Jerman sebagai salah satu negara di Uni Eropa memiliki pengaruh yang besar bagi dunia internasional terutama semenjak pengabaiannya pada Perjanjian Versailles, Perang Dunia 2, hingga menjadi negara yang memiliki pendapatan luar biasa di Eropa. Dalam pelaksanaan geopolitiknya, Jerman semasa Perang Dunia menganut pemikiran Karl Haushofer tentang lebensraum (ruang hidup) ketika pemerintah Deutsche Dritte Reich yang berada berada di bawah kepemimpinan Adolf Hitler dengan partai National Sozialistiche. Teori lebensraum dibawa oleh salah satu murid Haushofer yaitu Rudolf Hess yang kebetulan merupakan orang dekat Hitler. Lebensraum dan cita-cita Hitler untuk membangkitkan kembali The Holy Roman Empire membawa Jerman menjadi negara yang ekspansionis selama Perang Dunia ke-2. Jerman yang menganut sistem negara kerakyatan (folkish state) merasa harus mempertahankan eksistensinya di dunia dan dengan didukung ruang yang besar, maka eksistensi tersebut akan dapat terjamin (Routledge, 1998).
Ekspansi pertama dilancarkan pada negara Polandia pada 1 September 1939 dengan menggunakan blitzkrieg dengan dalih banyak warga negara Jerman yang berada di Polandia. Tak hanya sembarang ekspansi saja, namun rupanya Jerman juga mengincar sasaran lama, yaitu Heartland. Pada waktu itu, Hitler telah berhasil menaklukkan hampir seluruh daratan Eropa, sebelum pada akhirnya pada akhir April 1945, Jerman mengalami kekalahan setelah Berlin dilumpuhkan oleh Tentara Merah Soviet.
Setelah kalah dalam peperangan, angkatan bersenjata Jerman baik Wehrmacht, Luftwaffe serta Kriegsmarine dipangkas oleh tentara Sekutu karena dikhawatirkan akan muncul kembali Nazi baru dan melakukan pengalaman yang sama, mengingat pada saat mengalami kekalahan Perang Dunia I sebelumnya, Jerman nyatanya berhasil membangkitkan kembali Luftwaffe. Jerman kemudian tergabung dengan Uni Eropa pada 1967 dengan membawa label sebagai pihak yang pernah kalah perang dalam Perang Dunia 2 dalam rangka membangun kembali citra Jerman di benua Eropa.
Jerman yang baru lebih memfokuskan diri pada pengembangan ekonomi dalam negeri terutama dalam segi pengembangan teknologi dan industri automobil. Semenjak bergabungnya negara tersebut ke dalam keanggotaan Uni Eropa, Jerman berkomitmen pada program pengintegrasian Uni Eropa yang didasarkan pada keinginan besar untuk dapat berdamai kembali dengan negara-negara yang dulu pernah menjadi musuh Jerman semasa Perang Dunia serta tentunya untuk semakin memacu perkembangan ekonomi dan politiknya. Jerman telah dengan baik menggunakan Uni Eropa sebagai forum utama untuk menempanya menjadi lebih memiliki peranan yang proaktif dalam lingkup internasional. Pada sekitar tahun 1990an, kebijakan luar negeri Jerman selalu berfokus pada integrasi dan pengembangan sayap Uni Eropa (Belkin, 2009).
Kebangkitan Jerman dengan perekonomian yang mengalami booming secara luar biasa sempat membuat Margareth Thatcher terkejut. Hal ini menarik karena Inggris sempat merasa khawatir akan kebangkitan Jerman kembali sehingga Thatcher mengatakan bahwa,”We’ve beaten the Germans twice, and now they’re back.” (www.economist.com) Karena memang dalam waktu yang sangat cepat, Jerman mampu mengembalikan keadaan dirinya yang porak poranda setelah mengalami kekalahan perang menjadi negara yang mapan. Dengan didukung kedisiplinan yang sangat tinggi pada warganya (salah satunya dikarenakan semasa Hitler pemerintahan Jerman dibawah komando militer, sehingga prinsip-prinsip kedisiplinan pun wajib ditanamkan kepada warganya). Kekhawatiran akan kebangkitan Jerman tidak hanya dirasakan oleh Inggris, namun juga dirasakan oleh Polandia pada khususnya. Kebangkitan ekonomi Jerman yang luar biasa seolah membawa kembali trauma Polandia akan penyerangan blitzkrieg tentara Nazi di Danzig.
