Dalam buku International Relations : The Key Concepts, Griffiths, O’Callaghan menyebutkan bahwa English School dapat menggambarkan perpaduan antara pendekatan moralis dan rasionalis. Dalam kata lain, sebuah sekolah yang berfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan moral, politik, sosial dan aturan sistem internasional, serta menunjukkan bagaimana mereka saling mendesak kepentingan negara serta tindakannya. (Griffiths, O’Callaghan. 2002). Sedangkan Linklater, menyebutkan bahwa English School, merupakan sebuah mazhab yang berorientasi pada kajian struktural, fungsional dan historikal dalam politik dunia (Linklater. 2006). Berkenaan dengan kajian struktural (yang kebanyakan oleh para sarjana HI didefinisikan sebagai pendistribusian kemampuan), sebelumnya kita tahu bahwa akibat struktur anarki dunia, hubungan internasional pada akhirnya diatur oleh berbagai macam peraturan-peraturan, dan oleh karena itu, interaksi negara-negara menunjukkan bahwa derajat suatu perintah tidak dapat diperkirakan secara wajar. Rasionalisme mengartikan kata struktur lebih cenderung pada kerangka kerja institusional dunia daripada polaritas yang ada. Berkenaan dengan kajian fungsional, para kaum rasionalis meneliti bagaimana struktur institusional dalam masyarakat internasional kontemporer telah berfungsi serta meneliti bagaimana perbandingannya dengan kemungkinan struktur institusional lain.
Dan yang terakhir, berkenaan dengan kajian historikal masyarakat internasional yang dilakukan English School, berkembang secara lambat sebagai tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan kunci tertentu yang diletakkan dalam agenda penelitian dalam British Committee pada teori politik internasional oleh Butterfield dan Wight. Wight mendefinisikan sistem negara sebagai sekelompok negara yang berdaulat, dalam arti ini berarti negara-negara tersebut mengakui bahwa tidak ada otoritas politik yang lebih tinggi lagi daripada negara. Wight menemukan tiga contoh sistem negara, yaitu sistem negara di Eropa yang berkembang pada sekitar abad ke-15, kemudian sistem Hellenic-Hellenistic klasik serta sistem negara yang masih ada selama periode Warring States.
English School ini juga membawa rasionalisme di dalamnya. Beberapa tokoh terkenal dalam English School adalah Martin Wight dan Hedley Bull. Martin Wight mendeskripsikan rasionalisme dalam serangkaian kuliahnya di London School of Economics pada sekitar tahun 1950-an. (Burchill. 1996). Selayaknya realisme, rasionalisme juga diawali dengan kondisi anarki, yang diakui oleh Wight sebagai situasi yang memaksa negara untuk mewujudkan kemanan mereka sendiri dan mengakui bahwa gagasan moralitas universal terus memeriksa egoisme kedaulatan negara. Singkatnya, tidak ada ototritas lebih tinggi daripada negara yang dilengkapi dengan hak resmi untuk memerintah negara tersebut. Menurut Wight, meskipun rasionalisme memiliki kesamaan dengan realisme berkenaan dengan kondisi anarki, namun keduanya tetap memiliki perbedaan dalam hal bagaimana suatu negara mengatur pencarian kekuasaan dalam kondisi anarki. Jika dalam realisme menaruh perhatian pada bagaimana negara-negara berbuat segala cara agar national interest-nya dapat tercapai (yaitu dengan saling mengalahkan antara negara satu dengan negara lain), maka dalam rasionalisme lebih menaruh perhatian pada bagaimana suatu negara memperoleh dan menggunakan seni ketelitian dari akomodasi serta tidak berkompromi.
Dan meskipun rasionalisme mengakui pula akan pentingnya negara dan sistem negara, namun para kaum rasionalis menolak anggapan kaum realis yang menyatakan bahwa politik dunia merupakan keadaan alami Hobbesian dimana tidak terdapat norma internasional sama sekali. (Jackson & Sorensen. 1999). Rasionalisme memandang negara merupakan gabungan antara Machstaat (negara yang berkuasa) serta Rechstaat (negara konstitusional), dimana kekuatan dan hukum yang terdapat dalam keduanya merupakan bentuk penting suatu hubungan internasional.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa rasionalisme secara khusus tertarik untuk menjelaskan tatanan internasional. Dan berkenaan dengan perihal tersebut, proyek kaum rasionalis adalah menjelaskan tingkat tatanan yang sangat tinggi di antara kesatuan-kesatuan politik yang menolak untuk tunduk kepada otoritas politik yang lebih tinggi. Tetapi pertanyaannya adalah apakah mungkin membuat suatu tatanan internasional dan menjadikan satu kesatuan peradaban yang sama mengingat pluralitas bangsa yang ada di dunia? Memang jika membentuk tatanan dengan peradaban yang sama adalah suatu hal yang sulit, namun jika menciptakan sebuah tatanan internasional atas dasar perbedaan tersebut, maka jawaban kaum rasionalis adalah bisa. Hal ini seperti yang telah dijelaskan oleh Wight yang menyatakan bahwa kesadaran yang besar akan perbedaan budaya dari orang-orang yang menurut dugaan semi-berperadaban dan barbar, memudahkan sistem politik berkomunikasi untuk membedakan hak serta kewajiban yang kemudian akan menghubungkan mereka bersama-sama dalam sebuah masyarakat internasional. Hedley Bull sendiri dalam salah satu karyanya menyebutkan bahwa masyarakat internasional (international society) muncul ketika sekelompok negara sadar akan kepentingan dan nilai bersama tertentu, membentuk suatu masyarakat dalam artian bahwa mereka meyakini dirinya sendiri dipersatukan oleh seperangkat aturan bersama dalam hubungannya antara satu dengan yang lain. Disamping itu, mereka juga saling berbagi dalam menjalankan institusi bersama. Menurut Bull, elemen suatu masyarakat itu selalu hadir dalam sistem internasional modern. (Jackson & Sorensen. 1999).
Dalam kesempatan ini, penulis akan menyampaikan pula kelebihan dan kelemahan rasionalisme. Adapun kelebihannya adalah rasionalisme mengindari apa yang disebut oleh E.H.Carr sebagai ‘sterilitas’ realisme serta ‘kenaifan dan kegembiraan’ idealisme. Kaum rasionalis dapat menunjukkan kemampuan negara untuk mewujudkan tata tertib dasar di antara mereka sendiri dan dengan menyangsikan kemampuan mereka mengembangkan suatu konsensus moral universal yang lebih jauh. Sedangkan kelemahannya adalah kegagalan mengembangkan sikap normatif yang memuaskan. Bagian yang menawarkan pendirian moral yang lebih tegas ini teerjadi karena rasa tidak percaya dari pemikiran etis abstrak dengan sedikit hubungan dekat dengan permasalahan utama negara. Ditambah lagi, kegagalan ini didukung akibat kecenderungan rasionalisme menekankan suatu bentuk revolusionisme yang mendukung penggulingan lembaga-lembaga politik yang ada sebagai cara meraih komunitas universal yang tunggal. (Burchill. 1996)
Referensi:
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). Theories of International Relations. New York : St. Martin’s Press.
Griffiths, Martin & O’Callaghan, Terry. (2002). International Relations : The Key Concepts. New York : Routledge.
Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999). Introduction to International Relations. New York : Oxford University Press.
Linklater, Andrew & Suganami, Hidemi. (2006). The English School of International Relation : A Contemporary Reassasment. New York : Cambridge University Press.
Rabu, Mei 26, 2010
English School
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 9:08 AM 0 Comments
Rabu, Mei 19, 2010
Teori Kritis
Dalam buku “International Relations : Perspectives and Themes”, Jill Steans dan Lloyd Pettiford menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan teori kritis itu adalah sebuah teori yang menuntut seseorang untuk berpikir mendalam tentang segala sesuatu yang dilakukan manusia serta hubungan antara teori dengan cara bertindak. (Steans & Pettiford. 2009). Robert Jackson dan Georg Sorensen menambahkan bahwa secara ringkas, teori kritis ini merupakan pandangan ekstrim dari sebagian teoritisi kritis bahwa semua pengetahuan adalah politis. (Jackson & Sorensen. 1999). Teori ini cenderung mengacu pada akar pemikiran dari Marxisme, jadi dapat dilihat beberapa persamaan di antara keduanya. Banyak yang mengatakan, teori ini berasal dari Frankfurt School.
Frankfurt School adalah sebuah sekolah yang mendalami tentang teori interdisipliner sosial neo-Marxisme, yang bekerja sama dengan Institut Penelitian Sosial pada Universitas Frankfurt am Main. (http://www.britannica.com/EBchecked/topic/217277/Frankfurt-School). Beberapa tokoh seperti Max Horkheimer, Theodore Adorno, Erich Fromm, Herbert Marcusse, Walter Benjamin dan lain-lain, berkumpul semua di Frankfurt School mencurahkan semua ide-ide pembangun teori kritis ini. Berkenaan dengan teori kritis pada Mazhab Frankfurt adalah pemikiran untuk memahami sifat-sifat utama dari masyarakat kontemporer dengan memahami perkembangan sejarah dan sosialnya, dan menurut kontradiksi saat ini yang bisa membuka kemungkinan melebihi masyarakat kontemporer dan bangunan patologi serta bentuk-bentuk dominasi. (Burchill. 1996).
Teori kritis ini mencoba untuk mengembangkan teori yang mendasarkan pada filosofi Marxisme dan Hegelian. Kontribusi yang diberikan teori kritis kepada hubungan internasional adalah teori ini menganalisa hubungan sosial dalam kaitannya dengan sistem ekonomi kapitalis, mulai dari perusahaan besar dan monopolinya, teknologi, kebudayaan serta menolak individualisme dalam masyarakat kapitalis. Dalam hubungannya dengan melihat faktor yang mendukung mengapa kapitalisme bisa bertahan, teori kritis harus tidak bebas nilai. Inilah perbedaan antara teori kritis dan teori positivis, dimana positivis lebih bersifat bebas nilai, jadi aturannya tidak benar-benar pakem dan atas dasar hal ini pula latar belakang teori kritis itu muncul. Apa yang ditolak oleh teori kritis pada teori positivis? Yaitu tiga postulat dasar, yaitu realitas eksternal objektif, perbedaan subjek / objek, dan ilmu sosial bebas nilai. Menurut teori kritis, tidak ada yang dinamakan sebagai politik dunia dan ekonomi global dapat berjalan sesuai dengan hukum sosial yang kekal. Segala sesuatu yang sosial termasuk, hubungan internasional adalah historis, mengapa demikian? Karena menurut teori kritis, dunia sosial merupakan konstruksi khusus waktu dan tempat, dimana politik dunia harus lebih dikonstruksi daripada ditemukan. (Jackson & Sorensen. 1999). Mereka menekankan bahwa tidak ada yang disebut dengan pengetahuan yang benar-benar bebas nilai.
Berkenaan dengan pandangan penciptaan serta pemeliharaan perdamaian dan keamanan, bagi para pemikir kritis, perdamaian dan keamanan yang sejati hanya bisa dicapai ketika kontradiksi utama kapitalisme yang menghasilkan krisis dan ketidakstabilan ekonomi itu bisa diatasi, yaitu ketika masyarakat tidak lagi diperlakukan semata-mata hanya sebagai sarana (tenaga kerja) untuk mencapai tujuan (keuntungan produksi) saja dalam kapitalisme, serta ketika sumber daya bumi tidak dihambur-hamburkan secara tidak bertanggung jawab untuk memuaskan berbagai keinginan dan bukan merupakan kebutuhan konsumen. (Steans & Pettiford. 2009).
