CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Jumat, November 26, 2010

Perbandingan Hakikat Manusia Menurut Thomas Hobbes dan John Locke

Thomas Hobbes
Berkenaan dengan alur pikir, inti sebenarnya pemikiran Thomas Hobbes berakar pada empirisme yaitu mendasarkan pengalaman sebagai asal pengetahuan. Yang dapat dikatakan filasafat sebagai ilmu pengetahuan menurut Hobbes adalah segala efek maupun akibat-akibat yang dapat diamati oleh panca indera, hal ini berarti ‘yang benar adalah yang inderawi’ dan sama sekali tidak bergantung pada rasio manusia. Obyek filsafat adalah obyek lahiriah yang dapat bergerak beserta ciri-ciri yang menyertainya. Sedangkan substansi yang tidak dapat dirubah dan tidak dapat diraba secara empiris seperti Tuhan, malaikat, roh, dan sebagainya, bukan merupakan obyek dari filsafat (hal ini pula yang membuat Hobbes tidak bergantung pada rasio manusia, karena rasio manusia tidak dapat diraba secara empiris).

Dalam empirisme, pengenalan dengan akal hanya mempunyai fungsi mekanis. Pengenalan dengan akal dimulai dengan kata-kata yang menunjuk pada tanda-tanda tertentu yang sebenarnya merujuk pada kebiasaan saja. Pandangan Hobbes tentang manusia berawal dari ‘apa yang menggerakkan manusia?’ dan kemudian membawa Hobbes untuk menyamakan manusia dengan jam dinding yang bergerak secara teratur karena ada onderdil-onderdil di dalamnya. Sama halnya dengan manusia yang mempunyai setumpuk material yang bekerja dan bergerak menurut hukum-hukum ilmu alam, jiwa dan budi dianggap sebagai bagian dari proses mekanis dalam tubuh.

Setelah mengetahui seluruh kaitan antara onderdil-onderdil dari sebuah jam dinding, maka kita dapat mengetahui prinsip kerja yang menyebabkan jam tersebut bergerak. Kesimpulan akhir Hobbes mengenai faktor penggerak manusia adalah psikis manusia, yakni nafsu. Nafsu yang paling kuat dari manusia adalah nafsu untuk mempertahankan diri, atau dengan kata lain, ketakutan akan kehilangan nyawa mengingat manusia pada awalnya hidup pada keadaan anarchy. Maka dari itulah, manusia akan cenderung berada di kondisi yang selalu berkonflik (Homo Homini Lupus). Karena selalu berkonflik, Hobbes kemudian memandang keadaan tersebut sebagai sebuah security dilemma, dan dari itulah kemudian Hobbes merumuskan suatu kontrak sosial dengan harapan tercipta negara sebagai entitas yang mampu menjamin keselamatan warganya serta terciptanya hubungan yang aman serta damai.

Kontrak sosial yang dimaksud ialah suatu perjanjian yang dilakukan antar manusia yang secara sukarela menyerahkan kedaulatannya pada The Sovereign (dalam hal ini berarti raja), dengan tujuan dapat mempunyai kekuatan koersif yang mampu mengatur. Ketika penguasa tidak mampu lagi melakukan kontrol masyarakat yang efektif, maka manusia akan kembali pada keadaan state of nature dan harus memilih leviathan baru. Penggunaan istilah leviathan diambil Hobbes dari nama seekor monster laut yang buas. Hobbes menggunakan istilah ini untuk menggambarkan penguasa yang kuat, mutlak serta ditakuti oleh rakyatnya sehingga akan tercipta keamanan dan ketertiban.

Hobbes berpendapat bahwa pemerintahan tirani akan lebih baik daripada pemerintahan anarchy . Menurutnya, meskipun tirani bersifat kejam dan totaliter namun hal tersebut masih lebih baik karena tirani masih mempunyai pemerintah yang berkuasa sehingga dapat mengatur rakyatnya. Sedangkan pemerintahan anarchy adalah keadaan dimana tidak ada otoritas tertinggi yang mengatur rakyat, sehingga hal ini dapat memicu adanya konflik berkepanjangan serta keamanan yang tidak terjamin.

John Locke
Pemikiran John Locke sebenarnya sama dengan Thomas Hobbes yang mendasarkan pada empirisme, yaitu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman pancaindera dan bertolak belakang dengan pendapat kaum rasionalis yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia itu terutama berdasarkan dari rasio. Meskipun demikian, rasio berperan juga di dalam proses manusia memperoleh pengetahuan. Locke memandang manusia yang lahir di dunia itu sebagai tabula rasa, yakni ibarat kertas kosong yang tidak mengetahui konsep segala sesuatu. Kebenaran akan terisi sesuai dengan apa yang dituliskan pada kertas tersebut.

Seiring perkembangan masa, manusia akan memiliki dua macam pengalaman, yaitu pengalaman lahiriah (external sensation) dan pengalaman batiniah (internal reflection). Pengalaman lahiriah ialah pengalaman yang menangkap segala aktivitas dimana aktivitas tersebut berhubungan dengan panca indera manusia, sebagai contoh adalah kita melihat apel di atas meja. Sedangkan pengalaman batiniah adalah pengalaman yang muncul ketika manusia memiliki kesadaran terhadap aktivitas empiriknya seperti mengingat aktivitas yang lalu, menghendaki, meyakini dan lain sebagainya. Hanya saja, semasa Locke hidup, dia merasa hidup di tengah-tengah kerajaan despotik sehingga dia berpendapat bahwa penyimpangan yang terjadi sebenarnya adalah tulisan buruk yang mengisi tabula rasa, namun bukan berarti tidak mungkin menciptakan tulisan yang baik pada seluruh tabula rasa.

Berkenaan dengan konsep kontrak sosial, Locke menciptakannya atas dasar bahwa manusia itu sebenarnya sama, namun ada yang membedakan diantara manusia-manusia tersebut yakni berkenaan dengan power yang dimiliki. Terkadang manusia cenderung menggunakan power tersebut demi memenuhi nafsu buruknya (dalam hal ini salah satunya yang dicontohkan oleh Locke adalah kerajaan depostik (terlalu mengekang rakyat) yang kemudian membuatnya lebih mempercayai parlemen daripada raja, untuk itulah diciptakan kontrak sosial dalam upaya untuk melepas dari kondisi yang tidak aman menuju kondisi yang lebih aman.

Mekanismenya, setiap anggota masyarakat tidak menyerahkan hak-haknya secara penuh, akan tetapi hanya sebagian saja. Dalam kontrak sosial Locke, masyarakat yang memiliki sumber kewenangan, dalam artian bahwa kepatuhan masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya, hal inilah yang membedakan konsep kontrak sosial antara Hobbes dan Locke. Jika dalam kontrak sosial Hobbes penguasa memiliki kekuasaan yang absolut, maka dalam kontrak sosial Locke, kekuasaannya sangat terbatas.

Sumber:
Sharma. (1982). Western Political Thought, (Plato to Hugo Grotius). New Delhi: Sterling Private Limited.

Suhelmi, Ahmad. (2001). Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama