CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Jumat, November 26, 2010

Perbandingan Hakikat Manusia Menurut Thomas Hobbes dan John Locke

Thomas Hobbes
Berkenaan dengan alur pikir, inti sebenarnya pemikiran Thomas Hobbes berakar pada empirisme yaitu mendasarkan pengalaman sebagai asal pengetahuan. Yang dapat dikatakan filasafat sebagai ilmu pengetahuan menurut Hobbes adalah segala efek maupun akibat-akibat yang dapat diamati oleh panca indera, hal ini berarti ‘yang benar adalah yang inderawi’ dan sama sekali tidak bergantung pada rasio manusia. Obyek filsafat adalah obyek lahiriah yang dapat bergerak beserta ciri-ciri yang menyertainya. Sedangkan substansi yang tidak dapat dirubah dan tidak dapat diraba secara empiris seperti Tuhan, malaikat, roh, dan sebagainya, bukan merupakan obyek dari filsafat (hal ini pula yang membuat Hobbes tidak bergantung pada rasio manusia, karena rasio manusia tidak dapat diraba secara empiris).

Dalam empirisme, pengenalan dengan akal hanya mempunyai fungsi mekanis. Pengenalan dengan akal dimulai dengan kata-kata yang menunjuk pada tanda-tanda tertentu yang sebenarnya merujuk pada kebiasaan saja. Pandangan Hobbes tentang manusia berawal dari ‘apa yang menggerakkan manusia?’ dan kemudian membawa Hobbes untuk menyamakan manusia dengan jam dinding yang bergerak secara teratur karena ada onderdil-onderdil di dalamnya. Sama halnya dengan manusia yang mempunyai setumpuk material yang bekerja dan bergerak menurut hukum-hukum ilmu alam, jiwa dan budi dianggap sebagai bagian dari proses mekanis dalam tubuh.

Setelah mengetahui seluruh kaitan antara onderdil-onderdil dari sebuah jam dinding, maka kita dapat mengetahui prinsip kerja yang menyebabkan jam tersebut bergerak. Kesimpulan akhir Hobbes mengenai faktor penggerak manusia adalah psikis manusia, yakni nafsu. Nafsu yang paling kuat dari manusia adalah nafsu untuk mempertahankan diri, atau dengan kata lain, ketakutan akan kehilangan nyawa mengingat manusia pada awalnya hidup pada keadaan anarchy. Maka dari itulah, manusia akan cenderung berada di kondisi yang selalu berkonflik (Homo Homini Lupus). Karena selalu berkonflik, Hobbes kemudian memandang keadaan tersebut sebagai sebuah security dilemma, dan dari itulah kemudian Hobbes merumuskan suatu kontrak sosial dengan harapan tercipta negara sebagai entitas yang mampu menjamin keselamatan warganya serta terciptanya hubungan yang aman serta damai.

Kontrak sosial yang dimaksud ialah suatu perjanjian yang dilakukan antar manusia yang secara sukarela menyerahkan kedaulatannya pada The Sovereign (dalam hal ini berarti raja), dengan tujuan dapat mempunyai kekuatan koersif yang mampu mengatur. Ketika penguasa tidak mampu lagi melakukan kontrol masyarakat yang efektif, maka manusia akan kembali pada keadaan state of nature dan harus memilih leviathan baru. Penggunaan istilah leviathan diambil Hobbes dari nama seekor monster laut yang buas. Hobbes menggunakan istilah ini untuk menggambarkan penguasa yang kuat, mutlak serta ditakuti oleh rakyatnya sehingga akan tercipta keamanan dan ketertiban.

Hobbes berpendapat bahwa pemerintahan tirani akan lebih baik daripada pemerintahan anarchy . Menurutnya, meskipun tirani bersifat kejam dan totaliter namun hal tersebut masih lebih baik karena tirani masih mempunyai pemerintah yang berkuasa sehingga dapat mengatur rakyatnya. Sedangkan pemerintahan anarchy adalah keadaan dimana tidak ada otoritas tertinggi yang mengatur rakyat, sehingga hal ini dapat memicu adanya konflik berkepanjangan serta keamanan yang tidak terjamin.

John Locke
Pemikiran John Locke sebenarnya sama dengan Thomas Hobbes yang mendasarkan pada empirisme, yaitu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman pancaindera dan bertolak belakang dengan pendapat kaum rasionalis yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia itu terutama berdasarkan dari rasio. Meskipun demikian, rasio berperan juga di dalam proses manusia memperoleh pengetahuan. Locke memandang manusia yang lahir di dunia itu sebagai tabula rasa, yakni ibarat kertas kosong yang tidak mengetahui konsep segala sesuatu. Kebenaran akan terisi sesuai dengan apa yang dituliskan pada kertas tersebut.

Seiring perkembangan masa, manusia akan memiliki dua macam pengalaman, yaitu pengalaman lahiriah (external sensation) dan pengalaman batiniah (internal reflection). Pengalaman lahiriah ialah pengalaman yang menangkap segala aktivitas dimana aktivitas tersebut berhubungan dengan panca indera manusia, sebagai contoh adalah kita melihat apel di atas meja. Sedangkan pengalaman batiniah adalah pengalaman yang muncul ketika manusia memiliki kesadaran terhadap aktivitas empiriknya seperti mengingat aktivitas yang lalu, menghendaki, meyakini dan lain sebagainya. Hanya saja, semasa Locke hidup, dia merasa hidup di tengah-tengah kerajaan despotik sehingga dia berpendapat bahwa penyimpangan yang terjadi sebenarnya adalah tulisan buruk yang mengisi tabula rasa, namun bukan berarti tidak mungkin menciptakan tulisan yang baik pada seluruh tabula rasa.

Berkenaan dengan konsep kontrak sosial, Locke menciptakannya atas dasar bahwa manusia itu sebenarnya sama, namun ada yang membedakan diantara manusia-manusia tersebut yakni berkenaan dengan power yang dimiliki. Terkadang manusia cenderung menggunakan power tersebut demi memenuhi nafsu buruknya (dalam hal ini salah satunya yang dicontohkan oleh Locke adalah kerajaan depostik (terlalu mengekang rakyat) yang kemudian membuatnya lebih mempercayai parlemen daripada raja, untuk itulah diciptakan kontrak sosial dalam upaya untuk melepas dari kondisi yang tidak aman menuju kondisi yang lebih aman.

Mekanismenya, setiap anggota masyarakat tidak menyerahkan hak-haknya secara penuh, akan tetapi hanya sebagian saja. Dalam kontrak sosial Locke, masyarakat yang memiliki sumber kewenangan, dalam artian bahwa kepatuhan masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya, hal inilah yang membedakan konsep kontrak sosial antara Hobbes dan Locke. Jika dalam kontrak sosial Hobbes penguasa memiliki kekuasaan yang absolut, maka dalam kontrak sosial Locke, kekuasaannya sangat terbatas.

Sumber:
Sharma. (1982). Western Political Thought, (Plato to Hugo Grotius). New Delhi: Sterling Private Limited.

Suhelmi, Ahmad. (2001). Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Selasa, Oktober 19, 2010

Civil Jurisdiction, Domicile and Nationality, Extension

Yurisdiksi Sipil
Oppenheim mengungkapkan dalam tulisannya, bahwasanya negosiasi, observasi serta proteksi merupakan tugas daripada seluruh utusan diplomatik dari setiap negara. Namun, sebuah negara dapat memerintahkan utusan tetapnya untuk mengerjakan tugas lain, seperti halnya pencatatan kematian, kelahiran serta pernikahan penduduk negara asalnya, pengesahan tanda-tangan mereka, isu paspor untuk mereka dan lain sebagainya. Bagaimanapun juga, dalam menangani perihal ini semua, negara haruslah berhati-hati untuk tidak memerintahkan utusannya melakukan tugas eksklusif yang disediakan oleh negara penerima untuk para petugasnya secara hukum.

Sebagai permisalan adalah sebuah negara dimana hukumnya meng-compel orang-orang yang bermaksud melangsungkan pernikahan untuk menandatangani presensi dari pihak pencatat. Di sini, utusan luar negeri tidak berhak untuk mengesahkan pernikahan tersebut sebelum didaftarkan pada petugas pencatatan. Contoh di Indonesia jika dikaitkan dengan perihal tersebut adalah, apabila ada seseorang berniat melangsungkan pernikahan, maka pasangan tersebut harus didaftarkan pada KUA (Kantor Urusan Agama) serta Dinas Pencatatan Sipil.
Berkenaan dengan pernikahan yang dilangsungkan di kedutaan luar negeri, jikalaupun sah berdasarkan hukum dari negara yang diwakili oleh duta besar, namun lain halnya dengan hukum dari negara dimana pernikahan tersebut dilangsungkan dan bahkan dalam banyak contoh, pasangan tersebut tidak dianggap sudah menikah. Sebagai misalnya, Joko seorang warga negara Indonesia yang tinggal di Inggris dan ingin melangsungkan pernikahan di sana, maka dia harus melangsungkan pernikahan sesuai hukum yang berlaku di Inggris dan bukan hukum yang sebagaimana berlaku di Indonesia.

Tempat Tinggal dan Kebangsaan
Para agen diplomatik dan staf mereka mempertahankan tempat tinggalnya di negara asal, dan anak-anak mereka yang lahir di negara dimana mereka ditempatkan secara sementara dikarenakan oleh tugasnya, secara umum anak-anak tersebut akan memiliki kebangsaan yang sama seperti halnya orang tuanya. Dalam hukum Inggris, ketika ada seorang anak dari pejabat diplomatik asing yang lahir di Inggris Raya, maka anak tersebut dianggap bukan merupakan warga negara Inggris, walaupun kelahirannya harus didaftarkan dengan maksud untuk mematuhi hukum setempat. Begitu pula jika ada seorang anak dari pejabat diplomatik Inggris yang lahir di luar wilayah Inggris Raya, maka anak tersebut secara hukum akan diakui sebagai warga negara Inggris.

Extension
Extension adalah sebuah imunitas yang bersifat sementara kepada para pejabat diplomatik yang dikirim ke negara lain dengan membawa misi khusus. Sebagai contoh, ketika ada seorang agen khusus yang diberikan kuasa secara resmi untuk mewakili negaranya pada acara penobatan ataupun upacara kerajaan, ataupun dalam upacara perayaan nasional lainnya. Maka perwakilan tersebut juga akan mendapatkan kekebalan diplomatik serta hak istimewa. Sebagai contoh ialah suatu ketika Indonesia diundang untuk menghadiri penobatan Ratu Denmark yang baru dan presiden berhalangan untuk hadir, maka presiden akan menunjuk seseorang untuk mewakilinya atas nama negara Indonesia. Secara otomatis, utusan itu akan mendapat kekebalan diplomatik dan berbagai hak-hak istimewa lainnya.
Merujuk pada The Pan-American Convention berkenaan dengan petugas diplomatik, memuat hal-hal sebagai berikut:

• Artikel 1 – Negara memiliki hak untuk diwakili kepada negara lain melalui para petugas diplomatik.

• Artikel 2 – Petugas diplomatik diklasifikasikan menjadi petugas diplomatik biasa dan petugas diplomatik luar biasa. Mereka yang secara permanen mewakili pemerintah dari suatu negara kepada negara lain, maka disebut dengan petugas diplomatik biasa, sedangkan mereka yang diberi kepercayaan untuk memikul misi khusus atau seseorang yang mewakili pemerintah dalam konferensi internasional serta kongres disebut sebagai petugas diplomatik luar biasa.

• Artikel 3 – Kecuali berkenaan dengan hak yang lebih tinggi serta etiket, para petugas diplomatik (apapun kategorinya) memiliki hak, prerogatif serta kekebalan yang sama.

• Artikel 4 – Sebagai tambahan fungsi yang ditunjukkan dari mandat mereka, petugas diplomatik biasa memiliki kelengkapan dimana hukum dan surat ketetapan yang dianugerahkan negara masing-masing.

• Artikel 5 – Petugas diplomatik luar biasa memiliki prerogatif dan kekebalan yang sama seperti halnya yang dimiliki oleh petugas diplomatik biasa.

Senin, Oktober 11, 2010

Karakteristik Diplomasi Tradisional dan Modern

Karakteristik Diplomasi Tradisional

Menurut Brian White dalam buku The Globalization of World Politics : An Introduction to International Relation, dijelaskan beberapa karakteristik dari diplomasi tradisional. (Baylis & Smith. 1998) . Pertama, berkenaan dengan masalah struktur, diplomasi tradisional cenderung lebih bersifat pada suatu bentuk proses komunikasi antara negara satu dengan negara lain secara official daripada bentuk organisasi politik lainnya, karena itulah diplomasi jenis ini juga sering disebut dengan first-track diplomacy. Dalam kata lain, diplomasi tradisional lebih cenderung kepada state-based activity.

Kedua, secara tradisional, diplomasi ini diatur pada suatu dasar hubungan bilateral yang besar dan biasanya dilakukan secara rahasia serta dikarakteristikkan oleh peraturan dan prosedur yang khusus. Dengan memberikan batasan pada dua golongan, tentu saja membuat diplomasi tradisional menjadi lebih mudah untuk menjaga segala negosiasi diantara mereka secara rahasia. Dalam diplomasi tradisional juga dikenal sejumlah hak, keistimewaan dan kekebalan yang diberikan pada diplomat serta semua aktivitas diplomatik.

Ketiga, berkenaan dengan agendanya, diplomasi tradisional memiliki agenda yang berorientasikan high politics, seperti isu perang, perjanjian perdamaian, serta batas-batas negara.

Karakteristik Diplomasi Modern

Dengan meletusnya Perang Dunia 1, membuat orang-orang semakin merasa yakin bahwa diplomasi tradisional yang bersifat rahasia harus dirubah dan diganti dengan diplomasi modern. Sehingga ada beberapa karakteristik yang berbeda pada diplomasi modern daripada diplomasi tradisional. Pertama, diplomasi ini lebih bersifat terbuka pada publik sehingga meminimalisir prasangka buruk.

