Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbentuk Republik yang secara astronomis terletak pada 6o Lintang Utara hingga 11o Lintang Selatan dan 95o Bujur Timur hingga 141o Bujur Timur, sehingga beriklim tropis. Wilayah kepulauan ini secara geografis terletak di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, dan di antara Benua Australia dan Benua Asia. Mungkin terkadang kita bertanya-tanya, darimana asal-usul Indonesia?
Wilayah kepulauan Indonesia sebenarnya telah dikenal sejak dahulu dengan berbagai nama. Awalnya sebelum abad ke-20, kepulauan ini hanya dikenal sebagai Ye-Po-Ti oleh penjelajah China yang bernama Fa Hien. Dalam bukunya yang berjudul Fa-Kuo-Chi pada tahun 414, Fa Hien mengungkapkan bahwa di Ye-Po-Ti terdapat suatu kerajaan yang bernama To-Lo-Mo (Tarumanegara). Sumber asing lain mengenal kepulauan ini dengan adanya kerajaan Buddha terbesar yang bernama San-fo-Tsi (Sriwijaya). Berita tentang kerajaan ini dulunya dibawa oleh Pendeta China yang bernama Yi Jing pada tahun 671 dalam bukunya yang berjudul Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan dan Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan. Dalam buku ini, Yi Jing menyebutkan kepulauan Indonesia pada zaman dahulu sebagai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). (Takakusu. 1894).
Sedangkan berdasarkan catatan kuno bangsa India, kepulauan ini dikenal sebagai kepulauan Dwipantara yang berasal dari bahasa Sansekerta Dwipa (pulau) serta Antara (luar, seberang). Kisah Ramayana juga menyertakan keterangan pulau Suwarnadwipa yang terletak dalam kepulauan Dwipantara. Sumber lain menyebutkan bahwa kepulauan ini dinamakan sebagai Nusantara yang juga memiliki makna yang sama dengan Dwipantara. Istilah Dwipantara juga ditemukan dalam buku Pustaka Dwipantara-Parwa yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta pada tahun 1675 dengan rujukan catatan-catatan dari Panembahan Losari. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana keramaian situasi di sekitar perairan Dwipantara (yang diperkirakan berbentuk kepulauan yang terbentang mulai dari Srilanka hingga kepulauan Nusantara), mengingat di situ merupakan tempat perniagaan antar negeri. (Wangsakerta. 1675).
Sedangkan bangsa Eropa, menyebut kepulauan ini sebagai Hindia Timur (Oost-Indie), hal ini juga merujuk pada organisasi perdagangan Belanda yang dinamakan Vereenigde Oost-Indische Compagnie yang menyertakan wilayah Oost-Indische sebagai wilayah operasionalnya. Kemudian ketika dijadikan unit politik di bawah pemerintahan penjajah Belanda, kepulauan ini dinamai sebagai Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda) sebagai nama resmi. Setelah itu, Edward Douwes Dekker / Multatuli dalam bukunya Max Havelaar Of De Koffij-Veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij mengganti nama Nederlandsch-Indie menjadi Insulinde yang terdiri dari kata Insula yang berarti pulau dan Indie yang berarti Hindia. Multatuli tidak mau menggunakan nama Nederlandsch-Indie mengingat kekejaman yang dilakukan pemerintah Belanda, terutama pada saat pemberlakuan sistem cultuur-stelsel yang diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch kepada kaum bumiputra (rakyat jelata) dengan menyisihkan 20% tanah dari setiap desa untuk ditanami komoditi ekspor, terutama tanaman kopi. (Hooghe. 2004).
Pada tahun 1850, George Samuel Windsor Earl menginginkan nama khas untuk membedakan Kepulauan Hindia dengan India, yaitu antara Indunesia atau Melayunesia. Pada tahun yang sama, James Richardson Logan memungut istilah Indunesia milik Earl, namun kemudian diganti menjadi Indonesia. (Elson. 2008). Adolf Bastian pada tahun 1884 kemudian menggunakan terminologi Indonesia pada lima volume karyanya yaitu Indonesien Oder die Inseln des Malayischen Archipel.
Istilah Indonesia ini kemudian digunakan oleh Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar Dewantoro), ketika beliau tergabung dalam Indische Vereeniging dan menjadi pemimpin redaktur majalah Hindia Poetra. Istilah Indonesia juga dipergunakan Mohammad Hatta ketika sedang menyelesaikan studinya di Handels Hoogeschool pada tahun 1923. Mohammad Hatta mengganti nama Indische Vereeniging yang telah berdiri sejak tahun 1908 sebagai organisasi pelajar Nederlandsch-Indie di Belanda menjadi Indonesische Vereeniging serta mengganti nama majalah Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka. Berkenaan dengan alasan pergantian nama Nederlandsch-Indie menjadi Indonesia ditegaskan oleh Bung Hatta melalui salah satu tulisannya di Gedenkboek ialah bahwa, “Negara Indonesia Merdeka pada masa yang akan datang (de Toekomstige Vrije Indonesische Staat) mustahil nantinya disebut Nederlandsch-Indie. Juga mustahil disebut Indie saja, sebab akan menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami, nama Indonesia menyatakan tujuan politik, karena melambangkan serta mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya, Indonesier akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.” (Swasono. 1980).