Di dalam studi Hubungan Internasional, teori kritis ini tidak terbatas pada pengujian negara dan sistem negara, tetapi lebih memfokuskan secara lebih luas kepada kekuatan dan dominasi dunia secara umum. (Jackson & Sorensen. 1999). Teori kritis bertujuan untuk mencari pengetahuan bagi tujuan politis, artinya, teori ini berkeinginan untuk membebaskan masyarakat internasional dari struktur politik dan sistem ekonomi kapitalisme (dengan dikendalikan oleh kekuatan hegemon) yang bersifat menekan serta membelenggu masyarakat, terutama kelas proletar. Dapat dikatakan bahwa orientasi dari teori kritis ini adalah menuju perubahan progresif dan keinginan para pemikir untuk menolong dengan cara membawa perubahan serta pengenalan idealisme.
Lantas seperti apa kritik yang dilontarkan terhadap teori kritik itu sendiri? Beberapa faktor diantaranya adalah perhatiannya terlalu berfokus dan terpaku pada pembagian kelas sosial dalam sistem kapitalisme itu sendiri, lebih mengedepankan komunikasi global atau dialogis (semua orang harus mendapatkan hak untuk bisa menyatakan pendapat), serta teori ini cenderung lebih bersifat membongkar pemikiran-pemikiran dibalik realisme, liberalisme dan teori-teori lain. Intinya, teori kritis ini hanya bersifat mengkritisi ada apa sebenarnya yang terkandung di dalam teori-teori tersebut tanpa bersifat solutif (memberikan pemecahan masalah). Sehubungan dengan model dialogis pada teori kritis seperti ide Habbermas, para kritikus juga berpendapat bahwa apa yang dimaksud dengan model dialogis Habbernas adalah sebuah produk gagal, karena dengan adanya sistem kapitalisme yang demikian itu akan membuat akses mendengar dan berbicara itu dibatasi oleh berbagai kesenjangan yang ada. Pada contohnya ialah orang-orang miskin dengan tingkat pendidikan yang rendah akan sangat mungkin kesempatan untuk berbicara serta mendengarnya menjadi terbatas bahkan tidak terwakili sama sekali jika dibandingkan dengan kaum borjuis. (Burchill. 1996).
Referensi:
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). Theories of International Relations. New York : St. Martin’s Press.
Encyclopedia Britannica. (2009). Frankfurt School. http://www.britannica.com/EBchecked/topic/217277/Frankfurt-School (Diakses tgl 17 Mei 2010).
Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999). Introduction to International Relations. New York : Oxford University Press.
Steans, Jill & Pettiford, Lloyd. (2009). International Relations : Perspectives and Themes. Edinburgh Gate : Pearson Education Ltd.
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 8:36 PM 0 Comments
Rabu, Mei 12, 2010
Penentuan Kebijakan Luar Negeri Sebagai Tonggak Kokohnya Negara Dalam Lingkup Internasional
Pengertian Foreign policy yang telah saya temukan dalam buku Dictionary of International Relations karya Graham Evans dan Jeffrey Newnham adalah suatu aktivitas, dimana suatu negara itu melakukan tindakan, melakukan reaksi, serta melakukan interaksi. (Evans & Newnham. 1998). Sedangkan Profesor Quincy Wright, merumuskan foreign policy sebagai suatu tingkah laku yang ditunjukkan negara dengan mengacu pada lingkungan yang berada di luar batas wilayahnya (Wright. 1930). Foreign policy juga dapat disebut sebagai aktivitas yang terbatas, maksudnya adalah foreign policy ini mempunyai dua wilayah implementasi, yaitu wilayah domestik (dalam negara itu sendiri) dan wilayah eksternal (global). Wilayah domestik dalam hal ini saya asumsikan sebagai suatu faktor yang mempengaruhi penentuan kebijakan luar negeri yang berasal dari dalam (internal factor). Wilayah ini meliputi pusat sumber daya dalam suatu negara, posisi negara tersebut secara geografis dengan negara lain, level perkembangan ekonominya, struktur demografis (kependudukan) negara tersebut serta ideologi atau nilai-nilai fundamental.
Mengingat sedemikian pentingnya hal tersebut, maka tak heran jika wilayah atau variabel domestik itu membawa pengaruh yang penting dalam pengambilan putusan kebijakan luar negeri oleh para decision makers.
Sedangkan wilayah eksternal adalah suatu faktor pengaruh yang berasal dari luar batas negara, misalnya saja adalah isu terorisme yang kemudian meresahkan masyarakat internasional. Dapat dikatakan pula bahwa wilayah eksternal ini merupakan wilayah dimana sebuah kebijakan itu diimplementasikan. Sebagai salah satu contoh kasus nyata yang akan saya ungkapkan adalah kebijakan luar negeri Jepang pada sekitar tahun 1973-1990 dimana ketika itu berawal dari Perang Oktober pada tahun 1973 antara Israel dan Arab. Kita tahu bahwa sejak dulu, Israel memang sudah sangat dekat dengan Amerika (yang juga mempunyai manfaat penting bagi perkonomian Jepang), namun di sisi lain, Arab pun memberikan jaminan akan terus mengalirkan minyaknya (dalam hal ini berarti melakukan perdagangan minyak) asalkan Jepang mau memutuskan hubungan dengan Israel. Dengan keadaan yang sedemikian itu, akhirnya Jepang memutuskan untuk mengambil kebijakan jalan tengah (mid-way policy) dengan jalan tetap bersimpati kepada negara Arab dan tetap menjalin hubungan diplomasi dengan Amerika Serikat untuk menjaga keutuhan hubungan aliansi strategisnya. Namun, meskipun Jepang sudah mau bekerja sama dengan Amerika Serikat, namun Jepang tetap tidak mau menjalin hubungan diplomatis dengan Israel. (Aati. 2003)
Selain yang telah saya sebutkan di atas, James N. Rosenau memberikan tiga tambahan berkenaan dengan variabel yang berpengaruh dalam pengambilan kebjakan luar negeri. Variabel-variabel tersebut diantaranya adalah:
Variabel Birokrasi, Birokrasi diartikan sebagai kumpulan berbagai individu serta organisasi di dalam lembaga eksekutif yang membantu para pembuat keputusan dalam membuat kebijakan luar negeri. Banyak yang mengatakan bahwa disamping sebagaian besar kebijakan merefleksikan kepentingan-kepentingan biro pemerintah, dinas-dinas militer dan divisi lainnya yang saling bertentangan, juga secara konstan bersaing untuk melindungi atau menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhan birorasi mereka yang sempit itu dan untuk memaksimalkan keterlibatan serta pengaruhnya dalam proses pembuatan keputusan. Misalnya saja dalam penentuan kebijakan untuk melaksanakan perang, maka Departemen Pertahanan pasti juga ikut andil dalam menentukan kebijakan tersebut.
Variabel Grup, yaitu variabel yang berupa suatu kelompok-kelompok tertentu yang berada di sekitar aktor utama dimana kelompok tersebut ternyata juga berperan penting dalam decision making process. Hal ini bisa saja terjadi ketika kelompok tersebut memiliki power terhadap aktor utama serta memiliki arah yang jelas. Misalnya adalah kelompok partai politik yang memiliki tujuan untuk menyalurkan aspirasi rakyat terkait dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, terlebih pada kebijakan dalam negeri. Tidak hanya itu, mereka pun juga dapat memasukkan kepentingan-kepentingan mereka dalam menentukan kebijakan luar negeri.
Dan yang terakhir adalah variabel individu, yaitu variabel dimana ada individu-individu tertentu dengan memiliki power yang dapat mengatur segala pembuatan kebijakan luar negeri maupun dalam negeri. Kecenderungan akan variabel individu ini adalah kecenderungan untuk membentuk suatu negara yang otoriter, bukan demokratis. Dengan hal ini, sudah jelas bahwa tidak ada suatu bentuk check and balance pada pemimpin negara. Sebagai contoh adalah Hitler di Jerman, Raja Louis XIV di Perancis dan masih banyak lagi. Namun ketika saya lihat lagi, ternyata juga ada (meskipun pemerintahannya juga tidak tergolong otoriter) kecenderungan variabel individu dalam penentuan kebijakan luar negeri, yaitu Amerika Serikat yang membuat kebijakan untuk menginvasi Irak. (Rosenau dalam Couloumbis. 1986). Namun tetap saja, variabel individu dalam menentukan kebijakan luar negeri itu pun juga tergantung seberapa rasionalkah psikologis dan kepribadian dari seorang pemimpin
Pembuatan kebijakan luar negeri seperti yang telah dijelaskan di atas bisa kita pahami sebagai instrumen atau tujuan ataupun sebagai tujuan itu sendiri. Di sini saya lebih memilih untuk mendefinisikannya sebagai serangkaian proses untuk menghasilkan langkah perencanaan yang berdasarkan pada kepentingan nasional dan tujuan nasional yang mana nantinya akan diarahkan ke luar negeri, agar negara tersebut dapat mempertahankan eksistensi dirinya dalam lingkup internasional.
Memang dalam melaksanakan decision making dalam rangka menciptakan sebuah amunisi (dalam hal ini saya umpamakan amunisi sebagai foreign policy) yang ampuh itu tidaklah gampang. Untuk itulah diperlukan berbagai macam sinergi yang kokoh agar suatu negara tidak mudah digulingkan oleh negara lain. Mungkin kita juga sempat bertanya, apakah antara kebijakan luar negeri dan politik luar negeri itu sama? Maka jawabannya adalah tidak sama. Politik luar negeri itu ibaratnya seperti sebuah identitas dari suatu negara. Politik luar negeri itu adalah paradigma besar yang dianut sebuah negara tentang cara pandang negara tersebut terhadap dunia atau biasa disebut sebagai wawasan internasional, karena itulah politik luar negeri cenderung bersifat tetap. Sedangkan kebijakan luar negeri merupakan implementasi strategi yang diterapkan berdasar pada pendekatan, variabel yang berpengaruh dan keinginan pemerintahan terpilih dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Jadi, kebijakan luar negeri itu bergantung pada politik luar negeri dan bersifat tidak tetap.
Referensi:
Aati, Badr Abdel, Dr. 2003. The Influence of External Factors on Foreign Policy:
A Case Study of Japanese Policies Towards Israel 1973-2003. The International Politics Journal. http://www.mafhoum.com/press5/153P59.htm. Diakses tgl 11 Mei 2010.
Couloumbis, Theodore & Wolfe, James. 1986. Introduction to International Relations, Power and Justice. Prentice Hall.
Evans, Graham & Newnham, Jeffrey. 1998. Dictionary of International Relations. Penguin Group.
Wright, Quincy. 1930. The American Journal of Sociology. The University of Chicago Press.
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 9:56 PM 0 Comments
Kamis, Mei 06, 2010
Beberapa Fakta Menarik dan Nyentrik
> Napoleon Bonaparte, saat berperang di Timur Tengah tahun 1799 bermaksud akan melepaskan 1200 tentara Turki yang berhasil ditawan Perancis, ketika Perancis berhasil merebut Jaffa. Saat itu Napoleon sedang terserang influenza.