Kedua, dengan diubahnya diplomasi tradisional menjadi diplomasi modern atau dikenal sebagai second-track diplomacy, secara otomatis membuat proses diplomasi menjadi aktivitas yang lebih rumit karena tidak hanya melibatkan peran pemerintah dalam menjalankan misi diplomasi, namun juga melibatkan lebih dari satu aktor, baik aktor Intergovernmental Organization, Non-Governmental Organization, MNC dan bahkan individu.

Ketiga, diplomasi modern ini tidak hanya memiliki agenda yang berkenaan dengan high politics, namun juga memiliki agenda yang bersifat low politics, seperti masalah ekonomi, sosial dan isu kesejahteraan karena pada diplomasi jenis ini, penghindaran terjadinya perang menjadi prioritas utama. Dalam diplomasi modern ini, negara masih melanjutkan diplomasi bilateral dengan negara lain, namun di samping itu, ada pula diplomasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok negara secara multilateral, salah satunya melalui PBB. Sebagai contoh adalah E-Diplomacy yang dilakukan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. E-Diplomacy ini merupakan untuk sarana khusus dalam berdiplomasi yang menitikberatkan pada usaha memperoleh dan mengelola informasi yang berkaitan dengan diplomasi Amerika Serikat melalui internet. (Effendi. 2008). E-Diplomacy ini juga dibangun untuk merespons informasi dari luar negeri yang berkaitan dengan kepentingan Amerika Serikat dan dilakukan di dunia maya. Pihak Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sendiri membentuk badan khusus yang menangani masalah E-Diplomacy dengan tujuan membawa diplomat Amerika Serikat dalam proses pengambilan keputusan melalui teknologi informasi, meningkatkan hubungan dan peran serta Amerika Serikat terhadap masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri, meningkatkan manajemen informasi dan pengetahuan di dunia maya.

Source:
Baylis, John & Smith, Steve. (1998). The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relation. New York: Oxford University Press.

Effendy, Tony Dian. (2008). E-Diplomacy Sebagai Sarana Promosi Potensi Daerah Kepada Dunia Internasional.

Minggu, Juni 13, 2010

Posmodernisme Dan Keberadaannya Dalam Hubungan Internasional

Dalam kajian hubungan internasional, terdapat beberapa teori yang berperan penting dalam menyikapi suatu fenomena sosial, salah satunya ialah teori posmodernisme. Apa itu yang dinamakan dengan teori Posmodernisme? Jackson dan Sorensen mengungkapkan bahwa posmodernisme merupakan teori sosial yang berasal dari kelompok filosof Perancis pasca perang yang menentang filsafat eksistensialisme dimana eksistensialisme tersebut sangat dominan pada saat itu. (Jackson & Sorensen. 1999). Dan seperti halnya teori kritis, posmodernisme itu berupaya membuat ilmuwan “sadar” akan penjara modernitas beserta pemikiran menyeluruh bahwa teori tersebut menyebabkan kemajuan serta kehidupan yang lebih baik. Kaum posmodernis membuang keraguan dalam kepercayaan modern bahwa ada pengetahuan objektif atas fenomena sosial. Mereka itu cenderung selalu mengkritisi segala sesuatu serta menolak anggapan tentang realita, kebenaran, dan pemikiran bahwa ada pengetahuan yang terus meluas tentang dunia manusia. Posmodernisme mungkin memang dapat membawa pengaruh yang baik yaitu sebagai penurun kesombongan akademik. Namun, disamping itu rupanya posmodernisme juga dapat buruk dan berubah menjadi nihilisme. Apa itu yang disebut sebagai nihilisme? Nihilisme itu adalah suatu negativisme bagi teori posmodernisme itu sendiri, nihilisme tidak dapat memberikan landasan pengetahuan apa pun sebab nihilisme menolak kemungkinan dan nilai pengetahuan. Kritisisme dapat dibuat hanya sekedar menjadi kritisisme saja, tanpa adanya suatu solusi. Dan masalah ekstrim yang bisa saja muncul adalah posmodernisme akan menolak semua teori yang dikritisi dan kemungkinan fertilisasi silang apa pun (contohnya neorealisme) dari tradisi teoritis ditentang.

Argumen posmodernisme, seperti yang diungkapkan oleh Martin Griffiths, bahwa semua klaim terhadap kebenaran itu berdasarkan pada metanaratif. (Griffiths. 2002). Metanaratif adalah suatu pemikiran seperti halnya neorealisme atau neoliberalisme yang menyatakan telah menemukan kebenaran tentang dunia sosial. Kaum posmodernis lantas menganggap pernyataan yang sedemikian itu adalah suatu hal yang tidak masuk akal dan tidak memiliki kredibilitas serta menganggap bahwa teori empiris adalah mitos belaka.

Genealogi, sangat penting dalam perspektif posmodernisme di hubungan internasional. Genealogi adalah suatu jenis pemikiran historis yang mengungkap dan mencatat signifikansi dalam hubungan kekuasaan-pengetahuan. (Burchill. 1996). Michel Foucault menambahkan bahwa genealogi adalah pembentuk sejarah, tetapi justru membangun dasar-dasar dengan wadah sejarah, oleh sebab itu, genealogi tidak berkaitan dengan kesadaran, persepsi, pandangan, perspektif, paradigma dan bentuk ideologi, namun berkaitan dengan taktik serta strategi kekuasaan yang menyebar melalui penanaman, distribusi, pembatasan, pengontrolan terhadap ruang (imajinatif) dan tempat (teritori). (Foucault. 1980). Richard Davetak menambahkan pandangannya mengenai genealogi yang mempelajari peristiwa awal atau asal-muasal dari segala sesuatu dengan memperhitungkan pertimbangan bagaimana nilai-nilai yang ada disekitar penulis mengkonstruksikan pemikirannya yang kemudian nantinya akan berpengaruh pula terhadap karya yang dihasilkan. Mengenai masalah genealogi neorealisme, dapat kita ketahui bahwa neorealisme merupakan hasil dari rekonstruksi antara realisme, strukturalisme dan mendapat bumbu-bumbu behavioralisme. Apa yang menyebabkan genealogi ini menyangkut neorealisme? Karena neorealisme menekankan bias kaum strukturalis mengenai teori. Struktur anarkis sistem internasional menghadapkan aktor-aktor individual sebagai realitas material yang given dan tidak dapat dirubah. (Jackson & Sorensen. 1999). Menurut kaum posmodernis, hal ini mengakibatkan reifikasi, yaitu gerakan yang secara historis menghasilkan struktur yang dihadirkan sebagai hambatan yang tidak dapat diubah yang diberikan alam. Sebenarnya, dijelaskan lebih lanjut oleh Foucault, genealogi digunakan untuk menelusuri jejak diskontinuitas dan keterputusan sejarah guna menekankan singularitas dari suatu fenomena, bukan berusaha menjelaskan kecenderungan sejarah. (dalam Steans & Pettiford. 2009)
Intertekstual Hubungan Internasional. Der Derian, berpendapat posmodernisme itu sangat berkaitan dengan upaya menunjukkan adanya saling pengaruh tekstual di balik kekuasaan politik. Ia menganggap bahwa realitas itu merupakan suatu teks yang saling bertemu. Pertemuan teks-teks tersebut menciptakan suatu jaring teks yang berisi makna ontologi politik internasional. (dalam Asrudin & Suryana. 2009).

Diperkuat oleh Derrida bahwa sulit untuk menemukan arti pakem dari teks itu sendiri, sehingga dia tidak membatasi arti teks atas literatur maupun gagasan orang. Mengingat tidak ada batasan tentang apa itu arti pakem dari teks, Derrida bahkan menganggap dunia juga merupakan sebuah teks. Dunia nyata ini tersusun seperti halnya teks. (dalam Burchill. 1996). Seseorang tidak dapat merujuk sesuatu yang nyata kecuali dengan pengalaman interpretatif, maka dari itulah, posmodernisme menganggap interpretasi itu sangat penting dan fundamental dalam pembentukan dunia sosial. Saling pengaruh tekstual tersebut merupakan suatu hubungan yang saling membentuk antara interpretasi berbeda mengenai representasi dan susunan dunia. Untuk menyebarkan pandangan saling pengaruh tekstual itulah, posmodernisme menggunakan metode-metode dekonstruksi dan pembacaan ganda.

Dekonstruksi Diplomasi. Dekonstruksi dapat dipahami sebagai suatu cara untuk dapat membongkar sesuatu dengan tujuan menunjukkan elemen-elemen yang berubah dan tujuannya yang bias. Pada dasarnya, menurut Derrida, dekonstruksi itu bertujuan untuk mengungkap akibat serta kerugian yang dihasilkan dari pertentangan yang baku, untuk mengungkap hubungan parasitikal antara hal-hal yang bertentangan serta berupaya untuk memindahkannya. Dekonstruksi ini, dapat pula digunakan dalam proses diplomasi, karena dekonstruksi dapat membedah suatu elemen-elemen tertentu dari fenomena yang ada.

Anti-Positivisme sangat erat kaitannya dalam pembentukan ide-ide posmodernisme, mengapa demikian? Dikarenakan anti-positivisme ini merupakan pandangan yang menuntut para akademisi untuk menolak empirisme dan metode-metode ilmiah dalam kaitannya untuk menyusun suatu teori sosial maupun penelitian. Anti-positivisme menganggap bahwa fenomena sosial itu tidak dapat diukur karena sangat berhubungan dengan pemikiran subjektif seseorang. Hal tersebut sangat berkaitan erat dengan posmodernisme yang juga menganggap bahwa tidak ada suatu realitas objektif; segala sesuatu yang melibatkan manusia itu subjektif.

Berkenaan dengan ontologisme, sejauh pengetahuan penulis, adalah suatu sistem ideologis yang mempertahankan bahwa ide Tuhan adalah objek pertama dari kecerdasan kita, jadi segala sesuatu yang berasal dari Tuhan itu merupakan pengetahuan kita yang pertama kali dan di luar dari konteks Ketuhanan, maka tidak dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang ilmiah. Namun dalam posmodernisme, ontologisme itu dapat dikatakan sebagai ruang lingkup maupun objek kajian dari suatu fenomena yang dapat dikritisi oleh para pemikir posmodernis.

Referensi :

Asrudin & Suryana, Mirza Jaka. (2009). Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke Kontemporer. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). Theories of International Relations. New York : St. Martin’s Press.

Foucault, Michel. (1980). Power / Knowledge : Selected Interviews & Other Writings 1972-1977. New York : Pantheon Books.

Griffiths, Martin & O’Callaghan, Terry. (2002). International Relations : The Key Concepts. New York : Routledge.

Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999). Introduction to International Relations. New York : Oxford University Press.

Steans, Jill & Pettiford, Lloyd. (2009). International Relations : Perspectives and Themes. Edinburgh Gate : Pearson Education Limited.

Marxism & Neo-Marxism

Marxisme
Apa itu yang disebut sebagai marxisme? Marxisme adalah suatu paham ekonomi dan sosial berdasarkan ide politik dan ekonomi dari Karl Marx dan Frederich Engels. Marxisme adalah sistem sosialisme dimana kepentingan yang dominan ialah pada kepemilikan publik, yaitu produksi, distribusi dan tukar-menukar (proses jual beli). (http://www.allaboutphilosophy.org/what-is-marxism-faq.htm). Ekonomi lebih ditonjolkan dalam paham ini dan politik berada dalam posisi kedua karena politik sebagian besar ditentukan oleh konteks sosial-ekonomi, sehingga kelas sosial yang dominan di ekonomi, secara otomatis juga dominan dalam politik. Sifat hubungan ekonominya adalah konfliktual, dimana antar negara dapat saling mencari maximum profit seluas-luasnya dan diperbolehkan menjatuhkan negara lain. (Jackson & Sorensen.1999).

Pada marxisme, publik dibagi menjadi dua golongan, dimana kaum borjuis yang berperan sebagai pemilik alat produksi, serta kaum proletar (buruh) yang berperan sebagai tenaga kerja / penggerak produksi. Bisa dikatakan bahwa aktor dari Marxisme itu ialah kedua kelas tersebut, borjuis dan proletar (dengan kelas borjuis sebagai pemegang kendali). Elemen dasar Marxisme dalam buku Dictionary of International Relations diantaranya :

1. Semua sejarah (dalam Marxisme) adalah sejarah dari perjuangan kelas antara kelas yang berkuasa dan kelas yang menentang.

2. Kapitalisme membangkitkan adanya pertentangan kelas, antara kelas borjuis dan proletar dengan kelas borjuis sebagai pemegang kendali.

3. Kapitalisme menggunakan perang untuk semakin memanjangkan umur.

4. Sosialisme, yang menghancurkan kelas, juga harus menghancurkan perang.

5. Ketika suatu negara telah lemah, begitu pula politik internasional. (Evans & Newnham.1998)

Karl Marx melihat bahwa kapitalisme tidak sepenuhnya buruk meskipun perekonomian kapitalis yang notabene dikendalikan oleh kaum borjuis bersifat eksploitatif terhadap buruh. Mengapa? Karena Marx melihat bahwa sistem feodalisme yang justru mencerminkan eksploitasi buruh yang parah. Dalam feodalisme, seolah-olah buruh adalah budak, sehingga harus mau mendedikasikan hidupnya pada majikan, sedangkan lain halnya dengan kapitalisme dimana para buruh masih diberi penghargaan atas kerjanya dengan melalui upah. Meskipun tidak sebanding antara tenaga yang dijual dengan imbalan yang diperoleh, Marx percaya bahwa kapitalisme yang menciptakan ketidakmerataan kelas pada akhirnya justru akan membawa jalan bagi revolusi sosial dimana alat-alat produksi akan ditempatkan dalam kontrol sosial bagi keuntungan kaum proletar dan menciptakan masyarakat sosialis seperti cita-cita Marx. Marxisme mengutamakan sebuah kebebasan, artinya sebuah independensi dimana tiap-tiap individu dapat bebas berpegang pada pendiriannya berkenaan dalam proses produksi, sebagai contoh, kaum proletar bebas menjual keterampilan bekerjanya kepada kaum borjuis dengan harapan mendapatkan upah yang terbaik.