Selain pengembangan ekonomi, Jerman juga mengutamakan aspek pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri. Pada masa Kanselir Gerhard Schröder, Jerman bekerja sama dengan Vladimir Putin untuk membuat jalur pipa gas baru yang terhubung langsung dengan Rusia. Jalur pipa gas tersebut rencananya akan dibangun di Vyborg, Rusia dan langsung terhubung dengan Greifswald, Jerman melalui Laut Baltik tanpa melalui Polandia terlebih dahulu dengan membawa sekitar 55 milyar m3 gas setiap tahunnya (Engdahl, 2010). Proyek ini dinamai sebagai Nord-Stream Project. Nord-Stream Project sempat membuat Amerika Serikat memiliki kekhawatiran akan kecenderungan eratnya hubungan kerja sama Jerman dengan Rusia. Kekhawatiran semakin besar mengingat Jerman memiliki pengaruh yang besar di Uni Eropa, karena jikalau Jerman memang kemudian menjadi lebih pro-Moscow dan anti-NATO, maka hal tersebut akan dapat menjadi spoiler effect bagi negara-negara Uni Eropa. Amerika Serikat khawatir kerjasama Schröder-Putin kemudian berkembang dan menjadi bentuk kedua Molotov-Ribbentrop Pact. Dan Jerman hingga sekarang pun masih melanjutkan untuk berprioritas pada hubungannya dengan Rusia. Jerman merupakan mitra dagang Rusia yang terbesar dengan tingkat ketergantungan sebesar 40% gas alam Rusia serta sekitar 30% kebutuhan minyak mentah (Belkin, 2009).
Dalam urusan pertahanan dan keamanan di Uni Eropa, salah satu bentuknya ialah Kanselir Angela Merkel memberikan dukungan serta memberikan pengaruh terhadap proses berkembangnya konsep Common Foreign and Security Policy serta European Security and Defense Policy sebagai cara untuk saling menyatukan sumber pertahanan serta bekerja sama dalam melawan ancaman-ancaman keamanan yang muncul (Belkin, 2009). Selama berada di bawah kepemerintahan Merkel, Jerman juga berusaha untuk semakin memperkuat hubungan dagang dengan Amerika Serikat serta saling bekerja sama dalam hal kebijakan perlawanan terhadap terorisme. Kebijakan yang dibuat oleh Angela Merkel ini ditanggapi secara positif oleh pemerintah Amerika Serikat. Beberapa langkah nyata yang diambil oleh Merkel dalam menjalankan komitmennya ialah Jerman tidak hanya berhubungan dagang saja dengan Amerika Serikat, namun juga berkomitmen dalam rangka saling berbagi nilai-nilai demokrasi ke berbagai belahan dunia. Selain itu, melalui keterlibatannya di dalam NATO, Jerman juga pernah membantu Amerika Serikat dalam memerangi usaha terorisme dengan memerangi Taliban dan ‘menguatkan’ kepemerintahan Afghanistan (Belkin, 2009).
Referensi:
Belkin, Paul. (2009). German Foreign and Security Policy: Trends and Transatlantic Implications. Congressional Research Service.
Engdahl, F. William. (2010). Pipeline Geopolitics: The Russia-German Nord Stream Strategic Gas Pipeline. Global Research. http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=20080. Diakses tgl 10 Juni 2011.
Routledge, Paul. et all. (1998). The Geopolitics Reader. London: Routledge.
The Economist. (2010). Germany’s Role in the World: Will Germany Now Take Centre Stage? Its Economy is Booming, But Its Strength Poses New Questions. http://www.economist.com/node/17305755. Diakses tgl 10 Juni 2011.
Senin, September 12, 2011
Geopolitik dan Geostrategi Jerman
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 11:41 PM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Posting Komentar