Feminisme menyadari bahwa perdamaian dan keamanan manusia sekarang ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti stabilitas dari perekonomian global, kemiskinan dan malnutrisi, pemanasan global, perubahan iklim, konflik etnis, tekanan politik, pelanggaran hak asasi manusia serta pembantaian atas dasar agama, entitas atau gender. (Steans & Pettiford. 2009). Kaum feminis berpendapat bahwa situasi perdamaian dan keamanan tidak akan tercipta secara holistik apabila kita mengakui bahwa kedua hal tersebut pada dasarnya merupakan suatu permasalahan tentang hak asasi manusia. Kita tahu bahwa sejak berdirinya HI sebagai suatu disiplin ilmu pada sekitar peristiwa Perang Dunia 1, sebenarnya sudah memiliki tujuan untuk memajukan kerjasama dan perdamaian internasional. Namun kaum feminis menganggap bahwa disiplin itu belum memberikan perhatian pada pergerakan kaum wanita bagi perdamaian dan kerjasama. Hal inilah yang kemudian ingin diubah hal tersebut, sebagai contoh adalah Amy Swerdlow yang menunjukkan lembaga pergerakan Demonstrasi Wanita bagi Perdamaian dapat mempengaruhi Presiden John F. Kennedy mengenai diperlukannya perjanjian pengendalian senjata nuklir dengan Uni Soviet, serta Cynthia Elone yang berpendapat bahwa penarikan mundur dukungan ibu-ibu bangsa Uni Soviet terhadap tentara Merah sebagai akibat perang di Afghanistan menimbulkan kehancuran rezim Komunis dan membantu mengakhiri Perang Dingin. (Jackson & Sorensen. 1999).

Sebenarnya, feminisme tidak melulu memusatkan perhatian sepenuhnya pada kehidupan kaum wanita, tapi lebih merupakan suatu analisis atas konstruksi kategori gender yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Dan meskipun banyak sarjana feminis yang memusatkan perhatian pada perlakuan diskriminasi dan penindasan pada kaum wanita, mereka tidak hanya menganggap kaum wanita sebagai ‘korban’ saja, namun lebih dari itu, mereka juga menjelaskan cara-cara agar para kaum wanita itu sendiri dapat menambah kekuatan diri dalam rangka meraih perubahan-perubahan positif dalam posisi sosial mereka. Akhirnya, para feminis ini ingin permasalahan gender dapat teratasi, mereka ingin mengatakan bahwa, “yes, we can. We also can do all what they do, or even more of them”

Referensi:

Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). Theories of International Relations. New York : St. Martin’s Press.

Griffiths, Martin & O’Callaghan, Terry. (2002). International Relations : The Key Concepts. New York : Routledge.

Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999). Introduction to International Relations. New York : Oxford University Press.

Steans, Jill & Pettiford, Lloyd. (2009). International Relations : Perspectives and Themes. Edinburgh Gate : Pearson Education Ltd.

1 Comments:

ria mengatakan...

interesting.. salam kenal