Saat menginspeksi pasukan, Napoleon terserang batuk berat, ia mengatakan "Ma sacre toux" ("Batuk sialan"). Perwira pendamping Napoleon merasa sang jenderal mengatakan "Massacrez Tous" ("Bunuh Semua").
Akibatnya, seluruh 1200 orang tawanan Turki itu dibunuh. Hanya karena BATUK....????
> Aeschylus,, penulis drama yunani pada tahun 500 sebelum masehi, para ahli sejarah dan kesenian menganggapnya sebagai bapak dari cerita-cerita tragedi drama Yunani meninggal karena bom!
Menurut legenda, seekor elang yang membawa seekor kura-kura biasanya menjatuhkan kura-kura tersebut dari ketinggian ke atas batu untuk memecahkan kulit cangkang kura-kura yang keras dan memakan dagingnya. Nah,,kepala Aeschyllus yang botak! oleh elang tersebut dikira batu, kura-kura dijatuhkan, dan bom! matilah sang penulis tersebut!...gyahahahaha...
> Berikut beberapa persamaan yang unik antara Presiden Abraham Lincoln dengan Presiden John F. Kennedy
Abraham Lincoln masuk kongres tahun 1846.
John F. Kennedy masuk kongres tahun 1946.
Abraham Lincoln terpilih jadi presiden tahun 1860.
John F. Kennedy terpilih jadi presiden tahun 1960.
Keduanya sangat peduli hak-hak sipil.
Kedua istri mereka kehilangan anak saat di gedung putih.
Kedua presiden ditembak hari Jumat.
Kedua presiden ditembak di kepala.
Sekretaris Lincoln bernama Kennedy .
Sekretaris Kennedy bernama Lincoln .
Keduanya dibunuh oleh orang dari daerah selatan.
Keduanya digantikan oleh orang selatan yg bernama Johnson.
Andrew Johnson, yg menggantikan Lincoln , lahir tahun 1808.
Lyndon Johnson, yg menggantikan Kennedy, lahir tahun 1908.
John Wilkes Booth, yg membunuh Lincoln, lahir thn 1839.
Lee Harvey Oswald, yg membunuh Kennedy, lahir thn 1939.
Lincoln ditembak di teater bernama 'Ford.'
Kennedy tertembak di mobil ' Lincoln ' dibuat oleh 'Ford.'
Lincoln tertembak di teater dan pembunuhnya bersembunyi di gudang.
Kennedy tertembak dari sebuah gudang dan pembunuhnya bersembunyi di teater...
persamaan tersebut apakah mempunyai makna tertentu yaa?????
> Frederick Barbarossa,,seorang panglima perang pasukan salib sekaligus kaisar Jerman pada periode 1155-1190,,yg meninggal karena tenggelam. Frederick barbarossa meninggal tenggelam bukan karena menolak melepas heavy armor yang dia pakai, tapi "lupa"
Pasukan Frederick Barbarossa, dalam upaya mencapai checkpoint untuk bergabung dengan crusader lain (pasukan Richard The Lionheart) mesti melewati padang pasir selama beberapa lama. Heavy Armor yang berat & notabene full iron made membuat pasukan sangat dehidrasi di gurun.
Setelah sekian lama berjalan, mereka menemukan sungai. Melihat air, Barbarossa dan pasukannya senang bukan main. Barbarossa malah saking senangnya langsung nyebur ke situ, maksudnya sekalian mandi sekalian minum, tanpa buka baju dulu. Nah,,Heavy armor yang dikenakan Barbarossa membuatnya terlalu berat, dan sejarah pun terjadi. Panglima perang yang tak tertaklukkan dalam pertempuran mati oleh baju zirahnya sendiri.. sungguh bego,,hehehe..
> Jenderal Jan Willem Janssens ketika berperang melawan Lord Minto di Salatiga mengalami kekalahan akibat miskomunikasi. Janssens ketika itu bermaksud akan mengadakan serbuan kilat dan menanyakan kepada translatornya apa bahasa Melayu-nya "Snel Verhuizen (Gerak Cepat)". Sang translator-pun yg mungkin berbeda persepsi dengan Janssens menjawab "Kabur". Dengan semangat yg berapi-api, Janssens memberikan komando kepada pasukannya,"KABUUURRRRR!!!!" sontak pasukannya lari berhamburan meninggalkan arena pertempuran. Yang pada akibatnya,,Salatiga jatuh ke tangan Lord Minto dan pemerintahan Hindia-Belanda di Jawa praktis berakhir dan diganti pemerintahan Britania oleh Raffles...hehe,,
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 12:28 AM 0 Comments
Rabu, Mei 05, 2010
Daftar Negara Dengan Senjata Nuklir
Berikut ini adalah daftar negara dengan senjata nuklir. Ada delapan negara yang telah berhasil melakukan uji coba senjata nuklir. Lima diantaranya dianggap sebagai "negara dengan senjata nuklir", sebuah status yang diberikan oleh Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty atau NPT). Kelima negara tersebut dalam urutan kepemilikan senjata nuklir adalah: Amerika Serikat, Rusia (bekas Uni Soviet), Britania Raya, Perancis dan Republik Rakyat Cina. Diluar kelima negara NPT tersebut, ada tiga negara yang pernah melakukan uji coba nuklir yaitu: India, Pakistan dan Korea Utara. Israel walaupun tidak mengiyakan ataupun menyangkal memiliki senjata nuklir, tetapi diyakini memiliki sejumlah senjata nuklir.
Sebanyak 200 senjata nuklir pernah dilaporkan berada dalam persenjataannya. Keempat negara terakhir tadi tidak secara formal diakui sebagai negara pemilik senjata nuklir karena bukan penandatangan Perjanjian Nonproliferasi Nuklir. Selain negara-negara tersebut, Iran juga telah melakukan pengembangan teknologi pengayaan uranium dan dituduh melakukannya untuk keperluan senjata nuklir oleh PBB. Iran bersikeras bahwa pengembangan nuklir mereka adalah untuk keperluan pembangkit tenaga nuklir. Pada 4 Februari 2006, Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency atau IAEA) melaporkan Iran ke Dewan Keamanan PBB sehubungan dengan program nuklir mereka.
Perkiraan persenjataan nuklir dunia
Berikut ini adalah daftar negara-negara yang telah mengakui kepemilikan atas senjata nuklir, perkiraan jumlah hulu ledak nuklir per 2002, dan tahun dimana mereka melakukan uji coba pertama. Daftar tersebut dalam politik global dikenal sebagai "Klub Nuklir". Angka-angka berikut adalah merupakan perkiraan, dalam beberapa kasus merupakan perkiraan yang kurang dapat dipercaya dengan pengecualian kepada Amerika Serikat dan Rusia yang diverifikasi oleh pihak independed berdasarkan sejumlah perjanjian. Angka-angka ini juga mewakili jumlah hulu ledak yang dimiliki dan bukannya jumlah yang aktif. Dalam perjanjian SORT, ribuan hulu ledak Amerika Serikat dan Rusia dinonaktifkan dan menunggu pemrosesan. Bahan radioaktif yang ada di dalam hulu ledak nuklir dapat didaur-ulang untuk digunakan dalam reaktor nuklir di pembangkit listrik tenaga nuklir, kapal selam dan kapal perang.
Pada 1985 jumlah hulu ledak nuklir aktif di dunia berjumlah 65.000, kemudian turun menjadi 20.000 pada 2002. Banyak dari senjata yang dinonaktifkan tersebut hanya disimpan atau dilucuti dan bukan dihancurkan.
Negara yang telah melakukan uji coba nuklir
Amerika Serikat mengembangkan senjata nuklir pertama dalam masa Perang Dunia II dibayangi ketakutan didahului oleh Nazi Jerman. Uji coba senjata nuklirnya pertama kali dilakukan pada 1945 ("Trinity"), dan menjadi negara satu-satunya yang pernah menggunakan senjata nuklir terhadap negara lain, yaitu ketika bom nuklir dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki (baca juga: Proyek Manhattan). AS juga merupakan negara yang pertama kali mengembangkan bom hidrogen, uji cobanya ("Ivy Mike") pada 1952 dan versi yang dapat digunakan dalam peperangan pada 1954 ("Castle Bravo").
Rusia melakukan uji coba senjata nuklirnya yang pertama ("Joe-1") pada 1949, dalam sebuah proyek yang sebagian dikembangkan dengan espionase dalam dan setelah Perang Dunia II (baca juga: Proyek senjata nuklir Soviet). Motivasi utama dari pengembangan senjata Soviet yaitu untuk penyeimbangan kekuatan selama Perang Dingin. Soviet menguji bom hidrogen primitif pada 1953 ("Joe-4") dan sebuah bom hidrogen berdaya megaton pada 1955 ("RDS-37"). Uni Soviet juga melakukan uji coba bom terkuat yang pernah diledakkan oleh manusia , ("Tsar Bomba"), yang memiliki daya ledak 100 megaton, tetapi dikurangi dengan sengaja menjadi 50 megaton. Pada 1991, semua persenjataannya menjadi milik Rusia.
Britania Raya melakukan uji coba senjata nuklir pertamanya ("Hurricane") pada 1952, dengan data yang sebagian besar didapat dari hasil kerja sama dengan Amerika Serikat dalam Proyek Manhattan. Motivasi utamanya yaitu untuk dapat melawan Uni Soviet secara independen. Britania Raya melakukan uji coba bom hidrogen pada 1957. Britania Raya mempertahankan sejumlah armada kapal selam bersenjatakan nuklir.
Perancis menguji coba senjata nuklirnya pertama kali pada 1960, serta bom hidrogen pada 1968.
Republik Rakyat Tiongkok menguji coba senjata nuklirnya pertama kali pada 1964, yang mengagetkan banyak badan intelejensi Barat. Tiongkok memperoleh pengetahuan nuklirnya dari Soviet, tetapi kemudian berhenti setelah pemisahan Sino-Soviet. Tiongkok menguji coba bom hidrogen pertama kali pada 1967 di Lop Nur. Tiongkok dipercaya untuk memiliki sekitar 130 hulu ledak nuklir.
India tidak pernah menjadi anggota Perjanjian Nonproliferasi Nuklir. India menguji coba sebuah "alat nuklir damai", sebagaimana digambarkan oleh pemerintah India pada 1974 ("Smiling Buddha"), uji coba pertama yang dikembangkan setelah pendirian NPT, menjadi pertanyaan baru tentang bagaimana sebuah teknologi nuklir sipil dapat diselewengkan untuk kepentingan persenjataan. Motivasi utamanya diperkirakan adalah untuk melawan Tiongkok. India kemudian menguji coba hulu ledak nuklirnya pada 1998 ("Operasi Shakti"), termasuk sebuah alat termonuklir (walaupun kesuksesan termonuklir tersebut masih diragukan). Pada Juli 2005, India secara resmi diakui oleh Amerika Serikat sebagai "sebuah negara dengan teknologi nuklir maju yang bertanggungjawab" dan setuju untuk melakukan kerjasama nuklir di antara kedua negara.