Neo-Marxisme
Neo-Marxisme adalah sebuah paham yang mengacu pada kebangkitan kritis teori Marxis pada periode pasca-perang, yang paling sering digunakan untuk menunjukkan pekerjaan di bidang ekonomi politik radikal yang mencoba untuk menggabungkan aspirasi revolusioner dan berorientasi konsep Marxisme dengan beberapa perangkat yang disediakan oleh ekonomi non-Marxis, terutama karya Keynes. Politik dengan rasa keterbatasan Marxisme dalam menghadapi fenomena seperti fasisme atau massa budaya, tampaknya telah pertama kali diperkenalkan untuk menggambarkan pemikir - seperti Joan Robinson, Paul A. Baran, dan Paul M. Sweezy - yang berusaha untuk memperbaharui kritik ekonomi politik dalam situasi yang ditandai dengan munculnya korporasi global. Neo-Marxisme adalah sebutan untuk menunjukkan upaya, selama dan setelah Perang Dunia II, yang bercermin pada ketepatan kategori Marxis untuk memahami kondisi perubahan akumulasi modal. (Toscano, Alberto.2007). Pada neo-marxisme, aktor yang berperan penting adalah negara, kaum borjuis dan kaum proletar.

Berkenaan dengan tatanan dunia dan sistem internasional, neo-marxisme melihat kesemuanya itu sebagai sebuah sistem kapitalis dari rangkaian berbagai hubungan sosial, ekonomi, dan politik yang saling terhubung dan secara bersama-sama membentuk sebuah struktur. Dengan artian, keum neo-marxis melihat sistem kapitalis global sebagai suatu sistem yang menunjukkan mulai munculnya berbagai hubungan diantara para elit dengan saling berbagi kepentingan dasar. (Steans & Pettiford. 2009). Pada paham neo-marxisme pula, muncul dua teori yang memiliki pengaruh besar, yaitu teori ketergantungan (dependency theory) yang berpendapat bahwa perekonomian di Asia, Afrika, dan Amerika Latin berada di ‘pinggiran’ dalam perekonomian global dan mereka bergantung pada negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Utara yang berada di ‘pusat’ sistem. Artinya, negara pinggiran tersebut hanya memproduksi bahan mentah maupun barang setengah jadi, dan bukan barang jadi, sedangkan negara pusat sudah bisa memproduksi barang manufaktur seperti kulkas, televisi dan lain sebagainya. Teori lain ialah teori sistem-dunia, dimana pada teori ini memandang bahwa kapitalisme digerakkan oleh dorongan dari setiap pengusaha baik individu maupun perusahaan besar yang berusaha untuk memaksimalkan keuntungan mereka, maka dari itu timbul kecenderungan mendasar untuk memperluas volume produksi menjadi sangat besar dalam perekonomian dunia. Intinya, Neo-Marxisme memperluas analisis Karl Marx tentang pengeksploitasian antara kaum borjuis terhadap kaum proletar. Neo-Marxisme berpendapat bahwa perekonomian kapitalis global yang notabene dikendalikan oleh negara kapitalis kaya, dipergunakan untuk mengeksploitasi negara pinggiran (periphery).

Jadi menurut saya, marxisme lebih menitikberatkan pada kesenjangan antara kaum borjuis dan kaum proletar yang kemudian muncul gagasan masyarakat sosialis. Namun, tidak seperti Marxisme, Neo-Marxisme yang menitikberatkan pada sirkuit uang dan komoditas yang berpendapat bahwa modal asing akan berekspansi ke pinggiran untuk memperpanjang proses penaikan harga. Keduanya juga sama-sama mengusung kebebasan individu (independensi).

Referensi:

1. Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999). Introduction to International Relations, Oxford University Press.

2. Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). Theories of International Relations. New York: St. Martin’s Press.

3. Evans, Graham & Newnham, Jeffrey. (1998). The Penguin Dictionary of International Relations. Penguin Group.

4. All About Philosophy. What Is Marxism?. http://www.allaboutphilosophy.org
/what-is-marxism-faq.htm. Diakses tgl 4 April 2010.

5. Toscano, Alberto. (2007). Neo-Marxism. http://www.blackwellreference.com/public/tocnode?id=g9781405124331_chunk_g978140512433120_ss1-12. Diakses tgl 6 April 2010.

6. Steans, Jill & Pettiford, Lloyd. (2009). International Relations : Perspectives and Themes. Pearson Education Limited, Edinburgh Gate.

Filibuster

Dalam sebuah parlemen atau badan pemerintah yang bertugas mengambil keputusan (senat), selalu dilakukan debat sebelum pemungutan suara (vote). Nah, pada proses perdebatan di dalam Senat tersebut, dikenal istilah filibuster. Istilah ini pertama digunakan di Senat Amerika Serikat, di saat peraturan senat mengizinkan seorang senator, atau sekelompok senator, untuk berbicara sepanjang mereka inginkan dan tentang tema apa saja untuk mengulur waktu diambilnya sebuah keputusan. Pada sejarahnya, konsep filibuster ini muncul atas gagasan Thomas Jefferson yang mengusulkan agar Kongres Amerika mengadopsi dan menerapkan sistem dari Parlemen Inggris yang memiliki konsep bahwa dalam sebuah debat berkenaan dengan pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan, anggota yang lain diperbolehkan untuk mengajukan interupsi kepada anggota yang mengajukan pendapat. Sejak 1872, filibuster benar-benar menjadi bentuk nyata dari perdebatan yang tidak terbatas (unlimited debate) hingga pada tahun 1917, oleh senat diberlakukan aturan baru dengan nama cloture. Pemberlakuan aturan baru ini disebabkan karena pada waktu itu, filibuster menjadi terlalu tidak terbatas, sehingga perdebatan akan terus berlanjut tanpa ada ujung dan titik temu yang pasti serta semakin lama semakin tidak relevan dengan konteks yang diperbincangkan. Bahkan ada yang memanfaatkan filibuster sebagai kesempatan untuk menjelek-jelekkan pihak lain. Sebagai contoh adalah pada sekitar tahun 1825, ketika Wakil Presiden Senator Randolph Calhoun diberi kesempatan untuk berbicara setiap hari selama tiga bulan, namun dia menggunakan kesempatan tersebut untuk menjelek-jelekkan Presiden John Quincy Adams.

Sebenarnya, pada awal pembentukan Kongres, HoR mempunyai kelebihan yang sama yaitu dapat melakukan filibuster seperti halnya pada Senat. Namun seiring dengan pertambahan jumlah dari anggota HoR, maka peraturan bagi HoR tersebut direvisi dan tak lagi dapat melakukan debat secara unlimited, sementara Senat masih bisa melakukannya dikarenakan jumlah senator hanya 100 orang. Jika dibandingkan dengan HoR yang jumlah anggotanya sebanyak 435 (sekarang) maka bagaimana mungkin jika nantinya menyelesaikan masalah ketika timbul perdebatan sedangkan kesemua anggota HoR memiliki filibuster yang unlimited? Maka dari itulah, HoR diberi beberapa batasan dan tidak lagi unlimited.

Ada yang mengatakan bahwa filibuster adalah usaha atau bisa dikatakan sebagai taktik yang digunakan untuk menghalangi diambilnya satu keputusan tertentu dengan cara mengambil waktu yang tersedia, biasanya dengan pidato yang sangat panjang, dan memang hal tersebut diperbolehkan. Selain pidato yang panjang, biasanya juga disertai dengan gerakan-gerakan lambat / tidak tegas (yang seolah memang dibuat demikian), serta rangkaian-rangkaian rumusan perubahan yang ingin diajukan.

Mengingat dalam Senat, debat yang dilakukan bersifat unlimited atau tak ada batasan waktu, maka debat yang diselenggarakan sering tak kunjung usai. Untuk itulah, terdapat pula hak yang diberikan kepada senat berupa cloture, yang merupakan kebalikan dari filibuster. Cloture adalah adalah salah satu cara untuk segera mengakhiri filibuster yang berkepanjangan. Ketika suatu bahasan masalah dan penentuan kebijakan tak kunjung usai, maka, filibuster yang terkenal sangat lama dan membosankan itu bisa saja berakhir dengan cloture. Hal itu bisa terjadi ketika cloture mendapat dukungan dari tiga-perlima anggota Senat (biasanya 60 orang dari total keseluruhan 100 orang anggota) dan dilakukan dengan jalan pemungutan suara lagi (voting).

Cloture memiliki beberapa prosedur agar dapat mengakhiri suatu filibuster. Berikut adalah beberapa prosedur cloture tersebut, diantaranya :

1. Minimal 16 orang senator harus menandatangani petisi untuk mengadakan cloture.

2. Petisi tersebut diperbolehkan untuk dibacakan pada saat senator lain sedang mengutarakan pidatonya.

3. Yang bertugas untuk membacakan petisi tersebut adalah notulen.

4. Dan yang terakhir adalah diambil pemungutan suara.

Ketika cloture sudah disepakati, perdebatan tidak langsung begitu saja berhenti, namun ada waktu tambahan sekitar 30 jam, selain itu, senator tidak lagi diperbolehkan berbicara selama lebih dari satu jam. Kesimpulannya, filibuster itu digunakan para senator untuk menunda atau mengulur-ulur pengambilan keputusan yang mungkin baginya kurang memberikan keuntungan bagi pencapaian kepentingan wilayahnya. Filibuster itu bersifat unlimited, jadi seorang senat bebas memperdebatkan berbagai pertimbangan berkenaan dengan kebijakan yang akan diambil dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Cloture, sebagai pemutus filibuster yang berkepanjangan dan tak berujung. Jadi apabila terjadi debat yang berkepanjangan dan bahkan tidak mencapai titik temu serta keluar dari konteks yang diperbincangkan, maka para senator dapat mengajukan cloture sebagai pembatas dan yang bertindak untuk mengakhiri perdebatan tersebut.

Referensi:

Beth , Richard S. & Bach, Stanley. (2003). Filibusters and Cloture in the Senate. Congressional Research Service, Library of Congress.

Davis, Christopher M. (2007). Invoking Cloture in The Senate. CRS Report for Congress.

The Free Dictionary. http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/filibuster. diakses tgl 14 April 2010.

United States Senate. Filibuster and Cloture. http://www.senate.gov/artandhistory/history/common/briefing/Filibuster_Cloture.htm. diakes tgl 14 April 2010.

Krisis Globalisasi

Berbicara mengenai interupsi dalam globalisasi, berdasarkan artikel yang kami baca rupanya memang terdapat beberapa interupsi yang terjadi selama proses globalisasi. Menurut artikel yang saya peroleh dari situs milik IMF (International Monetary Funds), interupsi dalam globalisasi muncul pada sekitar awal abad ke-20 an yang dipicu oleh gelombang proteksionisme serta nasionalisme yang agresif, dimana kedua pemicu tersebut menghantarkan kita pada Great Depression dan perang dunia. (http://www.imf.org/external/np/exr/ib/2002/031502.htm). Great Depression dan perang dunia telah kita ketahui membawa berbagai perubahan pada aspek kehidupan manusia, termasuk membawa krisis ekonomi yang hebat pada waktu itu. Beberapa peristiwa yang dapat dijadikan sebagai bukti dari krisis global yang pernah terjadi dapat kita lihat pada peristiwa kemunduran ekonomi Jepang, kegagalan transisi Uni Soviet menuju ekonomi pasar pada sekitar tahun 1990-an, serta munculnya kembali masalah finansial di Brazil.

Dalam artikelnya yang berjudul The Global Financial Crisis, George Soros menjelaskan dengan gamblang mengenai krisis yang melanda finansial global, salah satu contohnya adalah krisis yang melanda benua Asia. Penyebab cepat krisis finansial ini, menurut Soros, dikarenakan oleh ketidaksejajaran nilai tukar mata uang. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara mempertahankan susunan informal-nya yang mengikat nilai tukar mereka terhadap dollar Amerika. Stabilitas taraf dollar yang nyata, mendorong bank serta perusahaan lokal untuk meminjam dollar dan mengkonversikan dollar terhadap mata uang lokal tanpa ada batasan-batasan tertentu. Tapi susunan yang sedemikian muncul di bawah tekanan, sebagian berasal dari penilaian nilai tukar China pada tahun 1996, dan sebagian lagi berasal dari apresiasi dollar Amerika terhadap yen Jepang. (Soros. 1998). Akhirnya, pada awal tahun 1997, ketidaksesuaian antara perhitungan perdagangan dan perhitungan kapital menjadi tidak dapat dipertahankan. Krisis pun muncul seiring pemerintah Thailand menaikkan nilai tukar mata uangnya, krisis ini, oleh Soros, terjadi lebih lambat dari yang diperkirakan karena pemerintah keuangan setempat tetap mendukung nilai tukar mereka untuk semakin tinggi dan semakin tinggi sehingga bank-bank internasional melanjutkan untuk perpanjangan peminjaman. Kemudian, krisis pun menyebar bagai jamur dengan cepat ke berbagai penjuru, seperti Malaysia, Indonesia, Filipina, Korea Utara dan negara-negara lainnya.

Ada beberapa kelemahan dalam struktur ekonomi Asia, terutama Asia Timur. Jika dilihat, memang kebanyakan perusahaan dimiliki oleh keluarga sendiri, maksudnya di sini adalah perusahaan yang bersifat tertutup, artinya hanya para anggota keluarga-lah yang boleh menentukan kebijakan-kebijakan perusahaan dan berdasarkan pada tradisi Konfusian, bahwa keluarga ingin menguasai kendali penuh. Jika mereka memutuskan untuk membuat perusahaan yang bersifat terbuka dan memberikan saham kepada masyarakat, mereka cenderung untuk bersikap tidak memperdulikan hak dari pemegang saham yang minoritas. Dan ketika mereka tidak sanggup membiayai untuk pertumbuhan pendapatan perusahaan, mereka lebih memilih untuk bergantung pada pinjaman daripada resiko kehilangan kendali. Pada waktu yang sama, pejabat-pejabat tinggi pemerintahan menggunakan kredit dari bank sebagai alat untuk pelaksanaan kebijakan industri. Gabungan dari faktor yang telah kami sebutkan di atas pada akhirnya menghasilkan pinjaman yang sangat tinggi pada sektor finansial.

