Kali ini, kami dengan sebagian besar mengacu pada artikel milik Greg Buckman, akan menjelaskan masalah gerakan anti globalisasi. Dibalik semakin derasnya arus globalisasi yang melanda berbagai belahan dunia, ternyata juga menyimpan sejumlah pertentangan berkenaan dengan adanya globalisasi. Sebagian orang berpendapat bahwa akar gerakan pertentangan atas globalisasi muncul pada sekitar tahun 1960-1970 an. Pada tahun-tahun tersebut, untuk pertama kalinya setelah Perang Dunia ke 2, masyarakat mulai secara serius mempertanyakan masa depan politik dunia, lingkungan, ekonomi dan teknologi. Gerakan protes mulai mencuat ketika peristiwa Perang Vietnam pecah (Buckman. 2004). Protes tersebut ditujukan masyarakat Amerika kepada pemerintah atas ketidakjelasan alasan perang tersebut, bahkan tentara yang dikirim pun tidak banyak tahu.
Awal protes tersebut pada akhirnya melahirkan bentuk protes lain. Bentuk pertentangan globalisasi ini atau yang dikenal dengan istilah Anti-Globalization Movement kembali muncul, bahkan semakin marak seiring dengan peristiwa Washington Consensus pada tahun 1989. (www.dadangsolihin.com/public/Washington%20Consensus.pdf). Para penentang globalisasi seperti Noam Chomsky, Tariq Ali, Susan George, dan Naomi Klein memandang bahwa Washington Consensus ini membawa dampak buruk bagi negara yang kurang berkembang. Berbagai kecaman ditujukan kepada Washington Consensus karena nantinya, konsensus tersebut hanya akan membuat para pekerja di negara-negara dunia ketiga semakin miskin.
Di Seattle, Amerika Serikat pada tahun 1999, masyarakat juga menggelar aksi menentang globalisasi yang terkenal dengan sebutan peristiwa “Battle for Seattle”. Peristiwa ini merupakan salah satu wujud protes kaum anti globalisasi ketika digelar konferensi tingkat menteri WTO. Namun, keributan yang terjadi antara massa dengan aparat keamanan pada akhirnya mengakibatkan batalnya pertemuan tersebut. Kerugian atas kerusakan properti ditaksir mencapai lebih dari US $ 2 juta dan kerugian penjualan selama libur Natal mencapai kurang lebih sekitar US $ 17juta. (http://internationalaffairs.suite101.com/article.cfm/1999_seattle_wto_protests_tenth_anniversary).
Setelah peristiwa tersebut, perjuangan kaum anti globalisasi terus berlanjut mulai dari Washington (ketika pertemuan IMF/World Bank pada April 2000), Prague (ketika pertemuan IMF/World Bank pada September 2000) hingga yang paling besar terjadi di Genoa, Italia pada bulan Juli 2001. (Buckman. 2004). Sekitar kurang lebih 200.000 hingga 300.000 massa turun ke jalan untuk memprotes pertemuan G8.
Walden Bello, salah seorang tokoh anti globalisasi aktif mendukung berbagai gerakan sosial seperti misalnya World Social Forum (WSF) atau Forum Sosial Dunia. Forum ini merupakan wadah berkumpulnya para anti globalisasi (mulai dari LSM, NGO dan masih banyak lagi) sejak tahun 2001. Bello menganggap WTO, IMF dan World Bank sebagai sebuah produk ketidakadilan global. Dalam bukunya De-globalization: Ideas for a New World Economy terbitan 2002, Walden Bello mengimbau gerakan anti globalisasi untuk menggagalkan Putaran Doha (Doha Development Agenda) yang diselenggarakan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pada Putaran Doha tersebut, salah satunya berfokus pada pemberian kemudahan akses pada komoditas negara berkembang memasuki pasar negara maju, seperti yang telah dijanjikan oleh Presiden George W. Bush, namun tak kunjung dipenuhi. Pada akhirnya, dalam Konferensi Tingkat Menteri di Cancun tahun 2003, negara-negara berkembang menolak menyepakati usulan, yang tidak banyak menguntungkan mereka. Salah satu pembahasannya adalah bahwa negara maju mempermasalahkan kemiskinan sebagai salah satu penyebab kerusakan lingkungan hidup.
Bello tidak ingin mereformasi WTO, ia ingin memperlemah posisi organisasi perdagangan dunia itu. Menurutnya, pertemuan tingkat menteri di Hong Kong adalah batu sandungan besar bagi Organisasi Perdagangan Dunia. Karena, kedua pertemuan WTO sebelum Hong Kong sudah dianggap gagal. Dia berpendapat bahwa WTO yang diciptakan itu memonopoli sektor sosial-ekonomi dikarenakan WTO ditahbiskan sebagai lembaga yang mengurusi segala tata cara perdagangan di seluruh dunia.
Pada dasarnya, menurut kelompok kami, gerakan anti globalisasi (terutama pada masa sekarang) ini bukan merupakan gerakan yang melarang semakin meluas dan semakin intensnya hubungan antar negara dalam segala bidang, namun gerakan ini lebih cenderung melawan mengglobalnya upaya kaum kapitalis yang seolah memaksakan kebijakan neo-liberal dengan menyerahkan segala hal ke kontrol sektor swasta demi laba atau profit. Tuntutan pokok gerakan antiglobalisasi ini adalah pembatalan utang luar negeri dunia ketiga, pembubaran IMF dan World Bank serta penghentian terhadap semua proses penjualan aset publik pada swasta. Latar belakang munculnya kaum anti globalisasi ini menurut kami didasari oleh sistem neoliberalisme yang seakan mendominasi kegiatan ekonomi di seluruh dunia. Sebagai alternatif yang dikembangkan dalam gerakan anti-globalisasi, maka dibentuklah NGO dan partai politik alternatif (contohnya seperti Partai Hijau di Australia).
Referensi:
Buckman, Greg. (2004). The Anti-Globalization Movement, dalam Globalization: Tame It or Scrap It?.London: Zed Book, pp. 107-121.
Knudsen, Teresa. (2009). 1999 Seattle WTO Protests Tenth Anniversary : Seattle Protesters Stopped World Trade Organization Meetings.
http://internationalaffairs.suite101.com/article.cfm/1999_seattle_wto_protests_tenth_anniversary. Diakses tgl 18 April 2010.
Stiglitz, Joseph E. (2002). Washington Consensus, Arah Menuju Jurang Kemiskinan. www.dadangsolihin.com/public/Washington%20Consensus.pdf. Diakses tgl 19 April 2010.
Selasa, Mei 04, 2010
Arus Balik Globalisasi
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 2:41 PM
Label: Jurnal Pengantar Globalisasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Posting Komentar