Pakistan bukan merupakan anggota Perjanjian Nonproliferasi Nuklir. Pakistan selama beberapa dekade secara diam-diam mengembangkan senjata nuklirnya dimulai pada akhir 1970-an. Pakistan pertama kali berkembang menjadi negara nuklir setelah pembangunan reaktor nuklir pertamanya di dekat Karachi dengan peralatan dan bahan yang disediakan oleh negara-negara barat pada awal 1970-an. Setelah uji coba senjata nuklir India, Pakistan secara bertahap memulai program pengembangan senjata nuklirnya dan secara rahasia membangun fasilitas nuklirnya kebanyakan berada di bawah tanah dekat ibu kota Islamabad. Beberapa sumber mengatakan Pakistan telah memiliki kemampuan senjata nuklir pada akhir 1980-an. Hal tersebut masih bersifat spekulatif sampai pada 1998 ketika Pakistan melakukan uji coba pertamanya di Chagai Hills, beberapa hari setelah India melakukan uji cobanya.
Korea Utara dahulunya merupakan anggota Perjanjian Nonproliferasi Nuklir tetapi kemudian menarik diri pada 10 Januari 2003. Pada Februari 2005 Korea Utara mengklaim telah memiliki sejumlah senjata nuklir aktif, walaupun diragukan sejumlah ahli karena Korea Utara kurang dalam melakukan uji coba. Pada Oktober 2006, Korea Utara mengatakan seiring dengan tekanan oleh Amerika Serikat, akan mengadakan sejumlah uji coba nuklir sebagai konfirmasi atas status nuklirnya. Korea Utara melaporkan sebuah uji coba nuklir yang sukses pada 9 Oktober 2006. Kebanyakan pejabat intelejensi AS mempercayai bahwa sebuah uji coba nuklir telah dilangsungkan seiring dengan dideteksinya isotop radioaktif oleh angkatan udara AS, akan tetapi kebanyakan pejabat setuju bahwa uji coba tersebut kemungkinan hanya mengalami sedikit keberhasilan, dikarenakan daya ledaknya yang hanya berkisar kurang dari 1 kiloton.
Negara-negara yang dipercayai memiliki senjata nuklir
Israel bukan merupakan anggota Perjanjian Nonproliferasi Nuklir dan menolak untuk mengkonfirmasi atau menyangkal memiliki senjata nuklir, atau mengembangkan program senjata nuklir. Walaupun Israel mengklaim Pusat Riset Nuklir Negev dekat Dimona adalah sebuah "reaktor penelitian", tetapi tidak ada hasil pekerjaan ilmuwan yang bekerja disana yang dipublikasikan. Informasi mengenai program di Dimona dibeberkan oleh teknisi Mordechai Vanunu pada 1986. Analisis gambar mengidentifikasi bunker senjata, peluncur misil bergerak, dan situs peluncuran pada foto satelit. Badan Tenaga Atom Internasional mempercayai Israel memiliki senjata nuklir. Israel mungkin telah melakukan sebuah uji coba senjata nuklir dengan Afrika Selatan pada 1979, tetapi hal ini belum dikonfirmasikan (lihat: insiden Vela). Menurut Natural Resources Defense Council dan Federasi Ilmuwan Amerika, Israel memiliki sekitar 75-200 senjata.
Negara-negara yang dicurigai memiliki program nuklir rahasia
Iran menandatangani Perjanjian Nonproliferasi Nuklir dan mengemukakan ketertarikannya dalam teknologi nuklir termasuk pengayaan nuklir untuk tujuan damai (sebuah hak yang dijamin dalam perjanjian), tetapi CIA (badan rahasia AS) dan beberapa negara barat mencurigai bahwa hal tersebut sebenarnya untuk menutupi program untuk pengembangan senjata nuklir dan mengklaim bahwa Iran memiliki sedikit kebutuhan untuk mengembangkan tenaga nuklir, dan secara konsisten memilih opsi nuklir yang dapat menjadi multi penggunaan dibandingkan dengan memilih teknologi nuklir yang hanya bisa digunakan untuk pembangkitan tenaga listrik. Mantan Menteri Luar Negeri Iran Kamal Kharrazi secara tegas menyatakan ambisi negaranya dalam teknologi nuklir: "Iran akan mengembangkan kemampuan tenaga nuklir dan hal ini harus diakui oleh perjanjian."
Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) kemudian melaporkan Iran ke Dewan Keamanan PBB pada 4 Februari 2006 sebagai respon dari kekhawatiran negara-negara barat akan program nuklir Iran. Pada 11 April 2006, presiden Iran mengumumkan bahwa Iran telah berhasil melakukan pengayaan uranium untuk dapat digunakan dalam reaktor untuk pertama kalinya. Pada 22 April 2006, delegasi Iran untuk badan pengawasan nuklir PBB bahwa Iran telah mencapai persetujuan awal dengan Kremlin untuk membentuk sebuah kerjasama dalam pengayaan uranium bersama di wilayah Rusia.
Arab Saudi - Pada 2003, anggota pemerintahan Saudi Arabia menyatakan bahwa dikarenakan hubungan yang memburuk dengan Amerika Serikat, Saudi Arabia dipaksa untuk mempertimbangkan pengembangan senjata nuklir, tetapi sejak itu mereka kerap menyangkal telah memulai pengembangannya. Kabar burung beredar bahwa Pakistan telah mengirim sejumlah senjata nuklir ke Arab Saudi, tetapi hal ini tidak dapat dikonfirmasikan. Pada Maret 2006, sebuah majalah Jerman, Cicero melaporkan bahwa Arab Saudi sejak 2003 telah menerima bantuan dari Pakistan untuk mengembangkan rudal nuklir. Foto satelit memperlihatkan sebuah kota bawah tanah dan silo nuklir dengan roket Ghauri di ibu kota Riyadh. Pakistan kemudian menyangkal telah membantu Arab Saudi dalam ambisi nuklirnya.
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 11:54 PM 0 Comments
Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi (1)
1. Bentuk pemerintahan terbaik dan konsep demokrasi
2. Demokrasi Elektoral, Demokrasi Liberal dan Konsep-Konsep Non-Dikotomis
3. Demokrasi Semu dan Negara-Negara Non-Demokrasi
4. Demokrasi dalam Perspektif Developmental
5. Demokrasi di Indonesia dan fungsi Pancasila
Pemecahan Pokok Permasalahan 1
Bentuk Pemerintahan Terbaik
Sulit memang untuk menentukan bentuk pemerintahan yang terbaik, karena sudah sejak dulu banyak pertentangan mengenai bentuk pemerintahan mana yang terbaik. Sementara Aristoteles dan Plato kurang bersimpati pada bentuk demokrasi, banyak pemikir-pemikir demokrasi berpendapat bahwa bentuk pemerintahan terbaik itu bisa diwujudkan dengan pemerintahan campuran atau pemerintahan konstitusional, yang membatasi kielbasa dengan aturan hukum dan juga membatasi kedaulatan rakyat dengan institusi-institusi negara yang menghasilkan ketertiban dan stabilitas. Aristoteles melihat bahwa di dalam tubuh demokrasi sebenarnya tersimpan perpecahan yang nyata, betapa tidak, dia beranggapan dengan dibentuknya demokrasi dimana kekuasaan tertinggi adalah di tangan suara terbanyak, maka dapat diasumsikan bahwa akan ada banyak sekali pemimpin penghasut rakyat yang bermunculan untuk saling menggulingkan dan berebut kekuasaan.
Robert Dahl beranggapan bahwa demokrasi itu memberikan jaminan kebebasan yang tak tertandingi oleh sistem politik apapun, dimana secara instrumental, demokrasi mendorong kebebasan melalui tiga cara. Pertama, yaitu dengan adanya pemilu yang bebas dan adil yang secara inheren mensyaratkan hak-hak politik tertentu untuk mengekspresikan pendapat, berorganisasi, oposisi dan lain-lain. Kedua, demokrasi memaksimalkan adanya self-determination, bahwa setiap individual berada di bawah aturan hukum yang dibuatnya sendiri. Ketiga, demokrasi mendorong otonomi moral, yakni kemampuan setiap warga dalam membuat pilihan-pilihan normatif, dan karenanya pada tingkat yang mendalam, demokrasi mendorong kemampuan untuk memerintah (self-governing). Mungkin pada poin inilah, Aristoteles lebih cenderung mengkhawatirkan adanya pemimpin penghasut rakyat dalam tubuh demokrasi. Meskipun demikian menurut saya, setiap bentuk pemerintahan itu pasti ada kurang dan lebihnya, tinggal bagaimana kita mengontrol dan menjalankan pemerintahan tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga dapat meminimalisasikan kekurangan yang ada dalam sistem pemerintahan tersebut.
Konsep Demokrasi
Berkenaan dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi, jumlah Negara penganut sistem demokrasi, maka berkembang pula pemikiran tentang cara pengklasifikasian rezim, kondisi untuk menciptakan dan pengkonsolidasian demokrasi serta konsekuensi yang timbul bagi perdamaian dan pembangunan. Beberapa permasalahan yang muncul contohnya adalah berkenaan dengan apa itu yang disebut sebagai demokrasi borjuis atau kapitalis yang menyebut dominasi elit sosial dan elit ekonomi atau kesenjangan sosial sebagai kendala utama bagi perwujudan demokrasi penuh. Dalam dua dekade terakhir (1960-1970), penyertaan isu kebutuhan sosial dan ekonomi dalam definisi demokrasi telah kehilangan pamor, mengapa? Karena pada umumnya penggunaan istilah demokrasi dalam dunia ilmiah dan kebijakan mengacu pada konsepsi yang murni untuk kepentingan politik.
Salah satu penjabaran mengenai konsepsi demokrasi menurut Dahl adalah tentang poliarki yang mengandung dua dimensi, yakni oposisi (persaingan yang sempurna melalui pemilu yang teratur, bebas dan adil) dan partisipasi (hak semua orang dewasa untuk memilih dan berkompetisi untuk memperebutkan jabatan publik). Namun sesungguhnya di dalam kedua dimensi ini terdapat dimensi yang ketiga, yaitu kebebasan sipil yang membuat oposisi dan partisipasi benar-benar bermakna. Poliarki bukan hanya mencakup kebebasan memilih dan berorientasi untuk jabatan publik tapi juga kebebasan berbicara, membentuk dan bergabung dengan organisasi serta akses terhadap sumber-sumber informasi alternatif.
Pemecahan Pokok Permasalahan 2
Demokrasi Elektoral
Apa itu yang dimaksud dengan Demokrasi Elektoral? Berikut penjabaran singkatnya. Sebenarnya konsep singkat mengenai demokrasi ini juga mengakui tingkat kebebasan tertentu (berbicara, pers, organisasi dan berserikat agar kompetisi oposisi dan partisipasi menjadi lebih bermakna). Namun yang membedakan adalah demokrasi ini lebih menekankan pada pemilu. Artinya, pengisian kursi-kursi jabatan, baik eksekutif maupun legislatif sepenuhnya ditentukan melalui pemilu. Pada perkembangannya, demokrasi ini diperluas dengan maksud menghilangkan unsur-unsur yang dapat menimbulkan kerancuan. Seperti halnya pemerintahan berbasis militer yang tidak terdapat pejabat terpilih di dalamnya, tidak dikategorisasikan sebagai demokrasi elektoral.