Stephen Gill, menambahkan dalam artikelnya yang berjudul The Geopolitics of The Asian Crisis bahwa krisis ekonomi di Asia bukan hanya sekedar suatu persoalan pergerakan dalam pasar global, namun faktor geopolitik rupanya juga mempengaruhi. Krisis Asia Timur menunjukkan ada konflik intens antar negara pada bentuk dan arah pola regional serta global dari perkembangan kapitalis. Dalam konteks krisis tersebut, pengarahan dan kendali yang dilakukan oleh negara membentuk politik ekonomi yang ditekan pada liberalisme. (Gill. 2008). Pola umum ini dapat dikenali tidak hanya pada perkembangan yang terjadi pada dewasa ini di Asia, namun juga dapat kita temui pada restrukturalisasi Amerika Latin seiring krisis pada awal tahun 1980-an serta kegagalan transisi Uni Soviet pada awal 1990-an seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Menurutnya, krisis di Asia Timur ini menggambarkan fase ketiga dalam proses strategi dominasi Amerika Serikat. Krisis ini merupakan suatu bentuk otoriter, dimana kapitalisme yang bersifat state-directed menghalangi tipe spesifik dari internasionalisasi modal. Sasaran Amerika Serikat adalah sistem perusahaan swasta bebas secara global (global free enterprise system), yang memungkinkan bagi para investor besar serta perusahaan transnasional raksasa untuk memperoleh kendali yang lebih besar pada masa depan aliran keuntungan suatu wilayah serta memastikan pasar bebas tenaga kerja, sehingga modal dapat mengeksploitasi tenaga kerja. Rencana yang demikian, membutuhkan peran serta pemerintah setempat untuk melanjutkan tindakan ini, dan mampu mempertahankan perintah politik, karena proses penyesuaian struktural ini sangat sulit. Globalisasi nyatanya memang pernah mengalami interupsi-interupsi dalam prosesnya.

Referensi:

Gill, Stephen. (2008). The Geopolitics of The Asian Crisis, dalam Power and Resistence in The New World Order. New York : Palgrave Macmillan.

International Monetary Funds. (2002). Globalization : A Framework for IMF Involvement. (http://www.imf.org/external/np/exr/ib/2002/031502.htm). Diakses tanggal 6 Juni 2010.

Soros, George. (1998). The Global Financial Crisis, dalam The Crisis of Global Capitalism. New York : Public Affairs.

Liberalisme & Neo-Liberalisme

LIBERALISME
Liberalisme memiliki asumsi dasar yang sangat berlawanan dengan realisme. Jika kaum realis berasumsi bahwa manusia pada dasarnya ialah makhluk yang buruk (perangainya) dan selalu pesimistis, maka kaum liberalis cenderung optimistis. Ketika realisme memandang bahwa negara sewaktu-waktu bisa menjatuhkan negara lain yang kemudian memunculkan kekhawatiran-kekhawatiran tertentu, liberalisme lebih memandang bagaimana agar dapat hidup dalam dunia yang lebih damai dan dapat bekerja sama dengan baik. (Jackson & Sorensen.1999). Jadi dapat dilihat bahwa hubungan antar negara dapat lebih bersifat kooperatif daripada konfliktual. Segala permasalahan masih bisa diselesaikan dengan cara damai, dengan pertimbangan kehidupan warga negara. Dengan kata lain, agenda utama kaum liberalis ialah mencapai kesejahteraan dan perdamaian dunia.

Menurut Immanuel Kant, perdamaian bisa bersifat abadi. Hukum alam mengatur keselarasan dan kerja sama antar manusia. Dengan keyakinan akan kekuatan akal manusia, kaum liberal selalu optimis bahwa perang bisa dihapuskan dari kehidupan manusia. Kant menginginkan sebuah perdamaian dunia dimana terdapat negara-negara yang bebas, namun bukan berarti dapat bebas seluas-luasnya, melainkan bebas dengan tetap ada aturan hukum sebagai pengontrolnya. Kaum liberal menganggap bahwa perang merupakan suatu alat yang digunakan oleh pemerintah militeris dan non-demokratis demi kepentingan pribadi mereka untuk memperluas wilayah, sementara rakyat pada dasarnya pecinta damai dan terlibat konflik semata-mata dikarenakan oleh sikap penguasa. (Burchill & Linklater.1996)

Ditinjau dari segi ekonomi, paham liberalisme ekonomi muncul berdasarkan pemikiran Adam Smith dan David Ricardo, seorang tokoh liberalis klasik abad 19 yang menyatakan bahwa pada saatnya nanti keuntungan akan dapat diperoleh secara maksimal oleh semua pihak apabila pasar dibiarkan saja bekerja dalam permainan ekonomi secara bebas dan tanpa campur tangan pemerintah. Dalam hal ini, negara berfungsi sebagai pelindung pasar. Karena pasar dilihat sebagai alat yang sangat efisien dalam mengatur produksi dan pertukaran yang dilakukan manusia. (Steans & Pettiford.2009)

Para liberalis dapat melakukan inovasi dan pengembangan karena kaum liberalis diberi kebebasan seluas-luasnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta keyakinan akan kesempurnaan kondisi manusia. Aktor utama dalam pandangan liberalisme adalah individu, dengan didukung oleh aktor lain seperti NGO, MNC dan lain-lain. Ide liberalis yang sangat menonjol hingga saat ini dalam segi ekonomi, adalah masalah free trade. Francis Fukuyama, dalam bukunya yang berjudul “The End of History and The Last Man” menyatakan bahwa kebangkitan liberalisme juga didukung oleh pemikiran “berakhirnya sejarah” yang berdasarkan kekalahan komunisme dan kemenangan demokrasi liberal. (Fukuyama.1992)

Berkenaan dengan masalah penciptaan dan pemeliharaan perdamaian dunia, kaum liberalis melihat bahwa dengan adanya saling bekerja sama antar negara, maka terciptalah suatu aturan atau hukum internasional seperti gagasan yang dikemukakan oleh Hugo Grotius. Selain itu, kaum liberalis juga mengadakan apa itu yang disebut sebagai PBB (pada masa sekarang) sebagai lembaga yang bertugas sebagai media pemelihara perdamaian dunia serta mahkamah internasional.

NEO-LIBERALISME
Pada dasarnya, neo-liberalisme hampir sama dengan liberalisme klasik. Pada paham ini, juga beranggapan bahwa pasar sebagai The Invisible Hand yang mampu memperbaiki keadaan ekonomi dan memberikan keuntungan yang maksimal bagi tiap individu. Terobosan dari neo-liberalisme adalah IMF dengan solusi Sistem Bretton Woods-nya, yakni sistem yang menetapkan nilai tukar tetap mata uang. Maksudnya dalam hal ini adalah nilai tukar yang tetap stabil dan yang paling kondusif untuk diperdagangkan. (Jackson & Sorensen. 1999). Sistem ini keluar ketika nilai tukar uang mengambang pada tahun 1930 bahkan mengalami inflasi yang berakibat fatal pada perekonomian dunia pada saat itu.

Dengan agenda utama yang masih sama dengan liberalisme klasik, neo-liberalisme pada saat ini cenderung lebih mengejar kesejahteraan dengan menggalakkan perdagangan bebas. Aktor utama dalam paham ini adalah individu (namun lebih cenderung pada peranan institusi dalam mengatur kebebasan individu tersebut) serta didukung oleh perusahaan swasta, NGO, MNC dan lain-lain. Dalam neo-liberalisme, negara tetap tidak boleh mengintervensi pasar, jadi pasar tetap dibiarkan mengatur perekonomian dan segala aktivitasnya dengan catatan, mendapat pengawasan dan aturan-aturan tertentu dari institusi tersebut sehingga diharapkan individu tidak mempergunakan kebebasannya secara luas dan tanpa batasan. Mungkin jika dilihat sekilas, maka saya rasa akan timbul pertanyaan, “Dengan adanya kebebasan luas yang ditawarkan oleh liberalisme dan neo-liberalisme tersebut, bukannya malah beresiko akan timbulnya pasar gelap (black market) ?” Bagi orang liberalis, jawabannya adalah sangat minim. Dikarenakan pasar juga didasarkan pada aturan-aturan politik yang menyatakan kerangka kerja pasar. Pada saat bersamaan, kekuatan ekonomi dapat berfungsi sebagai basis bagi kekuatan politik yang saling berinteraksi dalam cara yang rumit. (Gilpin.1987)

Jadi, menurut saya, antara liberalisme dan neo-liberalisme memiliki perbedaan dimana kaum liberalis lebih menekankan pada kebebasan individu yang seluas-luasnya tanpa adanya intervensi dalam mengembangkan usaha mereka, sedangkan kaum neo-liberalis lebih cenderung menekankan pada pembentukan institusi-institusi tertentu dalam pengaturan kebebasan individu tersebut, seperti misalnya dengan pengadaan IMF, World Bank dan lain-lain.

Referensi:

Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). Theories of International Relations. New York: St. Martin’s Press.

Fukuyama, Francis. (1992). The End of History and The Last Man. New York: Free Press.

Griffiths, M., & O’Callagan, T., (2002) International Relations, The Key Concepts, Routledge.

Gilpin, R. (1987). The Political Economy of International Relations. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999). Introduction to International Relations, Oxford University Press.

Steans, Jill & Pettiford, Lloyd. (2009). International Relations : Perspectives and Themes. Pearson Education Limited, Edinburgh Gate.

Feminisme Sebagai Pendobrak Maskulinitas Dalam Hubungan Internasional

Dalam teori hubungan internasional, kita sadari bahwa memang sebagian besar bidang kajian hubungan internasional sebagian besar mempelajari tentang perang, konflik, pengembangan cara diplomasi dan hukum internasional, serta masalah mengglobalnya perdagangan internasional yang notabene merupakan “makanan” para sarjana HI dan sebagian besar merupakan bidang untuk kaum pria (cenderung identik dengan maskulinitas). Kemudian, muncullah feminisme sebagai teori pendobrak kebiasaan-kebiasaan pemisahan gender dalam kehidupan, sebagai contoh adalah masuknya perempuan kontemporer ke dalam ranah pertempuran militer (misalnya Lyudmila Pavlichenko, seorang sniper ulung dari Uni Soviet). Dapat dikatakan bahwa feminisme ini berusaha untuk menunjukkan bahwa wanita juga memiliki hak yang sama dengan kaum pria, bahwa wanita juga mampu melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh kaum pria, bahwa wanita juga memiliki talenta yang dapat sejajar dengan kaum pria, bahkan ada yang dapat melebihinya.

Feminisme, menurut Martin Griffiths didefinisikan sebagai sebuah studi atau pergerakan wanita tidak hanya sebagai objek, namun kali ini sebagai subjek pengetahuan. Gelombang feminisme pertama pada tahun 1980, yang dikenal sebagai feminism empiricism, seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, mengklaim kembali suara perempuan serta menunjukkan peranan wanita dalam kekuatan ekonomi global dan interaksi negara. (Griffiths. 2002). Dari beberapa penjelasan di atas, maka sebenarnya sudah dapat kita simpulkan bahwa asumsi dasar feminisme ini adalah masalah gender. Para wanita ingin menuntut hak yang sama dengan kaum pria karena sudah sekian lama para wanita diperlakukan secara rendahan dan tidak adil, sebagai contoh dalam segi pekerjaan, dalam program pembangunan PBB disebutkan bahwa di Austria, Jepang dan Italia, beban pekerjaan kaum wanita lebih besar daripada kaum beban pekerjaan pria, dan kaum wanita menerima upah yang sangat sedikit atau bahkan tidak menerima upah sama sekali.

Lantas, seperti apa perjuangan kaum feminisme demi memperjuangkan emansipasi politik? Sampai sekarang, dapat kita lihat sudah banyak sekali perjuangan emansipasi kaum wanita dalam ranah politik untuk mendobrak tradisi lama bahwa wanita tidak bisa apa-apa, wanita tidak berkedudukan lebih rendah daripada kaum pria dan masih banyak lagi. Feminisme membuktikan semua kelebihan dari wanita, seperti terpilihnya Margareth Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris yang dijuluki sebagai The Iron Lady, kemudian Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto, dan bahkan ibu negara kita Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada akhirnya dapat kita lihat pada masa sekarang ini semakin banyak para aktivis wanita baik dalam organisasi maupun pemerintahan.

Berkenaan dengan masalah pluralitas, sebenarnya sudah dapat kita lihat ketika feminisme sendiri juga membagi dirinya menjadi beberapa golongan, yaitu feminisme liberal, Marxis, radikal, standpoint, kritis serta feminisme posmodernis. (Steans & Pettiford. 2009). Sebagai contoh, jika feminisme liberal mengedepankan masalah aktor-aktor internasional lain selain negara serta memperjuangkan hak-hak kaum wanita, sebaliknya feminisme Marxist justru menganggap persamaan hak tidak akan berujung pada emansipasi wanita. Mengapa demikian? Dijawab oleh kaum feminisme Marxist bahwa istilah ‘hak’ itu sendiri dapat dikatakan berakar pada suatu pandangan tentang sifat asli manusia yang sangat individualistik dan anti-sosial. Dalam memberikan kontribusinya sejalan dengan pluralitas aktor-aktor hubungan internasional, feminisme memberikan ‘pintu’ kepada para kaum wanita untuk dapat berpartisipasi dalam organisasi internasional maupun aktor lain.

Feminisme juga banyak memberikan kontribusi bagi teoritisasi politik internasional. Misalnya pada sekitar tahun 1990-an dalam konferensi-konferensi profesional mengenai masalah kurikulum ajar dan terbitan akademis, feminisme dimasukkan sebagai sub-topik bahasan dalam studi HI. (Burchill. 1996). Dikarenakan HI sebagai suatu disiplin ilmu yang tidak terpisah dari praktik pemisahan gender dan realitas hierarki gender, maka feminisme hadir untuk memberikan solusi pemisahan gender tersebut serta berusaha memberikan bukti “this is the women’s power”, bahwa kaum wanita juga memiliki potensi dan tidak patut untuk disingkirkan dalam perpolitikan dan bidang lain.

Mengenai aspek perdamaian dan keamanan, feminisme tidak sependapat bahwa peperangan dan konflik dapat digunakan sebagai alat pencipta serta pemelihara perdamaian dan keamanan internasional. Kaum feminis justru menganggap hal yang demikian itu dapat merubah konsep tentang perdamaian dan keamanan sendiri. Feminisme menyadari bahwa perdamaian dan keamanan manusia sekarang ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti stabilitas dari perekonomian global, kemiskinan dan malnutrisi, pemanasan global, perubahan iklim, konflik etnis, tekanan politik, pelanggaran hak asasi manusia serta pembantaian atas dasar agama, entitas atau gender. (Steans & Pettiford. 2009). Kaum feminis berpendapat bahwa situasi perdamaian dan keamanan tidak akan tercipta secara holistik apabila kita mengakui bahwa kedua hal tersebut pada dasarnya merupakan suatu permasalahan tentang hak asasi manusia. Kita tahu bahwa sejak berdirinya HI sebagai suatu disiplin ilmu pada sekitar peristiwa Perang Dunia 1, sebenarnya sudah memiliki tujuan untuk memajukan kerjasama dan perdamaian internasional. Namun kaum feminis menganggap bahwa disiplin itu belum memberikan perhatian pada pergerakan kaum wanita bagi perdamaian dan kerjasama. Hal inilah yang kemudian ingin diubah hal tersebut, sebagai contoh adalah Amy Swerdlow yang menunjukkan lembaga pergerakan Demonstrasi Wanita bagi Perdamaian dapat mempengaruhi Presiden John F. Kennedy mengenai diperlukannya perjanjian pengendalian senjata nuklir dengan Uni Soviet, serta Cynthia Elone yang berpendapat bahwa penarikan mundur dukungan ibu-ibu bangsa Uni Soviet terhadap tentara Merah sebagai akibat perang di Afghanistan menimbulkan kehancuran rezim Komunis dan membantu mengakhiri Perang Dingin. (Jackson & Sorensen. 1999).

Sebenarnya, feminisme tidak melulu memusatkan perhatian sepenuhnya pada kehidupan kaum wanita, tapi lebih merupakan suatu analisis atas konstruksi kategori gender yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Dan meskipun banyak sarjana feminis yang memusatkan perhatian pada perlakuan diskriminasi dan penindasan pada kaum wanita, mereka tidak hanya menganggap kaum wanita sebagai ‘korban’ saja, namun lebih dari itu, mereka juga menjelaskan cara-cara agar para kaum wanita itu sendiri dapat menambah kekuatan diri dalam rangka meraih perubahan-perubahan positif dalam posisi sosial mereka. Akhirnya, para feminis ini ingin permasalahan gender dapat teratasi, mereka ingin mengatakan bahwa, “yes, we can. We also can do all what they do, or even more of them”

Referensi:

Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). Theories of International Relations. New York : St. Martin’s Press.

Griffiths, Martin & O’Callaghan, Terry. (2002). International Relations : The Key Concepts. New York : Routledge.

Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999). Introduction to International Relations. New York : Oxford University Press.

Steans, Jill & Pettiford, Lloyd. (2009). International Relations : Perspectives and Themes. Edinburgh Gate : Pearson Education Ltd.

Minggu, Juni 06, 2010

The Role Of Congress In Foreign Policy Decision Making

Telah kita ketahui, bahwa lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam sistem pemerintahan Amerika Serikat memiliki peranan penting masing-masing dalam hal pembuatan kebijakan luar negeri. Meskipun memiliki perbedaan, namun seringkali antara kedua lembaga tersebut saling melengkapi. Kongres dapat mendukung pemikiran yang digagas oleh presiden, namun di sisi lain, Kongres juga dapat menolak pemikiran tersebut dengan cara mencari alternatif lain atau mengubah kebijakannya. Dalam kasus tindakan independen yang dilakukan oleh presiden, maka akan sangat sulit untuk merubah suatu kebijakan dalam tempo waktu yang singkat. Dalam hal pengajuan legislatif yang dilakukan oleh lembaga eksekutif, perjanjian dan kesepakatan internasional yang ditujukan kepada Senat atau Kongres untuk disetujui, maka dalam kasus ini Kongres mempunyai suara yang sangat menentukan. Kongres seringkali mendukung kebijakan yang diajukan oleh presiden, namun seringkali Kongres melakukan sedikit modifikasi yang signifikan terhadap kebijakan tersebut dalam perjalanannya untuk dapat diterima oleh Kongres.
Tiga hal yang merupakan sebagian peranan dari kongres yang akan kami sebutkan adalah sebagai berikut, pertama kongres memiliki pengaruh yang kuat dalam penentuan kebijakan luar negeri berkenaan dengan tugas Kongres dalam hal perjanjian internasional maupun traktat lain. Kedua, Kongres memiliki peranan dalam mengatur pengeluaran dana dan bagaimana uang tersebut digunakan. Kemudian yang ketiga, dan yang paling penting yang dimiliki oleh Kongres adalah kekuatan untuk menyatakan perang.

Ada beberapa aspek yang diperdebatkan antara presiden dan Kongres berkenaan dengan pembuatan kebijakan luar negeri. Kedua aspek yang akan kami sebutkan kali ini semakin menguatkan pernyataan bahwa antara presiden dan Kongres ini harus saling melengkapi dalam pembuatan kebijakan luar negeri, karena memang pembuatan kebijakan luar negeri merupakan sesuatu yang rumit.

• Pada aspek pertama, melihat dari kekuatan yang dimiliki seorang presiden. Meskipun peran yang dijalankan Kongres sangat luar biasa, namun berdasarkan Konstitusi, seorang presiden adalah Commander-in-chief dari angkatan bersenjata. Maka salah satu isi konstitusi ini, persatuan lembaga eksekutif, kontrol informasi, serta berbagai faktor lain yang mendukung, membuat presiden memiliki keunggulan dalam penentuan kebijakan luar negeri.

• Pada aspek kedua, yang mungkin lebih menampakkan keunggulan Kongres ialah kebanyakan kekuatan pembuatan kebijakan luar negeri yang disebutkan di dalam Konstitusi dimiliki oleh Kongres. Secara umum, Kongres memiliki tugas untuk memberikan pertahanan umum dan menyatakan perang. Kongres juga memiliki kekuatan yang besar mengingat Kongres juga memiliki peranan dalam mengontrol dana.

Jika Kongres dilihat sebagai inisiator kebijakan luar negeri, berarti Kongres memiliki peran sebagai pembuat kebijakan luar negeri. Kongres dapat membuat kebijakan luar negeri melalui:

1. Resolusi dan pernyataan kebijakan
2. Perintah legislatif
3. Tekanan yang dilakukan oleh legislatif
4. Pembatasan yang dilakukan oleh legislatif (dalam hal pembiayaan)
5. Nasehat informal
6. Pengawasan Kongresional

Melalui enam cara yang dilakukan Kongres tersebut, cabang eksekutif diletakkan dalam posisi menanggapi secara positif terhadap inisiatif Kongres atau mencari cara lain untuk menyesuaikan dampak yang mungkin akan timbul terhadap arah kebijakan luar negeri tersebut. Sekarang mari kita bahas satu persatu berkenaan dengan enam cara Kongres di atas dalam membuat kebijakan luar negeri.

Resolusi dan Pernyataan Kebijakan (Resolutions and Policy Statements). Setiap tahun anggota Kongres memperkenalkan suatu resolusi yang bersifat sederhana maupun yang besar. Salah satu contoh resolusi yang memainkan peranan penting dalam kebijakan luar negeri adalah S.Res.71 (Senate Resolutions number 71) yang diperkenalkan oleh Senator Claiborne Pell pada tahun 1973. Resolusi ini meminta diadakannya suatu perjanjian internasional berkenaan dengan “pelarangan aktivitas modifikasi lingkungan dan geofisika sebagai senjata perang”. Resolusi Kongres juga dapat digunakan untuk mendukung presiden ataupun memberikan nasehat. Sebagai contoh adalah pada tahun 1965, setelah intervensi Amerika Serikat di Republik Dominika, Kongres mengeluarkan H.Res.560 yang mendukung presiden dalam tindakan apapun yang dianggap perlu untuk mencegah agresi subversif komunis di belahan barat.

Pengarahan legislatif. Kongres terkadang mengajukan kebijakan luar negeri dengan menggunakan perundang-undangan untuk menentukan program baru, mengatur tujuan dan pedoman, mengarahkan lembaga eksekutif untuk melakukan kegiatan tertentu. Sebagai contohnya ialah pada tahun 1991, Kongres mengambil sikap dalam menggunakan dana pertahanan untuk memberikan bantuan kepada bekas Uni Soviet, memberikan dana untuk membongkar senjata nuklir Uni Soviet serta menyediakan transportasi militer sebagai bantuan kemanusiaan.

Tekanan legislatif. Kongres untuk beberapa tahun menekan Presiden Bush untuk mengambil peran kepemimpinan yang lebih besar dalam hal melindungi lingkungan internasional. Pada tahun 1989 Anggota banyak mengkritik Presiden karena tidak memimpin upaya dunia untuk mengatasi pemanasan global. Setelah berbagai upaya Kongres untuk membujuk pemerintahan, termasuk surat-surat, sidang, dan amandemen Senat untuk mengadakan konferensi global terhadap lingkungan. Pada tahun 1989, Presiden menawarkan akan menjadi tuan rumah pertemuan internasional sebagai langkah menuju perundingan tentang perjanjian internasional untuk mengatasi pemanasan global.

Pembatasan yang dilakukan oleh legislatif (berkaitan dengan masalah pendanaan). Pembatasan bahkan penyangkalan dana yang dilakukan Kongres rupanya juga dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri, mengingat Kongres yang mempunyai kekuatan dalam mengontrol pendanaan. Contoh kasusnya ialah pada tanggal 23 Januari 1973, Presiden Nixon mengumumkan penandatanganan perjanjian perdamaian Paris untuk mengakhiri keterlibatan AS dalam perang Vietnam, tapi serangan yang dilakukan oleh pasukan Khmer Merah di Kamboja masih berlanjut dan Amerika Serikat pun melanjutkan pengeboman di Kamboja. Namun kemudian, karena tak kunjung usai, pada tanggal 15 Agustus 1973, Kongres memutuskan untuk tidak mendanai tindakan militer Amerika Serikat di Kamboja

Nasehat informal. Seringkali anggota Kongres membentuk suatu kebijakan luar negeri dengan cara memberikan nasehat kepada lembaga eksekutif melalui kontak informal. Nasehat tersebut juga bisa diberikan Kongres kepada lembaga eksekutif dengan mengadakan suatu pertemuan antara presiden dan anggota Kongres dimana tidak terjadi suatu pengambilan kebijakan luar negeri yang formal. Sebagai contoh adalah proposal yang diajukan untuk pusat pengurangan resiko nuklir Amerika Serikat-Soviet. Gagasan itu telah dikemukakan oleh Senator Henry Jackson, John Warner serta Sam Nunn pada tahun 1980, dan Kongres telah mengesahkan konsep tersebut dalam undang-undang pertahanan 1985. Senator Warner dan Nunn tampaknya berhasil membujuk Presiden Reagan untuk mengungkapkan ide tersebut pada konferensi puncak tahun 1985 dengan Jenderal Gorbachev sebagai wakil dari Soviet, yang kemudian mereka sepakat untuk mengadakan perundingan berkenaan dengan subjek tersebut. Pada akhirnya, perjanjian mengenai pusat pengurangan resiko nuklir ditandatangani pada 15 September 1987.

Pengawasan Kongresional. Kongress terkadang membentuk kebijakan luar negeri melalui pengawasan rutin dari pelaksanaan lembaga eksekutif terhadap kebijakan luar negeri. Cara yang dilakukan Kongres diantaranya melalui hearing dan investigasi. Pada akhirnya memang, penentuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu sangat rumit dan kompleks.

Referensi:
Grimmett, Richard H. (1999). Foreign Policy Roles of The President and Congress. http://fpc.state.gov/6172.htm. diakses tanggal 1 Juni 2010.

Hamilton, Lee H. (1982). Congress and Foreign Policy. http://www.jstor.org/stable/27547797. diakses tanggal 1 Juni 2010.

Porter, Keith. The Role of The Congress : Who Makes US Foreign Policy? http://usforeignpolicy.about.com/od/backgroundhistory/a/congress.htm. diakses tanggal 1 Juni 2010.

What Is Classical Management???

Apa itu yang disebut sebagai Classical Management? Sebelum kita beranjak pada bahasan Classical Management, sebenarnya sebelum Classical Management, terdapat satu teori yang mendahului, yaitu Teori Manajemen Awal (Early Management Theory). Teori manajemen awal ini muncul pada organisasi yang secara utama ditujukan kepada militer dan gereja katolik. Kiasan tentang mesin sangat mendominasi, dimana organisasi dipandang sebagai mesin. Mengapa demikian? Karena aplikasi dalam lingkungan organisasi adalah selama para pekerja bertindak secara prediktif (mudah ditebak) dan selayaknya mesin yang jarang sekali melakukan hal-hal diluar yang semestinya dikerjakan, maka manajemen akan tahu apa yang diharapkan. Dan jika terdapat pekerja yang melakukan hal diluar apa yang diharapkan, maka sederhana saja, pekerja tersebut akan dikeluarkan dan diganti.