Demokrasi Liberal
Dalam demokrasi ini, membutuhkan tiga konsep yang membuat demokrasi ini dapat memperluas dirinya hingga melebihi sistem lain yang dianggap bersifat formal dan hanya setengah-setengah. Pertama, demokrasi ini menolak kehadiran kekuasaan militer maupun aktor-aktor lain yang secara langsung dan tidak langsung tidak memiliki akuntabilitas pada pemilih. Kedua, selain akuntabilitas secara vertikal, demokrasi ini juga menghendaki akuntabilitas secara horizontal di antara para pemegang jabatan, yang membatasi kekuasaan eksekutif dan juga melindungi konstitusionalisme, legalitas, serta proses perimbangan. Ketiga, demokrasi ini mencakup ketentuan-ketentuan yang luas bagi pluralisme sipil dan politik serta kebebasan individu atau kelompok. Demokrasi ini juga memiliki sepuluh konsep khusus, tiga di antaranya ialah sebagai berikut:
1. Kontrol terhadap negara, keputusan-keputusan, dan alokasi-alokasi sumber dayanya dilakukan secara faktual maupun teoritik oleh pejabat publik yang terpilih, dalam hal ini berarti militer berada di bawah subordinasi para pejabat politik.
2. Kekuasaan eksekutif dibatasi secara konstitusional dan faktual oleh kekuasaan otonom institusi-institusi pemerintahan lain, seperti sebuah peradilan yang independen, parlemen dan mekanisme-mekanisme akuntabilitas horizontal lainnya. Namun hal ini, juga bukan berarti kekuasaan eksekutif sepenuhnya dikebiri.
3. Rule of Law melindungi warga negaranya terhadap penahanan yang tidak sah, pengucilan, teror, penyiksaan dan campur tangan yang tidak sepantasnya dalam kehidupan pribadi baik oleh negara maupun oleh kekuatan terorganisasi non-negara dan anti negara, seperti contoh adanya penyimpangan di atas adalah Perancis kala pemerintahan Louis XIV hingga Louis XVI dimana para warga yang tidak mematuhi perintah raja dan “dianggap” berkhianat pada negara langsung dipenjarakan di Penjara Bastille dan bahkan dihukum pancung dengan Guillotine, di sinilah letak penyimpangan tersebut dikarenakan tidak adanya peran hukum dalam suatu Negara. Karena pada saat itu, titah raja sama dengan undang-undang.
Konsep-Konsep Non-Dikotomis
Konsep-konsep non-dikotomis adalah konsep yang tidak berada di antara dikotomi elektoral maupun liberal, namun berada di tengah-tengahnya. Konsep ini menyertakan kebebasan dasar manusia namun masih memungkinkan adanya pembatasan hak-hak warga dan tidak terjaminnya rule of law.
Pemecahan Pokok Permasalahan 3
Demokrasi Semu dan Negara-Negara Non-Demokrasi
Apa itu yang disebut dengan demokrasi semu? Mungkin sebagian besar dari kita banyak yang belum mengetahui mengenai demokrasi semu. Penjelasan ringkasnya, demokrasi semu itu adalah demokrasi yang tidak kasat mata. Artinya, konsep ini tidak memenuhi syarat-syarat minimal sebagai demokrasi namun juga tidak sepenuhnya tergolong sebagai otoriter yang murni. Karena pada sistem ini, keberadaan lembaga-lembaga politik demokratis yang formal menyebabkan dominasi otoriter menjadi tidak kasat mata. Namun, demokrasi ini masih berbeda dengan negara-negara non-demokrasi. Bedanya, demokrasi semu ini masih terdapat kebebasan yang sedikit lebih tinggi daripada negara non-demokrasi yang cenderung otoriter.
Pemecahan Pokok Permasalahan 4
Demokrasi Dalam Perspektif Developmental
Demokrasi yang ideal sampai saat ini tidak mampu diciptakan oleh negara manapun. Untuk itulah, demokrasi harus dipandang sebagai sesuatu yang terus menerus berkembang seiring waktu dan perkembangan zaman. Diantaranya dengan meningkatkan persaingan politik, partisipasi menjadi lebih inklusif dan bergairah, meningkatkan pengetahuan, sumber daya, dan kompetensi warga negara, yang dengan kesemuanya itu nantinya dapat mengembangkan sistem demokrasi yang sudah dikenal sekarang menjadi lebih demokratis. Berdasarkan perspektif developmental, masa depan demokrasi dapat berubah-ubah. Karena unsur demokrasi liberal lahir dalam berbagai serial dan derajat pada kecepatan yang bermacam-macam di negara-negara yang berbeda, maka perubahan demokrasi tersebut dapat juga bergerak pada arah yang berlawanan. Sebagai contoh adalah ketika demokrasi elektoral dapat menjadi lebih demokratis, maka demokrasi ini pun jaga dapat menjadi demokrasi yang kurang demokratis. Mengapa sangat diperlukan pengembangan terhadap demokrasi ialah dikarenakan semua sistem politik itu dapat menjadi kaku, korup dan tidak responsif tanpa adanya reformasi dan pembaharuan yang lebih periodik.
Pemecahan Pokok Permasalahan 5
Pemahaman Demokrasi di Indonesia dan Fungsi Pancasila
Secara ringkas, pemahaman demokrasi di Indonesia itu ada 3 poin, diantaranya adalah :
1. Dalam sistem kepartaian, dikenal adanya tiga sistem, yaitu sistem multi-partai (poly-party system), sistem dua partai (biparty system), dan sistem partai tunggal (mono-party system). Meskipun demikian, di Indonesia lebih banyak menerapkan sistem multi partai, karena dianggap sebagai sistem kepartaian yang lebih demokratis dan cenderung terlihat lebih tidak otoriter.
2. Sistem pengisian jabatan pemegang kekuasaan negara. Dalam urusan pengisian jabatan (baik legislatif mapun eksekutif) dilaksanakan melalui pemilihan umum. Namun, presiden terpilih juga dapat memilih siapa menteri dan kabinet seperti apa yang akan dibentuk tanpa melalui pemilihan umum.
3. Hubungan antar pemegang kekuasaan negara, terutama antara eksekutif dan legislatif.
Demokrasi di Indonesia dipandang sebagai suatu mekanisme yang dalam UUD ’45 disebut sebagai sistem kerakyatan. Mengapa demikian? Karena Indonesia menghendaki bahwa demokrasi yang tercipta itu adalah suatu pemerintahan yang berlandaskan Pancasila, dari, oleh dan untuk rakyat. Artinya, calon pejabat pemerintahan merupakan warga negara Indonesia, dan dipilih oleh warga negara Indonesia itu sendiri, dan apabila terpilih, maka dia harus bertanggung jawab kepada warga negara Indonesia pula. Demokrasi di Indonesia agak sedikit berbeda jika disbanding dengan bentuk demokrasi yang diterapkan negara lain, mengapa? Karena demokrasi di Indonesia selalu berlandaskan atas asas-asas Pancasila dan mencakup semua aspek, meliputi politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Demokrasi di Indonesia juga menerapkan sistem musyawarah dalam memecahkan suatu permasalahan dengan mencari mufakat (kesepakatan) antar anggota musyawarah.
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 11:33 PM 0 Comments
Label: Jurnal Kewarganegaraan
Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi (2)
- Hakikat demokrasi.
- Sejarah perkembangan demokrasi di Barat dan di Indonesia.
- Negara Hukum, Mayarakat Madani, Infrastruktur Politik dan Pers yang bebas dan bertanggung jawab sebagai komponen penegakan demokrasi.
- Hubungan antara demokrasi dan agama.
- Prospek demokrasi di Indonesia.
Pemecahan Pokok Permasalahan 1
Hakikat demokrasi dapat kita telaah awalnya dari pengertian demokrasi dari segi bahasa, yang terdiri dari dua kata yaitu "demos" yang berarti rakyat dan "cratos" yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, demokrasi di sini diartikan sebagai kedaulatan yang berada di tangan rakyat, dalam kata lain berarti rakyat yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam penentuan keputusan. Terminologi demokrasi menurut Josefh A. Schmeter, merupakan suatu perencanaan institusional dalam mencapai keputusan politik dimana individu memperoleh kekuasaan untuk memperoleh kekuasaan untuk memututskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sedangkan menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi merupakan sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.
Dari pendapat beberapa ahli tersebut, terdapat suatu kesimpulan bahwa dalam demokrasi, rakyat-lah yang berperan sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu kebijakan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilakukan secara langsung oleh rakyat atau mewakilinya melalui lembaga perwakilan. Maka dari itu, negara yang menganut paham demokrasi, sebaiknya tidak hanya mendengarkan kemauan kaum mayoritas semata, namun juga kemauan kaum minoritas, meskipun dalam prakteknya, masih sulit menemui hal yang demikian itu. Pemerintahan dari rakyat berhubungan erat dengan pemerintahan legitimasi dan pemerintahan tidak legitimasi.
Pemerintahan legitimasi berarti pemerintahan yang berkuasa mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat. Sebaliknya, pemerintahan tidak legitimasi adalah pemerintahan yang sedang memegang kendali kekuasaan tidak mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat. Legitimasi ini merupakan hal yang sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintah dapat menjalankan program pemerintahan dan pembangunan sebagai wujud dari amanat yang diberikan rakyat kepada pemerintah. Selain itu, lantas apakah prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri? Pertanyaan tersebut dijawab Inu Kencana bahwa ada sekitar 20 prinsip, namun kali ini akan saya cantumkan 5 saja, diantaranya adalah:
Adanya pembagian kekuasaan (sharing power)
Mengapa harus demikian? Hal tersebut dimaksudkan agar antara pembuatan undang-undang dan pelaksana undang-undang dapat terjadi suatu bentuk pengawasan atau kontrol (checking power with power)
Adanya pemilihan umum yang bebas (general election)
Untuk terpilihnya pemerintahan yang dikehendaki rakyat, diperlukan pemilihan umum yang dilaksanakan secara jujur, adil, bebas dan demokratis oleh lembaga independen.
Adanya manajemen pemerintahan yang terbuka
Hal tersebut dimaksudkan agar pemerintahan yang tercipta tidak bersifat kaku dan otoriter, maka diperlukanlah partisipasi rakyat dalam menilai pemerintahan, dilakukan secara transparan, dan menerapkan akuntabilitas publik.
Adanya kebebasan individu
Ini diperlukan dalam negara demokrasi untuk membuktikan bahwa rakyat memang diberi kebebasan seluas-luasnya dan tidak dikekang seperti negara otoriter, sehingga rakyat tidak perlu lagi dihantui rasa takut.
Adanya peradilan yang bebas
Dimaksudkan agar peradilan dan hukum tidak tercampur aduk dengan aparat pemerintah karena dikhawatirkan akan terjadi ketidakadilan dan bentuk penyelewengan hukum lainnya. Dengan tidak tercampurnya hal tersebut, diharapkan pula nantinya lembaga peradilan dapat bersikap adil dalam pemutusan perkara.
Sedangkan menurut Robert Dahl, ada tujuh prinsip ditegakkannya demokrasi, yaitu kontrol atas keputusan pemerintah, pemilihan yang teliti dan jujur, hak memilih dan dipilih, kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman, kebebasan mengakses informasi serta kebebasan berserikat. Selain prinsip tersebut, demokrasi berdiri di atas fondasi fundamental yaitu otoritas, privasi, tanggung jawab, dan keadilan.
Pemecahan Pokok Permasalahan 2
Sejarah Perkembangan Demokrasi di Barat
Seperti apakah sejarah dan perkembangan demokrasi di Barat? Konsep ini semula lahir di Yunani kuno antara abad 4 SM hingga abad 6 M, yang mana pada masa itu berbentuk negara-kota (city-state) dan dijalankan dalam bentuk demokrasi langsung yang artinya dalam menyampaikan haknya unntuk membuat kebijakan politik, rakyat dapat menyampaikannya secara langsung berdasarkan prosedur mayoritas, mengingat pada masa itu, dalam sebuah city-state tidak memiliki jumlah warga negara yang besar, persoalannya pun tidak serumit negara kita. Namun demikian, tidak semua rakyat di negara-kota ini mendapatkan hak-hak demokrasi. Hak-hak tersebut hanya diberikan untuk kaum lelaki yang sudah menjadi warga negara yang resmi. Sedangkan di luar daripada ketentuan tersebut, tidak berhak untuk ikut memberikan suara dalam penentuan kebijakan politik. Maka dari itulah, meskipun memang dari luar tampak negara-kota ini bersifat demokratis, namun masih saja ada bentuk-bentuk diskriminatif.
Kemudian setelah itu, ketika memasuki abad pertengahan demokrasi sudah tidak bisa dijumpai lagi, karena pada abad ini, struktur masyarakat Barat dicirikan berperilaku feodal. Kehidupan spiritual dikuasai oleh Paus dan pejabat agama, sedangkan kehidupan politiknya diwarnai perebutan kekuasaan oleh para bangsawan. Dan lama-kelamaan, justru Paus-lah yang seakan-akan mempunyai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Maklumat yang dikeluarkan oleh gereja seolah berubah menjadi sebuah undang-undang yang harus dilaksanakan dan apabila melanggar, maka akan diberi hukuman sesuai ajaran gereja. Pada masa abad pertengahan inilah kebebasan rakyat benar-benar dikebiri dan masa ini semakin dikenal dengan sebutan The Dark Middle Ages atau abad pertengahan yang gelap.
Menjelang akhir abad pertangahan, tumbuh kembali keinginan untuk menghidupkan demokrasi, karena dirasa pada masa itu, kebebasan rakyat benar-benar dikebiri. Hal itu diindikasikan dengan lahirnya Magna Charta (Piagam Besar) sebagai suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John dengan bawahannya. Dalam piagam Magna Charta disebutkan bahwa raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan preveleges bawahannya termasuk rakyat jelata sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan lain-lain. Selain itu dalam piagam ini memuat dua prinsip yang sangat mendasar, yaitu adanya pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja.
Munculnya kembali gerakan demokrasi di Eropa Barat pada abad pertengahan juga didorong oleh perubahan sosial-budaya atau biasa disebut sebagai gerakan Renaissance. Selain Renaissance, ada juga peristiwa lain yang mendorong timbulnya demokrasi di Eropa Barat, yaitu gerakan reformasi. Gerakan ini merupakan gerakan revolusi agama yang dilakukan oleh Martin Luther yang menyulut api pemberontakan terhadap dominasi gereja. Dobrakan absolutisme dan monarki berdasarkan aliran rasionalisme disebut sebagai social-contraxl. Pada perjanjian ini kemudian lahir apa yang disebut sebagai hukum alam (natural law). Namun, lama-lama hukum ini semakin tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dan diganti dengan peraturan baru yang lebih demokratis.
Sejarah Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Mengenai sejarah demokrasi di Indonesia dapat dibagi menjadi dua tahapan, yaitu tahapan pra-kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Apabila dilihat dari segi waktu, dapat dibagi menjadi empat periode. Mari kita bahas satu per satu.
Demokrasi Periode 1945-1959
Demokrasi pada periode ini dikenal sebagai demokrasi parlementer. Demokrasi ini tercipta setelah proklamasi kemerdekaan dan diperkuat dalam UUD 1945 serta UUDS 1950. Persatuan untuk memerangi musuh bersama tidak dapat dibina secara konstruktif karena selama demokrasi parlementer, orang cenderung lebih mementingkan bagaimana bisa duduk di kursi jabatan ketimbang memerangi musuh bersama. Maka dari itulah, selama masa ini, banyak keluar mosi tidak percaya kepada pemerintah yang berakibat pada sering gantinya kabinet pemerintahan dan program-program pembangunan. Hal ini juga berdampak pada koalisi partai yang ternyata kurang mantap dan lebih mementingkan kepentingan partainya sendiri
Demokrasi Periode 1959-1965
Pada era ini disebut pula sebagai Demokrasi Terpimpin. Demokrasi ini cenderung berupa dominasi presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Mengapa terjadi hal yang demikian itu? Karena pada masa sebelumnya, pemerintahan cenderung lebih kacau dan tidak terkonsentrasi, maka dari itulah Demokrasi Terpimpin ingin agar pemerintahan dapat terpusat dan tidak lagi kacau. Walaupun memang dalam prakteknya, demokrasi ini banyak melakukan distorsi terhadap demokrasi. Salah satu contohnya adalah dekrit presiden 5 Juli 1959 yang dianggap sebagai salah satu usaha mengatasi kemacetan politik, ternyata justru merupakan penyimpangan bentuk demokrasi. Bahkan Pemimpin Tertinggi Revolusi (sebutan presiden pada masa itu) pernah akan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup.
Demokrasi Periode 1965-1998
Pemerintahan pada masa ini muncul setelah ditumpasnya PKI. Landasan formilnya adalah Pancasila, UUD 1945 serta ketetapan-ketetapan MPR. Semangat yang mendasarinya adalah ingin mengembalikan pemerintahan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Karena praktik demokrasi selalu mengacu pada kedua hal tersebut, maka demokrasi pada masa ini dinamakan sebagai Demokrasi Pancasila.
Pemecahan Pokok Permasalahan 3
Negara Hukum
Negara hukum atau Rechstaat dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia diartikan sebagai negara yang memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya melalui perlembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjamin hak-hak asasi manusia. Konsep negara hukum ialah sebagai berikut:
- Adanya jaminan perlindungan terhadap HAM.
- Adanya supremasi hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan.
- Adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara.
- Adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri.
Masyarakat Madani
Masyarakat Madani (Civil Society) adalah masyarakat yang dicirikan sebagai masyarakat yang terbuka, bebas dari pengaruh tekanan negara dan kekuasaan, kritis dan berpartisipasi aktif serta bagian integral dari penegakan demokrasi. Dalam masyarakat madani diasumsikan bahwa proses demokratisasi sebagai proses politik dorongannya berasal dari perjuangan masyarakat yang sadar secara etis dan bertanggung jawab atas perbaikan nasibnya sendiri. Menurut Gellner, masyarakat madani bukan hanya merupakan syarat penting bagi demokrasi, namun tatanan nilai dalam masyarakat madani seperti kebebasan dan kemandirian juga merupakan sesuatu yang inheren (baik secara internal dalam hubungan horizontal maupun eksternal).
Infrastruktur Politik
Infrastruktur politik juga dapat mendukung tegaknya demokrasi. Hal ini terdiri dari partai politik, kelompok gerakan dan kelompok penekan. Partai politik merupakan struktur kelembagaan politik yang anggotanya memiliki orientasi, nilai dan cita-cita yang sama untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Partai politik mempunyai empat fungsi yang merupakan pengejawantahan dari nilai demokrasi yaitu adanya partisipasi, kontrol rakyat melalui partai politik terhadap kehidupan kenegaraan, serta adanya pelatihan penyelesaian konflik secara damai. Begitu pula aktivitas yang dilakukan kelompok-kelompok gerakan dan penekan merupakan perwujudan adanya kebebasan berorganisasi, menyampaikan pendapat dan melakukan oposisi terhadap negara dan pemerintah yang kesemuanya merupakan indikator bagi tegaknya sebuah demokrasi.
Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab
Pers merupakan pilar keempat dalam penegakan demokrasi pada sebuah negara setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Salah satu peranan pers adalah sebagai penyedia informasi bagi masyarakat yang berkaitan dengan berbagai persoalan baik dalam kaitan dengan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan maupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat.
Pers lebih ditekankan berposisi pada sifat independensi yang bebas menyebarkan informasi dan pendapat. Pers hanya harus dapat bertanggung jawab secara yuridis di pengadilan dan bertanggung jawab etika jurnalistik atas isi berita atau informasi yang disebarkan. Pers juga dapat berfungsi sebagai pengawas terhadap kinerja pemerintah.
Pemecahan Pokok Permasalahan 4
Agama dan demokrasi merupakan konsep dan sistem nilai yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Menurut Komaruddin Hidayat, ada tiga pandangan mengenai hubungan antara agama dan demokrasi. Pandangan pertama (model paradoksal) menyatakan bahwa antara demokrasi dan agama tidak bisa dipertemukan bahkan berlawanan. Tokoh yang berpandangan seperti ini adalah Karl Marx, Nietzche dan Sartre. Mereka berpandangan bahwa agama membelenggu kebebasan penalaran individu untuk membangun dunianya secara otonom berdasarkan kehendak mereka. Pandangan kedua (model sekuler) menyatakan bahwa antara agama dan demokrasi bersifat netral, dimana setiap masalah berjalan sesuai dengan jalannya sendiri. Agama berurusan dengan agama, sementara politik berurusan dengan politik.
Karena itu, agama hanya mengurusi masalah hubungan manusia dengan Tuhan dan pencarian makna hidup dan kehidupan. Sementara dalam interaksi sosial, nilai-nilai demokrasi dijadikan sebagai tata krama dan etika sosial yang mana dalam hal ini, agama tidak dapat memainkan perannya. Pandangan ketiga (model teo-demokrasi) menyatakan bahwa antara agama dan demokrasi memiliki keseuaian. Baik secara teologis maupun sosiologis, agama mendukung proses demokratisasi politik, ekonomi maupun kebudayaan.
Pemecahan Pokok Permasalahan 5
Di negara berkembang (termasuk Indonesia) proses perkembangan demokrasi berjalan secara tersendat-sendat, bahkan ada yang tidak bisa muncul sama sekali. Menurut Samuel Huntington, model politik pada negara berkembang itu ada dua, yaitu model negara feodal dan negara birokratis. Keduanya memiliki sistem politik yang bersifat pemusatan kekuasaan yang dapat memperkecil suburnya demokrasi. Indonesia pun memang pernah mengalami hal tersebut dan menggunakan kedua sisem tersebut. Demokratisasi yang sedang bergulir di Indonesia saat ini merupakan suatu tantangan sekaligus peluang yang perlu disikapi secara cermat oleh selurh komponen penegak demokrasi. Sebagai tantangan karena agenda demokratisasi cukup banyak seperti dalam bidang politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan sosial budaya. Sedangkan sebagai peluang yang dapat menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang dapat menerapkan prinsip dan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 10:58 PM 1 Comments
Label: Jurnal Kewarganegaraan
Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa mereka yang melahirkan ideologi ini dulu secara jujur mengakui keterbatasan-keterbatasan pemikiran mereka untuk mampu memberikan pengertian dan analisa final yang dapat secara terus menerus. Mereka tampaknya mengakui bahwa visi mereka tak mampu menjangkau perkembangan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Dengan memberikan peluang tersebut, berarti mereka memberikan kesempatan bagi generasi baru untuk memperbaiki atau menyempurnakannya, karena ideologi dituntut harus mempunyai fleksibilitas yaitu membuka dirinya untuk diinterpretasikan kembali dari waktu ke waktu sesuai dengan proses perkembangan dan kemajuan masyarakat.