Sekarang, menginjak pada pembahasan Classical Management. Teori ini berkembang selama masa Revolusi Industri ketika permasalahan baru berkenaan dengan sistem pabrik mulai muncul. Dalam hal ini, para manajer mulai tidak percaya pada bagaimana melatih para pekerja, jadi mereka lantas mengadakan suatu tes solusi. Sebagai hasilnya, teori manajemen klasik (Classical Management) berkembang dari upaya mencari “suatu cara terbaik” menjadi menyelenggarakan dan mengatur tugas. Teori Classical Management ini terdiri dari dua cabang, yaitu Classical Scientific dan Classical Administrative.

Classical Scientific, bangkit dikarenakan oleh kebutuhan untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi. Penekanannya terletak pada mencoba menemukan cara yang terbaik dalam kaitannya agar suatu pekerjaan yang besar dapat terselesaikan dengan menguji bagaimana suatu proses kerja benar-benar terselesaikan dan meneliti kemampuan dari tenaga kerja. Beberapa ilmuwan penggagas Classical Scientific ini antara lain Frederick Taylor, Henry Gantt, dan Frank serta Lilian Gilbreth. Dalam bagian ini, dijelaskan pula hierarki organisasional yaitu top management (direktur), middle management dan low management (supervisor).
Frederick Taylor merupakan penggagas teori Classical Scientific. Dia mengusulkan empat prinsip dari Classical Scientific setelah bertahun-tahun mengadakan pengujian mengenai metode kerja yang optimal. Keempat prinsip tersebut adalah:
1. Mengembangkan metode studi secara ilmiah dalam manajemen.

2. Secara ilmiah pula melakukan pemilihan, pelatihan serta pengembangan kemampuan tenaga kerja daripada sekedar membiarkan tenaga kerja tersebut melatih dirinya sendiri.

3. Bekerja sama dengan para pekerja untuk memastikan bahwa metode pengembangan ilmiah benar-benar diikuti dan dilaksanakan dengan baik.

4. Berkenaan dengan pembedaan pekerjaan antara manajer dan pekerja memiliki fungsi yang hampir sama. Para manajer mengaplikasikan prinsip scientific management untuk merencanakan pekerjaan, dan para pekerja melaksanakan tugas-tugasnya.

Prinsip Frederick Taylor tersebut diadopsi oleh banyak perusahaan dan sering meningkatkan produktivitas. Seperti contohnya ialah Henry Ford yang mengaplikasikan teori Taylor dalam perusahaan otomotif-nya.

Henry Gantt, yang merupakan rekan Taylor, mengembangkan sesuatu yang dinamainya sebagai Gantt chart, yaitu sebuah grafik batang yang mengukur antara pekerjaan yang direncanakan dengan pekerjaan yang telah terselesaikan selama proses produksi. Grafik ini lebih melihat berdasarkan pada waktu daripada kuantitas, volume atau berat. Dan grafik visual ini telah digunakan secara luas dalam perencanaan dan pengawasan peralatan sejak perkembangannnya pada tahun 1910.

Frank dan Lilian Gilberth, yaitu sepasang suami istri yang menggagas metode motion study. Motion study ini merupakan studi yang dilakukan oleh Frank ketika dia melihat beberapa tukang batu yang lambat dan tidak efisien sementara yang lain sangat produktif. Frank menemukan beberapa gerakan yang berbeda pada tiap pekerja dalam meletakkan batu. Berdasarkan observasinya, Frank lantas memisahkan gerakan dasar yang penting untuk melakukan suatu pekerjaan dan menghilangkan yang tidak penting.

Cabang Classical Management yang kedua ialah Classical Administrative. Ketika Classical Scientific membahas tentang produktivitas tiap individu, maka classical adminsitrative ini lebih berfokus pada organisasi secara keseluruhan. Penekanannya terletak pada perkembangan prinsip manajerial daripada metode kerja. Dua tokoh yang berperan dalam pengembangan classical administrative adalah Max Weber dan
Henry Fayol.

Max Weber, yaitu seorang tokoh yang memandang bahwa bentuk organisasi bisnis yang paling rasional dan efisien adalah birokrasi. Weber meyakini bahwa tiap birokrasi memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Hierarki yang jelas. Semua posisi dalam birokrasi terstruktur yang memungkinkan posisi atas mengawasi dan mengontrol posisi yang lebih bawah.

2. Divisi tenaga kerja dan spesialisasi. Semua tanggung jawab dalam sebuah organisasi selalu terspesialisasi sehingga tiap-tiap pegawai memiliki keahlian yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan khusus.

3. Peraturan. Prosedur standar operasi memerintah semua aktivitas organisasional untuk menyelenggarakan fasilitas koordinasi tertentu.

4. Hubungan impersonal antara manajer dan pegawai. Manajer harus selalu memelihara hubungan impersonal dengan pegawai sehingga sikap pilih kasih dan prasangka personal tidak akan mempengaruhi keputusan.

5. Kecakapan.

6. Catatan. Sebuah birokrasi perlu menjaga arsip secara lengkap berkenaan dengan seluruh aktivitasnya.

Henry Fayol, seorang insinyur pertambangan berkebangsaan Perancis mengembangkan 14 prinsip manajemen berdasarkan pengalaman manajemennya. Prinsip-prinsip tersebut memberikan suatu bentuk manajer modern dengan garis pedoman yang secara umum tentang bagaimana seorang supervisor harus dapat mengatur bagian dan pegawainya. Keempat belas prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

1. Divisi kerja. Divisi kerja dan spesialisasi seperti yang telah dijelaskan oleh Weber menghasilkan kerja yang lebih baik dengan usaha yang sama.

2. Otoritas dan tanggung jawab. Otoritas adalah hak untuk memberikan perintah. Seorang manajer mempunyai otoritas yang resmi dikarenakan posisinya, seperti halnya otoritas personal yang berdasar atas personalitas individu, tingkat kecerdasan dan pengalaman. Otoritas menciptakan tanggung jawab.

3. Disiplin. Kepatuhan dan rasa hormat sangat esensial dalam sebuah organisasi. Disiplin yang baik menuntut seorang manajer untuk memberlakukan sanksi atas pelanggaran yang terlihat jelas, kapanpun itu terjadi.

4. Kesatuan komando. Seorang pegawai seharusnya hanya menerima perintah dari satu atasan.

5. Kesatuan pengarahan. Aktivitas organisasional harus memiliki satu otoritas sentral dan satu rencana tindakan.

6. Subordinasi kepentingan individu menuju kepentingan umum. Kepentingan dari satu pegawai maupun kepentingan kelompok pegawai disubordinasikan menjadi kepentingan dan tujuan organisasi.

7. Pemberian upah personil. Gaji, haruslah cukup dan memberikan kepuasan bagi pegawai dan majikan.

8. Sentralisasi.

9. Schalar Chain. Yaitu sebuah rantai otoritas mulai dari pihak tertinggi sampai pihak terendah.

10. Perintah.

11. Ekuitas. Yaitu kombinasi antara kebaikan dan keadilan .

12. Stabilitas kedudukan tiap personil. Untuk mencapai produktivitas maksimum dari personil, tenaga kerja yang stabil sangat dibutuhkan.

13. Inisiatif. Memikirkan rencana dan meyakinkan kesuksesan adalah motivator yang paling kuat. Semangat, energi dan inisiatif dibutuhkan semua level dalam tingkatan organisasional.

14. Esprit de Corps. Kerja tim sangat penting dan fundamental dalam organisasi. Kerja tim semakin mendorong semangat untuk bekerja.
Dengan mengetahui penjelasan di atas, maka dapat kita ketahui beberapa perbedaan antara strategi manajemen dengan manajemen klasik berkaitan dengan apa yang ada dan yang tidak ada dalam masing-masing teori.

Referensi:
Bizcovering. (2007). Fayol Theory of Administrative Management. http://bizcovering.com/management/fayol-theory-of-administrative-management/. Diakses tgl 1 Juni 2010.

Bizcovering. (2007). The Concepts of Classical Management Theories. http://bizcovering.com/management/the-concepts-of-classical-management-theories/. Diakses tgl 1 Juni 2010.

Blacks Academy. Weber’s Theory of Bureaucracy. http://www.blacksacademy.net/content/3626.html. Diakses tgl 1 Juni 2010

NetMBA. Frederick Taylor and Scientific Management. http://www.netmba.com/mgmt/scientific/. Diakses tgl 1 Juni 2010.

OPPAPERS. Classical Management Theory. http://www.oppapers.com/essays/Classical-Management-Theory/55820. Diakses tgl 1 Juni 2010.

What Is Constructivism Theory in International Relations???

Teori konstruktivisme merupakan sebuah teori dalam hubungan internasional yang berfokus pada segi sosial dari politik dunia atau bisa disebut juga sebagai intersubjektif. Kaum konstruktivis berpendapat bahwa dunia sosial serta hubungan internasional merupakan suatu konstruksi manusia. Maksud dari konstruksi manusia di sini, dijelaskan dalam buku “Introduction to International Relations”, dunia sosial itu sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang hukum-hukumnya dapat dijelaskan secara ilmiah melalui penelitian-penelitian maupun teori ilmiah, melainkan dunia sosial itu dibentuk atau dibuat oleh masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, itulah mengapa dunia sosial sangat berarti bagi masyarakat yang hidup di dalamnya dan yang memahaminya. (Jackson & Sorensen. 1999). Kaum konstruktivis, dalam rangka membangun suatu konstruksi lebih memilih mengambil posisi sebagai subjektifis yang berkenaan dengan keyakinan kaum konstruktivis dimana realitas itu berada di dalam pikiran masing-masing pengamat. Lantas mengapa harus secara subjektifis? Kaum konstruktivis menyatakan justru dengan jalan inilah yang merupakan satu-satunya cara untuk dapat menciptakan suatu interaksi subjektif agar realitas tersebut dapat diakses. Andrew Bradley Philips mendefinisikan teori konstruktivisme sebagai suatu pandangan yang berfokus pada pembentukan karakter secara sosial oleh kepentingan dan identitas aktor, serta seiring dengan kepercayaan akan kelemahan untuk merubah berbagai praktek-praktek dan institusi dalam politik dunia yang kelihatannya bersifat kekal. (dalam Griffiths. 2007).

Asumsi dasar konstruktivisme, seperti yang dijelaskan oleh Agnes Sri Poerbasari menyangkut tiga aspek ilmu pengetahuan, yaitu ontologi, epistemologi serta metodologi. Dilihat dari segi ontologi, diasumsikan jika banyak interpretasi yang dapat diajukan untuk suatu realitas namun tidak dapat ditentukan adanya kebenaran tertinggi terhadap konstruksi tersebut, maka tidak ada jalan lain kecuali mengambil relativisme sebagai suatu posisi. Relativisme adalah bentuk pemikiran yang menjunjung keterbukaan sekaligus merupakan proses pencarian terhadap konstruksi-konstruksi baru secara terus menerus sehingga para konstruktivis dapat melihat realitas yang bercorak plural dan berada di dalam pikiran masing-masing orang.

Jika dilihat secara epistemologi, seperti yang telah dijelaskan di atas, para konstruktivis lebih mengambil peran sebagai subjektifis sebagai sarana membangun konstruksi. Mengingat pandangan ontologi yang menyatakan bahwa realitas itu berada di dalam pikiran masing-masing orang, maka para konstruktivis menggunakan interaksi subjektif sebagai cara untuk dapat mengakses realitas tersebut.

Dan aspek yang terakhir, yaitu metodologi yang menyangkut metode pembentukan pengetahuan, para kaum konstruktivis mula-mula mengidentifikasi berbagai konstruksi yang ada. Selanjutnya, mereka menggunakan metode hermeneutika dan dialektika sebagai cara untuk mencapai konsensus. Penggunaan kedua metode ini dalam konstruktivisme sebenarnya bertujuan untuk membangun konstruksi yang lebih canggih sekaligus untuk mempertahankan keterbukaan saluran komunikasi sehingga proses konstruksi berikutnya tidak mengalami hambatan. Melalui metode hermeneutika, suatu konstruksi dapat diurai setepat mungkin, sedangkan melalui metode dialektika, suatu konstruksi lama akan diperbandingkan dan dibedakan dengan konstruksi yang akan dibangun. (dalam Asrudin & Suryana. 2009). Jadi dapat dikatakan bahwa konstruktivisme itu tidak bertujuan untuk menghasilkan pengetahuan yang dapat digunakan untuk memprediksi, mengontrol dan mentranformasi dunia riil, melainkan merekonstruksi dunia yang terjadi di dalam benak para konstruktivis. Jika terdapat proses transformasi, maka pikiranlah yang ditransformasi dan bukan dunia riil.

Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Alexander Wendt yang menyebutkan bahwa konstruktivis itu sangat menekankan peran pemikiran serta pengetahuan bersama. Dilema keamanan, sebagai contoh, menurut Wendt bukan hanya dibuat dari fakta bahwa dua negara berdaulat memiliki persenjataan yang sangat mematikan, namun juga bergantung pada bagaimana negara-negara tersebut memandang satu sama lain. Kita tahu bahwa dilema keamanan adalah struktur sosial yang terdiri dari pemahaman intersubjektif dimana negara-negara sangat curiga bahwa mereka membuat asumsi-asumsi keadaan yang buruk tentang maksud dari masing-masing pihak dan sebagai akibatnya adalah terjadi saling curiga, tidak terdapat adanya kerja sama serta menolong diri sendiri. Wendt kemudian menyebutkan adanya suatu komunitas keamanan yang merupakan struktur sosial yang berbeda dari dilema keamanan tersebut. Komunitas keamanan terdiri dari pengetahuan bersama dimana negara saling percaya satu sama lain sehingga mereka dapat menyelesaikan perselisihan tanpa perang. (dalam Jackson & Sorensen. 1999).