Apa Itu Ideologi?
Secara etimologis, istilah ideologi berasal dari kata Yunani yaitu ‘idea’ yang berarti pemikiran, gagasan dan konsep keyakinan serta ‘logos’ yang berarti pengetahuan. Dengan demikian, konsep ideologi pada dasarnya adalah ilmu pengetahuan tentang gagasan, konsep keyakinan atau pemikiran. Ideologi dapat dibedakan menjadi dua jenis:
Pertama, ideologi doktriner. Ideologi ini bersifat ketat dan mengandung ajaran-ajaran yang disusun secara jelas dan sistematis, serta diindoktrinasikan pada komunitasnya dengan pengawasan ketat dalam rangka pelaksanaan ideologi dan seringkali dimonopoli oleh rezim yang berkuasa. Dalam hal ini, berarti pemimpin suatu negara memiliki kendali penuh dan kekuasaan dalam pelaksanaan negara beserta ideologi yang dianut. Kedudukan pemimpin negara seolah berada di atas kedudukan ideologi dan sistem pemerintahan akan bersifat otoriter.
Kedua, ideologi pragmatis. Ideologi ini bersifat tidak ketat dan mengandung ajaran-ajaran yang tidak disusun secara rinci, tidak diindoktrinasikan, serta tidak memiliki pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya (Emile Durkheim dalam George Simpson, New York, Free Press, 1964.54).
Dalam pengertian lain, Alfian mendefinisikan ideologi sebagai akumulasi nilai-nilai yang dianggap baik dan benar tentang tujuan yang ingin dicapai masyarakat, sekaligus menjadi pedoman dan cita-cita pengatur perilaku masyarakat dalam berbagai kehidupan. Karenanya, ideologi berfungsi menjadi tujuan dan cita-cita bersama masyarakat, serta menjadi pedoman dan alat ukur perilaku dalam hubungannya dengan kebijakan negara serta sebagai pemersatu masyarakat karena menjadi prosedur penyelesaian konflik yang muncul dalam masyarakat tersebut. (Alfian, Idiologi, Idealisme dan Integrasi Nasional, Prisma, 8-8-1976).
Implikasi Logis Pancasila Sebagai Ideologi
Sejak dirumuskannya Pancasila sebagai ideologi bangsa, secara eksplisit maupun implisit Pancasila mengandung konsekuensi logis bagi seluruh organ-organ dan masyarakat yang hidup tumbuh berkembang dalam Negara Indonesia merdeka untuk menyandarkan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat atas dasar Pancasila. Ideologi Pancasila juga memberikan sandaran bagi lalu lintas kehidupan umat manusia di Indonesia.
Suatu ideologi yang dibuat harus berorientasi pada kehidupan masyarakat, mengapa? Hal ini dikarenakan dalam setiap proses pergaulan, apalagi dalam terminologi bangsa yang plural dan heterogen seperti Indonesia haruslah dibutuhkan suatu ‘aturan main’ yang tentunya disepakati bersama untuk memberikan arahan agar setiap konflik pluralitas dan heterogenitas yang mungkin muncul akan dapat terminimalisir, serta bagaimana nilai-nilai dalam ideologi tersebut mengkonstruk struktur sosial yang mempunyai visi kebangsaan yang sama meski berawal dari keragaman (kepentingan). Namun demikian, bukan berarti kehidupan masyarakat semata-mata merupakan manifestasi ideologi. Sebab, selalu saja dialektika yang berkesinambungan antara ideologi dengan kenyataan kehidupan masyarakatnya akan menentukan kualitas dari ideologi tersebut.
Relasi Ideologi dengan Realitas Sosial
Setelah berbicara panjang lebar dan mengenali suatu ideologi, lantas apakah korelasi logis antara sebuah ideologi (dalam hal ini adalah Pancasila) dengan kenyataan kehidupan masyarakat? Sebuah ideologi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari kenyataan hidup masyarakat, namun ideologi adalah sebuah produk atau hasil dari kebudayaan masyarakat. Dan karenanya, dalam artian tertentu merupakan manifestasi sosial dari keinginan luhur masyarakat. Artinya, perumusan suatu ideologi Pancasila seharusnya dimaknai dari adanya keinginan untuk mewujudkan suatu struktur dan konstruk masyarakat yang diidealisasikan sesuai dengan keadaannya.
Pada hakikatnya sebuah ideologi tidak lain merupakan sebuah refleksi manusia atas kemampuannya dalam mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya. Maksud kalimat tersebut adalah bahwa antara ideologi dan kenyataan hidup masyarakat terjadi sebuah hubungan dialektis yang menimbulkan kelangsungan pengaruh hubungan timbal balik yang terwujud dalam sebuah interaksi. Dengan demikian, ideologi mencerminkan cara berpikir dan bertata kehidupan masyarakat serta membentuk masyarakat menuju cita-cita yang telah diharapkan bersama sehingga ideologi seharusnya tidak hanya dianggap sebagai pengetahuan teoritis saja, namun lebih merupakan sesuatu yang dihayati menjadi sebuah keyakinan.
Adakah Kritik Terhadap Pancasila Sebagai Sebuah Ideologi?
Dalam perjalanannya, Pancasila memang kerap kali mendapatkan kritik dari masyarakat dengan melayangkan tuntutan-tuntutan yang bersifat memperdebatkan ‘keabsahan’ Pancasila sebagai sebuah ideologi Indonesia. Seperti munculnya gagasan diberlakukannya federalisme dalam sistem kenegaraan Indonesia, fenomena munculnya kembali partai-partai politik, organisasi massa dan organisasi kepemudaan yang memakai asas di luar Pancasila dalam menjalankan aktivitas administrasi dan organisasinya. Berbagai bentuk penyelewengan atas Pancasila tidak harus dimaknai sebagai sebuah alasan untuk menggantikan ideologi suatu negara. Penyelewengan adalah bukti ketidakseriusan pengelola negara dalam menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen. Itulah sebabnya, agar berbagai penyelewengan atas Pancasila dapat diminimalisir, maka sudah saatnya Pancasila didudukkan kembali menjadi ideologi terbuka yang harus terus menerus disempurnakan sehingga pada akhirnya selalu ‘up to date’ untuk menjawab persoalan yang timbul di negara Indonesia.
Kekuatan Pancasila Sebagai Sebuah Ideologi
Kekuatan ideologi Pancasila dapat diukur dari tiga dimensi yang saling berkaitan, saling mengisi dan saling memperkuat. Ketiga dimensi tersebut adalah:
1. Dimensi Realitas, dimana sebuah ideologi mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya bersumber dari nilai-nilai riil yang hidup dalam masyarakatnya.
2. Dimensi Idealitas, dimana suatu ideologi harus mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui idealisme atau cita-cita yang terkandung dalam ideologi, suatu masyarakat akan mampu mengetahui ke mana mereka ingin membangun kehidupan bersama.
3. Dimensi Fleksibilitas, dimana sebuah ideologi harus memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang pengembangan pemikiran baru yang relevan tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.
Berdasar pada ketiga dimensi tersebut, Pancasila jelas memenuhi standar realitas, idealitas dan fleksibilitas, karena dinamika internal yang terkandung dalam sifatnya sebagai ideologi terbuka. Secara ideal-konseptual, Pancasila adalah ideologi yang kuat, tangguh, kenyal dan bermutu tinggi. Dinamika internal yang terkandung dalam suatu ideologi biasanya mempermantap, mempermapan dan memperkuat relevansi ideologi tersebut dalam masyarakatnya.
Namun hal tersebut tetap bergantung pada kehadiran beberapa faktor di dalamnya yaitu: kualitas nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut; persepsi, sikap, dan tingkah laku masyarakat terhadapnya; kemampuan masyarakat dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang relevan terhadap ideologinya; serta menyangkut seberapa jauh nilai-nilai yang terkandung di dalam ideologi tersebut membudaya dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan berbagai dimensinya.
Perjalanan Pancasila Sebagai Ideologi dari Masa ke Masa
Berawal dari sidang pleno BPUPKI pertama yang diadakan pada tanggal 28 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945. Ketika itu, dr. Radjiman Widyodiningrat dalam pidato pembukaannya selaku ketua BPUPKI mengajukan pertanyaan kepada seluruh anggota sidang mengenai dasar negara apa yang akan dibentuk untuk Indonesia. Pertanyaan ini menjadi persoalan paling dominan sepanjang 29 Mei-1 Juni 1945 dan memunculkan sejumlah pembicara yang mengajukan gagasan mereka mengenai dasar filosofis Indonesia.
Pada tanggal 1 Juni 1945, secara eksplisit Ir. Soekarno mengemukakan gagasannya mengenai dasar negara Indonesia dalam pidatonya yang berjudul “Lahirnya Pancasila”. Menurut Drs. Mohammad Hatta, pidato tersebut bersifat kompromis dan dapat meneduhkan pertentangan tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler. Perdebatan tersebut pada akhirnya dimenangkan kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, terbukti dengan dikeluarkannya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, ternyata beberapa rumusan Piagam Jakarta diganti dan menimbulkan kekecewaan umat Islam terhadap pemerintahan Soekarno dan Mohammad Hatta dan terus berkembang hingga masa pemerintahan Soeharto, sampai-sampai Carol Gluck mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang terlalu banyak meributkan masalah ideologi dibandingkan negara-negara lain. Melihat pada perkembangan perumusan Pancasia sejak 1 Juni sampai 18 Agustus 1945, dapat diketahui bahwa Pancasila mengalami perkembangan fungsi. Pada tanggal 1 dan 22 Juni, Pancasila yang dirumuskan Panitia Sembilan dan disepakati oleh Sidang Pleno BPUPKI merupakan modus kompromi antara kelompok yang memperjuangkan dasar negara nasionalisme dan kelompok yang memperjuangkan dasar negara Islam. Akan tetapi, pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila yang dirumuskan kembali oleh PPKI berkembang menjadi kompromi antara kaum nasionalis, Islam dan Kristen-Katolik dalam hidup bernegara.
Pada era Orde Lama, dinamika perdebatan ideologi paling sering dibicarakan oleh kebanyakan orang. Tampak ketika akhir tahun 1950-an, Pancasila sudah bukan lagi merupakan kompromi atau titik temu bagi semua ideologi. Dikarenakan Pancasila telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk melegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam yang kemudian pada rentang tahun 1948-1962 terjadi pemberontakan Darul Islam terhadap pemerintah pusat. Setelah pemberontakan berhasil ditumpas, atas desakan AH Nasution, selaku Pangkostrad dan kepala staf AD, pada 5 Juli 1959 Ir. Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali pada UUD 1945 sebagai satu-satunya konstitusi legal Republik Indonesia dan pemerintahannya dinamai dengan Demokrasi Terpimpin.
Pada masa Demokrasi Terpimpin pun ternyata tidak semulus yang diharapkan. Periode labil ini justru telah membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dianggap ikut andil dalam pemberontakan regional berideologi Islam. Bahkan, Soekarno membatasi kekuasaan partai politik yang ada serta mengusulkan agar rakyat menolak partai-partai politik karena mereka menentang konsep musyawarah dan mufakat yang terkandung dalam Pancasila. Soekarno juga menganjurkan sebuah konsep yang dikenal dengan NASAKOM yang berarti persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Kepentingan politis dan ideologis yang saling bertentangan menimbulkan struktur politik yang sangat labil sampai pada akhirnya melahirkan peristiwa G 30S/PKI yang berakhir pada runtuhnya kekuasaan Orde Lama.
Selanjutnya pada masa Orde Baru, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru adalah pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Soeharto mengambil Pancasila sebagai dasar negara dan ini merupakan cara yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya. Berbagai bentuk perdebatan ternyata tidak semakin membuat stabilitas negara berjalan dengan baik, tetapi justru struktur politik labil yang semakin mengedepan dikarenakan Soeharto seringkali mengulang pernyataan tegas bahwa perjuangan Orde Baru hanyalah untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, yang berarti bahwa tidak boleh ada yang menafsirkan resmi tentang Pancasila kecuali dari pemerintah yang berkuasa.
Pada masa reformasi (setelah rezim Soeharto runtuh), seolah menandai adanya jaman baru bagi perkembangan perpolitikan nasional sebagai anti-tesis dari Orde Baru yang dianggap menindas dengan konfrimitas ideologinya. Pada era ini timbul keingingan untuk membentuk masyarakat sipil yang demokratis dan berkeadilan sosial tanpa kooptasi penuh dari negara. Lepas kendalinya masyarakat seolah menjadi fenomena awal dari tragedi besar dan konflik berkepanjangan. Tampaknya era ini mengulang problem perdebatan ideologi yang terjadi pada masa Orde Lama, Orde Baru, yang berakhir dengan instabilitas politik dan perekonomian secara mendasar. Berbagai bentuk interpretasi monolitik selama ini cenderung mengaburkan dan menguburkan makna substansial Pancasila dan berakibat pada Pancasila yang menjadi sebuah mitos, selalu dipahami secara politis-ideologis untuk kepentingan kekuasaan serta nilai-nilai dasar Pancasila menjadi nilai yang distopia, bukan sekedar utopia.
Seperti Apakah Reaktualisasi Ideologi Pancasila?
Pancasila jika akan dihidupkan secara serius, maka setidaknya dapat menjadi etos yang mendorong dari belakang atau menarik dari depan akan perlunya aktualisasi maksimal setiap elemen bangsa. Hal tersebut bisas saja terwujud karena Pancasila itu sendiri memuat lima prinsip dasar di dalamnya, yaitu: Kesatuan/Persatuan, kebebasan, persamaan, kepribadian dan prestasi. Kelima prinsip inilah yang merupakan dasar paling sesuai bagi pembangunan sebuah masyarakat, bangsa dan personal-personal di dalamnya.
Menata sebuah negara itu membutuhkan suatu konsensus bersama sebagai alat lalu lintas kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa konsensus tersebut, masyarakat akan memberlakukan hidup bebas tanpa menghiraukan aturan main yang telah disepakati. Ketika Pancasila telah disepakati bersama sebagai sebuah konsensus, maka Pancasila berperan sebagai payung hukum dan tata nilai prinsipil dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Dan sebagai ideologi yang dikenal oleh masyarakat internasional, Pancasila juga mengalami tantangan-tantangan dari pihak luar/asing. Hal ini akan menentukan apakah Pancasila mampu bertahan sebagai ideologi atau berakhir seperti dalam perkiraan David P. Apter dalam pemikirannya “The End of Idiology”. Pancasila merupakan hasil galian dari nilai-nilai sejarah bangsa Indonesia sendiri dan berwujud lima butir mutiara kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu religius monotheis, humanis universal, nasionalis patriotis yang berkesatuan dalam keberagaman, demokrasi dalam musyawarah mufakat dan yang berkeadilan sosial.
Dengan demikian Pancasila bukanlah imitasi dari ideologi negara lain, tetapi mencerminkan nilai amanat penderitaan rakyat dan kejayaan leluhur bangsa. Keampuhan Pancasila sebagai ideologi tergantung pada kesadaran, pemahaman dan pengamalan para pendukungnya. Pancasila selayaknya tetap bertahan sebagai ideologi terbuka yang tidak bersifat doktriner ketat. Nilai dasarnya tetap dipertahankan, namun nilai praktisnya harus bersifat fleksibel. Ketahanan ideologi Pancasila harus menjadi bagian misi bangsa Indonesia dengan keterbukaannya tersebut.
Pada akhirnya, semoga seluruh bangsa dan negara Indonesia serta Pancasila sebagai ideologinya akan tetap bertahan dan tidak goyah meskipun dihantam badai globalisasi dan modernisme. Sebagai generasi penerus, marilah kita menjaga Indonesia dan Pancasila agar saling berdampingan dan tetap utuh hingga anak cucu kita nantinya sebagai penerus kelangsungan negara ini.
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 10:34 PM 2 Comments
Label: Jurnal Kewarganegaraan
Lahirnya Pancasila
Pendahuluan
Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya.
Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Ma'af, beribu ma'af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: "Philosofische grondslag" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan "merdeka". Merdeka buat saya ialah: "political independence", politieke onafhankelijkheid. Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata:
Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan didalam bahasa asing, ma'afkan perkataan ini - "zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil. "Zwaarwichtig" sampai -kata orang Jawa- "njelimet". Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu. Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu. Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi Arabia merdeka! Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan! Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya!
Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai dilobang kubur!
(Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun '33 saya telah menulis satu risalah, Risalah yang bernama "Mencapai Indonesia Merdeka". Maka di dalam risalah tahun '33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam, - in one night only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! Sesudah "jembatan" itu diletakkan oleh Ibn saud, maka diseberang jembatan, artinya kemudian dari pada itu, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade yaitu orang badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, - semuanya diseberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff, dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul keangkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia?
Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio- station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - jikalau tuan-tuan demikian -, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang!
(Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan "INDONESIA MERDEKA SEKARANG". Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!
(Tepuk tangan riuh).
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia merdeka, - kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara -saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam! Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke- rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, sekarangpun kita menerima urusan itu, sekarangpun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang sama, yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.
(Tepuk tangan riuh)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih F.500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu "meja-makan", lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur: kawin. Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara!
(Tepuk tangan, dan tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: kita ini berani merdeka atau tidak?? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka!
(Tepuk tangan riuh).
Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakakan rakyat kita!! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Soviet-Rusia Merdeka Stalin memerdeka-kan hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. "Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka".
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan "jembatan". Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya internationalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationalrecht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahnya, - sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka atau tidak?
(Jawab hadlirin: Mau!)
Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal "merdeka", maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, minta philosophischegrondslag, atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu "Weltanschauung", diatas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu "Weltanschauung". Hitler mendirikan Jermania di atas "national-sozialistische Weltanschauung", - filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu "Weltanschauung", yaitu Marxistische, Historisch- materialistische Weltanschaung. Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu "Weltanschauung", yaitu yang dinamakan "Tennoo Koodoo Seishin". Diatas "Tennoo Koodoo Seishin" inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu "Weltanschauung", bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah "Weltanschauung" kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, "Weltanschauung" ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam "Weltanschauung", bekerja mati-matian untuk me"realiteitkan""Weltanschauung" mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: "Soviet-Rusia didirikan didalam 10 hari oleh Lenin c.s.", - John Reed, di dalam kitabnya:"Ten days that shook the world", "sepuluh hari yang menggoncangkan dunia" -, walaupun Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi "Weltanschauung"nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu diatas "Weltanschauung" yang sudah ada. Dari 1895 "Weltanschauung" itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905, Weltanschauung itu "dicobakan", di "generale-repetitie-kan".
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri "generale-repetitie" dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, "Weltanschaung" itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas "Weltanschauung" yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya "Weltanschauung" itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, "Weltanschauung" ini, dapat menjelma dengan dia punya "Munschener Putsch", tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar"Weltanschauung" yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah "Weltanschauung" kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi "Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku "The three people"s principles" San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru diatas "Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas "Weltanschauung" apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau "Weltanschauung' apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophischegrondslag, mencari satu "Weltanschauung" yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita ber-sama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?
Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi "semua buat semua". Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
Prinsip pertama
Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.
Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan "kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nasionalestaat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah "kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: "le desir d'etre ensemble", yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya "Die Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: "Was ist eine Nation?" dan jawabnya ialah: "Eine Nation ist eine aus chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft". Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: "verouderd", "sudah tua". Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah "verouderd", sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang "Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan "Gemeinschaft"nya dan perasaan orangnya, "l'ame et desir". Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana"kesatuan-kesatuan" disitu. Seorang anak kecilpun, jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai"golfbreker" atau pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup "le desir d'etre ensembles", tidak cukup definisi Otto Bauer "aus schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft" itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa di Indonesia, yang paling ada "desir d'entre ensemble", adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun.
Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah merasa "le desir d"etre ensemble", tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan "le desir d'etre ensemble", tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan "le desir d'etre ensemble" diatas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada "le desir d'etre enemble", sudah terjadi "Charaktergemeinschaft"! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
(Tepuk tangan hebat).
Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan "golongan kebangsaan". Kesinilah kita harus menuju semuanya. Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka dijaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri dijaman Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: KebangsaanIndonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: "Saya tidak mau akan kebangsaan".
TUAN LIM KOEN HIAN : Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
TUAN SOEKARNO : Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya "menschheid", "peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa a d a kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. diSurabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, - katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya "San Min Chu I" atau "The Three People's Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh "The Three People"s Principles" itu.
Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, - sampai masuk kelobang kubur.
(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan).
Saudara-saudara. Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham "Indonesia uber Alles". Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: "Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan "My nationalism is humanity". Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan"Deutschland uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru, "bangsa Aria", yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan "internasionalime". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara "semua buat semua", "satu buat semua, semua buat satu". Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara In-donesia ialah permusyawaratan perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, -- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.
Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibirsaja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, - fair play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta'ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan
Prinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan , prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah diEropah justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah politie-kedemocratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, -- tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. "Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politiek yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: "Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, - sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa".
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan ma-syarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie "vooronderstelt erfelijkheid", - turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu'minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5?
Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
- Kebangsaan Indonesia.
- Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan.
- Mufakat, - atau demukrasi.
- Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada "egoisme-agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
(Tepuk tangan sebagian hadlirin).
Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! "Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pendawa lima).
Pendawapun lima oranya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuktangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu?
Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah "perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie, yaitu politieke demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini.
Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Gotong royong
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus men-dukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - semua buat semua ! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan "gotong-royong". Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!
(Tepuk tangan riuh rendah).
"Gotong Royong" adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari "kekeluargaan", saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama ! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!
(Tepuktangan riuh rendah).
Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Is i n y a telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata'ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah s.w.t.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjoangan!
Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! "De Mensch", -- manusia! --, harus perjoangkan itu. Zonder perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur'an, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationali- teit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, --janganlah lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di-dalam Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan t e r u s, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, -- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya.
Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad "Merdeka, -- merdeka atau mati"!
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-sauadara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap"verschrikkelijk zwaarwichtig" itu. Terima kasih!
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 10:17 PM 0 Comments
Label: Jurnal Kewarganegaraan