Konstruktivis, muncul dalam konteks disiplin yang lebih berubah-ubah (tidak stagnan) pada periode pasca Perang Dingin. Namun, sejauh konstruktivisme saling berbagi perhatian yang serupa dengan teori kritis, maka rekapitulasi atas perbedaan-perbedaan yang ada sangat diperlukan sebelum perdebatan dalam menjembatani antara rasionalis-konstruktivis dievaluasi. (Griffiths. 2007). Terdapat beberapa hal yang membedakan antara konstruktivis dan rasionalis, namun penulis hanya akan menyebutkan dua diantaranya saja, mengingat keterbatasan yang dimiliki penulis. Pertama, Finnemore dan Sikkink menyebutkan bahwa konstruktivis lebih bersifat idealis filosofis daripada materialis. Mereka berpendapat bahwa struktur material memperoleh arti sosial hanya melalui pengartian bersama intersubjektif melalui apa yang mereka mediasikan. (Finnemore & Sikkink. 2001). Konstruktivis tidak menyangkal fenomena nyata dari proses material seperti proliferasi nuklir, namun mereka menyarankan bahwa satu-satunya yang dapat memahami respon tingkah laku para aktor untuk mengatakan sebuah fenomena dari referensi menuju ke artian bersama struktur melalui proses-proses yang dipahami. Apakah proliferasi nuklir itu akan dirasa mengancam stabilitas internasional, mempertingginya, atau bahkan melakukan efek netral akan bergantung pada kepentingan dan identitas aktor, yang mana dikonstruksikan secara sosial daripada dapat diduga secara logis dari posisi struktural seseorang dalam sistem internasional.

Kedua, rasionalis dan konstruktivis memiliki perbedaan berkenaan dengan konsepsi mereka tentang tindakan logis agen yang dominan. Tingkah laku, menurut konstruktivis dipandang sebagai dasar norm-driven, dengan negara yang meyakinkan sebuah kesesuaian antara kelakuan mereka sendiri dan ketentuan-ketentuan tertentu untuk mengesahkan perilaku yang berasal dari identitas mereka. (Finnemore. 1996). Jauh dari nilai ornamental yang murni, norma menguji pengaruh besar pada perilaku negara dengan menolong mengangkat identitas negara dan kepentingannya, serta mengkondisikan dan mendesak strategi dan tindakan yang dijalankan oleh suatu negara sejauh yang ada pada kepentingan mereka. Posisi yang sedemikian ini sangat kontras dengan kepercayaan rasionalis bahwa perilaku agen tidak diperintah melalui kepatutan yang logis namun melalui konsekuensi yang logis. (Baldwin. 1993)

Mengenai masalah argumen via realisme dan idealisme, seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya adalah berkenaan tentang kondisi anarki. Alexander Wendt memberikan pandangannya bahwa sesungguhnya yang disebut dengan anarki adalah “apa yang dibuat negara darinya.” (what states make of it). Tidak ada dunia internasional objektif yang terpisah dari praktek-praktek dan institusi yang telah diatur negara. (Wendt. 1992). Wendt menyangkal tesis Kenneth Waltz dengan menyebutkan bahwa sesungguhnya menolong diri sendiri dan politik kekuatan itu bukan merupakan fitur penting anarki, karena keduanya merupakan bentuk institusi. Wendt menyebutkan bahwa sifat sistem internasional (entah kooperatif ataupun konfliktual) itu merupakan hasil dari konstruksi negara-negara dan bagaimana negara-negara tersebut bertindak yang tentunya juga dipengaruhi oleh faktor psikologis dari tiap negara.

Konstruktivis bersikeras bahwa hubungan internasional itu tidak bisa direduksi menjadi tindakan rasional dan interaksi dalam batasan material (seperti beberapa klaim realis) atau dalam batasan institusional pada tingkat internasional dan nasional (seperti yang dikatakan oleh beberapa liberal internasionalis). Bagi konstruktivis, interkasi antar negara tidak hanya sebatas meliputi kepentingan nasional tertentu saja, namun harus dipahami bahwa interaksi itu adalah suatu pola tindakan yang membentuk identitas maupun dibentuk oleh identitas dari waktu ke waktu. (Griffiths. 2002). Yang membedakan dengan pendekatan teoritis lain, adalah konstruktivis mengajukan sebuah model interaksi internasional yang mengkaji pengaruh normatif struktur institusi yang fundamental dan hubungan antara perubahan normatif, identitas negara serta kepentingan negara. Pada saat yang bersamaan, institusi itu sendiri secara konstan berpotensi mengalami perubahan seiring dengan aktivitas negara dan faktor lain.

Menurut konstruktivis, institusi internasional itu mempunyai fungsi regulatif dan konstitutif. Norma regulatif mengatur peraturan dasar sebagai standar kepemimpinan dengan cara menentukan atau melarang perilaku tertentu. Sedangkan apa itu yang disebut sebagai norma konstitutif ialah norma yang menegaskan suatu perilaku dan memberikan artian tentang perilaku tersebut. tanpa norma konstitutif, suatu tindakan tidak akan dapat dimengerti. Sebenarnya, lebih dari sekedar hal tersebut, norma konstitutif itu juga dapat diumpamakan sebagai peraturan suatu permainan. Seperti halnya permainan catur, norma konstitutif ini memungkinkan aktor memainkan perannya dengan disertai dengan pengetahuan sebagai respon balik terhadap tindakan yang dilakukan oleh aktor lain.

Referensi:
Asrudin & Suryana, Mirza Jaka. (2009). Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke Kontemporer. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Baldwin, D.A. (1993). Neorealism and Neoliberalism: The Contemporary Debate. New York: Columbia University Press.

Finnemore, M. (1996). National Interests in International Society. New York : Cornell University Press.

Finnemore, M. & Sikkink, K. (2001). Taking Stock: The Constructivist Research Program in International Relations and Comparative Politics, Annual Review of Political Science 4: 391–416.

Griffiths, Martin & O’Callaghan, Terry. (2002). International Relations : The Key Concepts. New York : Routledge.

Griffiths, Martin. (2007). International Relations Theory for the Twenty-First Century : An Introduction. Routledge.

Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999). Introduction to International Relations. New York : Oxford University Press.

Wendt, Alexander. (1992). Anarchy Is What States Make of It, International Organization, 46 : 394-419.

Rabu, Mei 26, 2010

English School

Dalam buku International Relations : The Key Concepts, Griffiths, O’Callaghan menyebutkan bahwa English School dapat menggambarkan perpaduan antara pendekatan moralis dan rasionalis. Dalam kata lain, sebuah sekolah yang berfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan moral, politik, sosial dan aturan sistem internasional, serta menunjukkan bagaimana mereka saling mendesak kepentingan negara serta tindakannya. (Griffiths, O’Callaghan. 2002). Sedangkan Linklater, menyebutkan bahwa English School, merupakan sebuah mazhab yang berorientasi pada kajian struktural, fungsional dan historikal dalam politik dunia (Linklater. 2006). Berkenaan dengan kajian struktural (yang kebanyakan oleh para sarjana HI didefinisikan sebagai pendistribusian kemampuan), sebelumnya kita tahu bahwa akibat struktur anarki dunia, hubungan internasional pada akhirnya diatur oleh berbagai macam peraturan-peraturan, dan oleh karena itu, interaksi negara-negara menunjukkan bahwa derajat suatu perintah tidak dapat diperkirakan secara wajar. Rasionalisme mengartikan kata struktur lebih cenderung pada kerangka kerja institusional dunia daripada polaritas yang ada. Berkenaan dengan kajian fungsional, para kaum rasionalis meneliti bagaimana struktur institusional dalam masyarakat internasional kontemporer telah berfungsi serta meneliti bagaimana perbandingannya dengan kemungkinan struktur institusional lain.

Dan yang terakhir, berkenaan dengan kajian historikal masyarakat internasional yang dilakukan English School, berkembang secara lambat sebagai tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan kunci tertentu yang diletakkan dalam agenda penelitian dalam British Committee pada teori politik internasional oleh Butterfield dan Wight. Wight mendefinisikan sistem negara sebagai sekelompok negara yang berdaulat, dalam arti ini berarti negara-negara tersebut mengakui bahwa tidak ada otoritas politik yang lebih tinggi lagi daripada negara. Wight menemukan tiga contoh sistem negara, yaitu sistem negara di Eropa yang berkembang pada sekitar abad ke-15, kemudian sistem Hellenic-Hellenistic klasik serta sistem negara yang masih ada selama periode Warring States.

English School ini juga membawa rasionalisme di dalamnya. Beberapa tokoh terkenal dalam English School adalah Martin Wight dan Hedley Bull. Martin Wight mendeskripsikan rasionalisme dalam serangkaian kuliahnya di London School of Economics pada sekitar tahun 1950-an. (Burchill. 1996). Selayaknya realisme, rasionalisme juga diawali dengan kondisi anarki, yang diakui oleh Wight sebagai situasi yang memaksa negara untuk mewujudkan kemanan mereka sendiri dan mengakui bahwa gagasan moralitas universal terus memeriksa egoisme kedaulatan negara. Singkatnya, tidak ada ototritas lebih tinggi daripada negara yang dilengkapi dengan hak resmi untuk memerintah negara tersebut. Menurut Wight, meskipun rasionalisme memiliki kesamaan dengan realisme berkenaan dengan kondisi anarki, namun keduanya tetap memiliki perbedaan dalam hal bagaimana suatu negara mengatur pencarian kekuasaan dalam kondisi anarki. Jika dalam realisme menaruh perhatian pada bagaimana negara-negara berbuat segala cara agar national interest-nya dapat tercapai (yaitu dengan saling mengalahkan antara negara satu dengan negara lain), maka dalam rasionalisme lebih menaruh perhatian pada bagaimana suatu negara memperoleh dan menggunakan seni ketelitian dari akomodasi serta tidak berkompromi.

Dan meskipun rasionalisme mengakui pula akan pentingnya negara dan sistem negara, namun para kaum rasionalis menolak anggapan kaum realis yang menyatakan bahwa politik dunia merupakan keadaan alami Hobbesian dimana tidak terdapat norma internasional sama sekali. (Jackson & Sorensen. 1999). Rasionalisme memandang negara merupakan gabungan antara Machstaat (negara yang berkuasa) serta Rechstaat (negara konstitusional), dimana kekuatan dan hukum yang terdapat dalam keduanya merupakan bentuk penting suatu hubungan internasional.

Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa rasionalisme secara khusus tertarik untuk menjelaskan tatanan internasional. Dan berkenaan dengan perihal tersebut, proyek kaum rasionalis adalah menjelaskan tingkat tatanan yang sangat tinggi di antara kesatuan-kesatuan politik yang menolak untuk tunduk kepada otoritas politik yang lebih tinggi. Tetapi pertanyaannya adalah apakah mungkin membuat suatu tatanan internasional dan menjadikan satu kesatuan peradaban yang sama mengingat pluralitas bangsa yang ada di dunia? Memang jika membentuk tatanan dengan peradaban yang sama adalah suatu hal yang sulit, namun jika menciptakan sebuah tatanan internasional atas dasar perbedaan tersebut, maka jawaban kaum rasionalis adalah bisa. Hal ini seperti yang telah dijelaskan oleh Wight yang menyatakan bahwa kesadaran yang besar akan perbedaan budaya dari orang-orang yang menurut dugaan semi-berperadaban dan barbar, memudahkan sistem politik berkomunikasi untuk membedakan hak serta kewajiban yang kemudian akan menghubungkan mereka bersama-sama dalam sebuah masyarakat internasional. Hedley Bull sendiri dalam salah satu karyanya menyebutkan bahwa masyarakat internasional (international society) muncul ketika sekelompok negara sadar akan kepentingan dan nilai bersama tertentu, membentuk suatu masyarakat dalam artian bahwa mereka meyakini dirinya sendiri dipersatukan oleh seperangkat aturan bersama dalam hubungannya antara satu dengan yang lain. Disamping itu, mereka juga saling berbagi dalam menjalankan institusi bersama. Menurut Bull, elemen suatu masyarakat itu selalu hadir dalam sistem internasional modern. (Jackson & Sorensen. 1999).

Dalam kesempatan ini, penulis akan menyampaikan pula kelebihan dan kelemahan rasionalisme. Adapun kelebihannya adalah rasionalisme mengindari apa yang disebut oleh E.H.Carr sebagai ‘sterilitas’ realisme serta ‘kenaifan dan kegembiraan’ idealisme. Kaum rasionalis dapat menunjukkan kemampuan negara untuk mewujudkan tata tertib dasar di antara mereka sendiri dan dengan menyangsikan kemampuan mereka mengembangkan suatu konsensus moral universal yang lebih jauh. Sedangkan kelemahannya adalah kegagalan mengembangkan sikap normatif yang memuaskan. Bagian yang menawarkan pendirian moral yang lebih tegas ini teerjadi karena rasa tidak percaya dari pemikiran etis abstrak dengan sedikit hubungan dekat dengan permasalahan utama negara. Ditambah lagi, kegagalan ini didukung akibat kecenderungan rasionalisme menekankan suatu bentuk revolusionisme yang mendukung penggulingan lembaga-lembaga politik yang ada sebagai cara meraih komunitas universal yang tunggal. (Burchill. 1996)

Referensi:
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). Theories of International Relations. New York : St. Martin’s Press.

Griffiths, Martin & O’Callaghan, Terry. (2002). International Relations : The Key Concepts. New York : Routledge.

Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999). Introduction to International Relations. New York : Oxford University Press.
Linklater, Andrew & Suganami, Hidemi. (2006). The English School of International Relation : A Contemporary Reassasment. New York : Cambridge University Press.

Rabu, Mei 19, 2010

Teori Kritis

Dalam buku “International Relations : Perspectives and Themes”, Jill Steans dan Lloyd Pettiford menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan teori kritis itu adalah sebuah teori yang menuntut seseorang untuk berpikir mendalam tentang segala sesuatu yang dilakukan manusia serta hubungan antara teori dengan cara bertindak. (Steans & Pettiford. 2009). Robert Jackson dan Georg Sorensen menambahkan bahwa secara ringkas, teori kritis ini merupakan pandangan ekstrim dari sebagian teoritisi kritis bahwa semua pengetahuan adalah politis. (Jackson & Sorensen. 1999). Teori ini cenderung mengacu pada akar pemikiran dari Marxisme, jadi dapat dilihat beberapa persamaan di antara keduanya. Banyak yang mengatakan, teori ini berasal dari Frankfurt School.

Frankfurt School adalah sebuah sekolah yang mendalami tentang teori interdisipliner sosial neo-Marxisme, yang bekerja sama dengan Institut Penelitian Sosial pada Universitas Frankfurt am Main. (http://www.britannica.com/EBchecked/topic/217277/Frankfurt-School). Beberapa tokoh seperti Max Horkheimer, Theodore Adorno, Erich Fromm, Herbert Marcusse, Walter Benjamin dan lain-lain, berkumpul semua di Frankfurt School mencurahkan semua ide-ide pembangun teori kritis ini. Berkenaan dengan teori kritis pada Mazhab Frankfurt adalah pemikiran untuk memahami sifat-sifat utama dari masyarakat kontemporer dengan memahami perkembangan sejarah dan sosialnya, dan menurut kontradiksi saat ini yang bisa membuka kemungkinan melebihi masyarakat kontemporer dan bangunan patologi serta bentuk-bentuk dominasi. (Burchill. 1996).

Teori kritis ini mencoba untuk mengembangkan teori yang mendasarkan pada filosofi Marxisme dan Hegelian. Kontribusi yang diberikan teori kritis kepada hubungan internasional adalah teori ini menganalisa hubungan sosial dalam kaitannya dengan sistem ekonomi kapitalis, mulai dari perusahaan besar dan monopolinya, teknologi, kebudayaan serta menolak individualisme dalam masyarakat kapitalis. Dalam hubungannya dengan melihat faktor yang mendukung mengapa kapitalisme bisa bertahan, teori kritis harus tidak bebas nilai. Inilah perbedaan antara teori kritis dan teori positivis, dimana positivis lebih bersifat bebas nilai, jadi aturannya tidak benar-benar pakem dan atas dasar hal ini pula latar belakang teori kritis itu muncul. Apa yang ditolak oleh teori kritis pada teori positivis? Yaitu tiga postulat dasar, yaitu realitas eksternal objektif, perbedaan subjek / objek, dan ilmu sosial bebas nilai. Menurut teori kritis, tidak ada yang dinamakan sebagai politik dunia dan ekonomi global dapat berjalan sesuai dengan hukum sosial yang kekal. Segala sesuatu yang sosial termasuk, hubungan internasional adalah historis, mengapa demikian? Karena menurut teori kritis, dunia sosial merupakan konstruksi khusus waktu dan tempat, dimana politik dunia harus lebih dikonstruksi daripada ditemukan. (Jackson & Sorensen. 1999). Mereka menekankan bahwa tidak ada yang disebut dengan pengetahuan yang benar-benar bebas nilai.

Berkenaan dengan pandangan penciptaan serta pemeliharaan perdamaian dan keamanan, bagi para pemikir kritis, perdamaian dan keamanan yang sejati hanya bisa dicapai ketika kontradiksi utama kapitalisme yang menghasilkan krisis dan ketidakstabilan ekonomi itu bisa diatasi, yaitu ketika masyarakat tidak lagi diperlakukan semata-mata hanya sebagai sarana (tenaga kerja) untuk mencapai tujuan (keuntungan produksi) saja dalam kapitalisme, serta ketika sumber daya bumi tidak dihambur-hamburkan secara tidak bertanggung jawab untuk memuaskan berbagai keinginan dan bukan merupakan kebutuhan konsumen. (Steans & Pettiford. 2009).

Di dalam studi Hubungan Internasional, teori kritis ini tidak terbatas pada pengujian negara dan sistem negara, tetapi lebih memfokuskan secara lebih luas kepada kekuatan dan dominasi dunia secara umum. (Jackson & Sorensen. 1999). Teori kritis bertujuan untuk mencari pengetahuan bagi tujuan politis, artinya, teori ini berkeinginan untuk membebaskan masyarakat internasional dari struktur politik dan sistem ekonomi kapitalisme (dengan dikendalikan oleh kekuatan hegemon) yang bersifat menekan serta membelenggu masyarakat, terutama kelas proletar. Dapat dikatakan bahwa orientasi dari teori kritis ini adalah menuju perubahan progresif dan keinginan para pemikir untuk menolong dengan cara membawa perubahan serta pengenalan idealisme.

Lantas seperti apa kritik yang dilontarkan terhadap teori kritik itu sendiri? Beberapa faktor diantaranya adalah perhatiannya terlalu berfokus dan terpaku pada pembagian kelas sosial dalam sistem kapitalisme itu sendiri, lebih mengedepankan komunikasi global atau dialogis (semua orang harus mendapatkan hak untuk bisa menyatakan pendapat), serta teori ini cenderung lebih bersifat membongkar pemikiran-pemikiran dibalik realisme, liberalisme dan teori-teori lain. Intinya, teori kritis ini hanya bersifat mengkritisi ada apa sebenarnya yang terkandung di dalam teori-teori tersebut tanpa bersifat solutif (memberikan pemecahan masalah). Sehubungan dengan model dialogis pada teori kritis seperti ide Habbermas, para kritikus juga berpendapat bahwa apa yang dimaksud dengan model dialogis Habbernas adalah sebuah produk gagal, karena dengan adanya sistem kapitalisme yang demikian itu akan membuat akses mendengar dan berbicara itu dibatasi oleh berbagai kesenjangan yang ada. Pada contohnya ialah orang-orang miskin dengan tingkat pendidikan yang rendah akan sangat mungkin kesempatan untuk berbicara serta mendengarnya menjadi terbatas bahkan tidak terwakili sama sekali jika dibandingkan dengan kaum borjuis. (Burchill. 1996).

Referensi:
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). Theories of International Relations. New York : St. Martin’s Press.

Encyclopedia Britannica. (2009). Frankfurt School. http://www.britannica.com/EBchecked/topic/217277/Frankfurt-School (Diakses tgl 17 Mei 2010).

Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999). Introduction to International Relations. New York : Oxford University Press.

Steans, Jill & Pettiford, Lloyd. (2009). International Relations : Perspectives and Themes. Edinburgh Gate : Pearson Education Ltd.

Rabu, Mei 12, 2010

Penentuan Kebijakan Luar Negeri Sebagai Tonggak Kokohnya Negara Dalam Lingkup Internasional

Pengertian Foreign policy yang telah saya temukan dalam buku Dictionary of International Relations karya Graham Evans dan Jeffrey Newnham adalah suatu aktivitas, dimana suatu negara itu melakukan tindakan, melakukan reaksi, serta melakukan interaksi. (Evans & Newnham. 1998). Sedangkan Profesor Quincy Wright, merumuskan foreign policy sebagai suatu tingkah laku yang ditunjukkan negara dengan mengacu pada lingkungan yang berada di luar batas wilayahnya (Wright. 1930). Foreign policy juga dapat disebut sebagai aktivitas yang terbatas, maksudnya adalah foreign policy ini mempunyai dua wilayah implementasi, yaitu wilayah domestik (dalam negara itu sendiri) dan wilayah eksternal (global). Wilayah domestik dalam hal ini saya asumsikan sebagai suatu faktor yang mempengaruhi penentuan kebijakan luar negeri yang berasal dari dalam (internal factor). Wilayah ini meliputi pusat sumber daya dalam suatu negara, posisi negara tersebut secara geografis dengan negara lain, level perkembangan ekonominya, struktur demografis (kependudukan) negara tersebut serta ideologi atau nilai-nilai fundamental.
Mengingat sedemikian pentingnya hal tersebut, maka tak heran jika wilayah atau variabel domestik itu membawa pengaruh yang penting dalam pengambilan putusan kebijakan luar negeri oleh para decision makers.

Sedangkan wilayah eksternal adalah suatu faktor pengaruh yang berasal dari luar batas negara, misalnya saja adalah isu terorisme yang kemudian meresahkan masyarakat internasional. Dapat dikatakan pula bahwa wilayah eksternal ini merupakan wilayah dimana sebuah kebijakan itu diimplementasikan. Sebagai salah satu contoh kasus nyata yang akan saya ungkapkan adalah kebijakan luar negeri Jepang pada sekitar tahun 1973-1990 dimana ketika itu berawal dari Perang Oktober pada tahun 1973 antara Israel dan Arab. Kita tahu bahwa sejak dulu, Israel memang sudah sangat dekat dengan Amerika (yang juga mempunyai manfaat penting bagi perkonomian Jepang), namun di sisi lain, Arab pun memberikan jaminan akan terus mengalirkan minyaknya (dalam hal ini berarti melakukan perdagangan minyak) asalkan Jepang mau memutuskan hubungan dengan Israel. Dengan keadaan yang sedemikian itu, akhirnya Jepang memutuskan untuk mengambil kebijakan jalan tengah (mid-way policy) dengan jalan tetap bersimpati kepada negara Arab dan tetap menjalin hubungan diplomasi dengan Amerika Serikat untuk menjaga keutuhan hubungan aliansi strategisnya. Namun, meskipun Jepang sudah mau bekerja sama dengan Amerika Serikat, namun Jepang tetap tidak mau menjalin hubungan diplomatis dengan Israel. (Aati. 2003)

Selain yang telah saya sebutkan di atas, James N. Rosenau memberikan tiga tambahan berkenaan dengan variabel yang berpengaruh dalam pengambilan kebjakan luar negeri. Variabel-variabel tersebut diantaranya adalah:

Variabel Birokrasi, Birokrasi diartikan sebagai kumpulan berbagai individu serta organisasi di dalam lembaga eksekutif yang membantu para pembuat keputusan dalam membuat kebijakan luar negeri. Banyak yang mengatakan bahwa disamping sebagaian besar kebijakan merefleksikan kepentingan-kepentingan biro pemerintah, dinas-dinas militer dan divisi lainnya yang saling bertentangan, juga secara konstan bersaing untuk melindungi atau menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhan birorasi mereka yang sempit itu dan untuk memaksimalkan keterlibatan serta pengaruhnya dalam proses pembuatan keputusan. Misalnya saja dalam penentuan kebijakan untuk melaksanakan perang, maka Departemen Pertahanan pasti juga ikut andil dalam menentukan kebijakan tersebut.

Variabel Grup, yaitu variabel yang berupa suatu kelompok-kelompok tertentu yang berada di sekitar aktor utama dimana kelompok tersebut ternyata juga berperan penting dalam decision making process. Hal ini bisa saja terjadi ketika kelompok tersebut memiliki power terhadap aktor utama serta memiliki arah yang jelas. Misalnya adalah kelompok partai politik yang memiliki tujuan untuk menyalurkan aspirasi rakyat terkait dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, terlebih pada kebijakan dalam negeri. Tidak hanya itu, mereka pun juga dapat memasukkan kepentingan-kepentingan mereka dalam menentukan kebijakan luar negeri.

Dan yang terakhir adalah variabel individu, yaitu variabel dimana ada individu-individu tertentu dengan memiliki power yang dapat mengatur segala pembuatan kebijakan luar negeri maupun dalam negeri. Kecenderungan akan variabel individu ini adalah kecenderungan untuk membentuk suatu negara yang otoriter, bukan demokratis. Dengan hal ini, sudah jelas bahwa tidak ada suatu bentuk check and balance pada pemimpin negara. Sebagai contoh adalah Hitler di Jerman, Raja Louis XIV di Perancis dan masih banyak lagi. Namun ketika saya lihat lagi, ternyata juga ada (meskipun pemerintahannya juga tidak tergolong otoriter) kecenderungan variabel individu dalam penentuan kebijakan luar negeri, yaitu Amerika Serikat yang membuat kebijakan untuk menginvasi Irak. (Rosenau dalam Couloumbis. 1986). Namun tetap saja, variabel individu dalam menentukan kebijakan luar negeri itu pun juga tergantung seberapa rasionalkah psikologis dan kepribadian dari seorang pemimpin

Pembuatan kebijakan luar negeri seperti yang telah dijelaskan di atas bisa kita pahami sebagai instrumen atau tujuan ataupun sebagai tujuan itu sendiri. Di sini saya lebih memilih untuk mendefinisikannya sebagai serangkaian proses untuk menghasilkan langkah perencanaan yang berdasarkan pada kepentingan nasional dan tujuan nasional yang mana nantinya akan diarahkan ke luar negeri, agar negara tersebut dapat mempertahankan eksistensi dirinya dalam lingkup internasional.

Memang dalam melaksanakan decision making dalam rangka menciptakan sebuah amunisi (dalam hal ini saya umpamakan amunisi sebagai foreign policy) yang ampuh itu tidaklah gampang. Untuk itulah diperlukan berbagai macam sinergi yang kokoh agar suatu negara tidak mudah digulingkan oleh negara lain. Mungkin kita juga sempat bertanya, apakah antara kebijakan luar negeri dan politik luar negeri itu sama? Maka jawabannya adalah tidak sama. Politik luar negeri itu ibaratnya seperti sebuah identitas dari suatu negara. Politik luar negeri itu adalah paradigma besar yang dianut sebuah negara tentang cara pandang negara tersebut terhadap dunia atau biasa disebut sebagai wawasan internasional, karena itulah politik luar negeri cenderung bersifat tetap. Sedangkan kebijakan luar negeri merupakan implementasi strategi yang diterapkan berdasar pada pendekatan, variabel yang berpengaruh dan keinginan pemerintahan terpilih dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Jadi, kebijakan luar negeri itu bergantung pada politik luar negeri dan bersifat tidak tetap.

Referensi:
Aati, Badr Abdel, Dr. 2003. The Influence of External Factors on Foreign Policy:

A Case Study of Japanese Policies Towards Israel 1973-2003. The International Politics Journal. http://www.mafhoum.com/press5/153P59.htm. Diakses tgl 11 Mei 2010.

Couloumbis, Theodore & Wolfe, James. 1986. Introduction to International Relations, Power and Justice. Prentice Hall.

Evans, Graham & Newnham, Jeffrey. 1998. Dictionary of International Relations. Penguin Group.

Wright, Quincy. 1930. The American Journal of Sociology. The University of Chicago Press.