Sebenarnya hal yang terpenting tidak hanya apa namanya, namun juga makna apa yang terkandung dalam setiap nama yang digagas. Tentunya para penggagas Indonesia menginginkan suatu pengharapan yang besar pada bangsa ini, seperti ibarat musafir yang mengharapkan oase di tengah gurun pasir. Terlihat pada cita-cita Hatta dan Soekarno yang melihat Indonesia sebagai bangsa yang terus berjuang, bangsa yang memiliki persatuan dan kesatuan yang kokoh, bangsa yang bernasionalisme tinggi, bangsa yang memiliki masa depan gemilang serta bangsa yang tidak lagi dijajah. Karena itulah, kemudian Indonesia membawa semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa yang diambil dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. KARENA INDONESIA ITU BERAGAM, KARENA INDONESIA ITU KAYA, KARENA INDONESIA ITU SATU.
Referensi:
Elson, R. E. (2008). Asal-Usul Ggasan Indonesia, dalam The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Serambi.
Hooghe, Marc D (ed). (2004). Max Havelaar Of De Koffij-Veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij door Multatuli. Nederlands.
Swasono, Meutia Farida. (1980). Bung Hatta Pribadinya Dalam Kenangan. Jakarta: Sinar Agepe Press.
Takakusu, Junjiro. (1896). A record of the Buddhist Religion as Practised in India and The Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing. London: Oxford University Press.
Wangsakerta, Pangeran. (1675). Pustaka Dwipantara-Parwa. Cirebon.
Rabu, Maret 16, 2011
What Is Indonesia : Gagasan Tiap Nama Indonesia
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 4:26 PM 0 Comments
Kamis, Maret 10, 2011
Imperialisme Kontemporer ASEAN Tinjauan Pada ASEAN-China Free Trade Area
ASEAN atau Association of South-East Asian Nations merupakan suatu lembaga yang beranggotakan negara-negara kawasan Asia Tenggara. Pembentukan lembaga ini awalnya dikarenakan oleh berbagai perihal, salah satunya adalah kesamaan nasib negara pendiri ASEAN sebagai negara yang pernah dijajah. Pada masa itu, imperialisme yang terlihat mungkin masih berupa pemaksaan ideologi dari negara penjajah dan lain-lain. Dalam masa kontemporer ini, bentuk imperialisme di negara-negara anggota ASEAN tidak lagi pada pemaksaan ideologi dari negara lain. Permasalahannya justru semakin samar-samar dan tidak banyak orang yang menyadarinya, kami ambil contoh pada poin ASEAN-China Free Trade Area. Adam Smith sebagai pelopor perdagangan bebas berpendapat bahwa motif manusia akan mengikuti watak dasarnya yang cenderung egois, sedang dalam kompetisi perdagangan bebas bertujuan untuk menguntungkan seluruh masyarakat dengan memaksa harga agar tetap rendah dan tetap membangun insentif dalam barang dan jasa. (Cannan. 1904). Konsep perdagangan bebas ini diharapkan oleh Smith dapat meminimalisir monopoli negara yang dianggap justru terlalu banyak ikut campur dalam proses ekonomi dan ekspansi industri, salah satunya dengan penentuan harga tarif. Namun yang kemudian perlu dipertanyakan adalah benarkah dengan perdagangan bebas tersebut dapat melahirkan kemakmuran bagi umat manusia, terutama pada negara berkembang? Ataukah justru menghasilkan suatu bentuk imperialisme model baru?
Pada kenyataannya, konsep perdagangan bebas ini masih belum terlalu dapat memajukan negara berkembang dan hanya menguntungkan negara maju untuk memperluas pangsa pasarnya, bahkan dapat mematikan industri domestik negara-negara tersebut. Dalam kasus ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), sudah tentu ini merupakan misi besar bagi China untuk memperluas jangkauan tangannya. Bagi Indonesia sendiri misalnya, ketika persetujuan ini disepakati di Bandar Seri Begawan pada 6 November 2001 silam, diharapkan dapat menghasilkan beberapa manfaat, diantaranya pertama, penurunan dan penghapusan tarif serta hambatan non tarif di China membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia tersebut. Kedua, penciptaan investasi yang kompetitif dan terbuka membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dari China. Ketiga, peningkatan kerja sama ekonomi dalam lingkup yang lebih luas membantu Indonesia melakukan peningkatan capacity building, technology transfer dan managerial capability. (www.okezone.com).
Tapi apakah hal tersebut benar-benar dapat dicapai dan bermanfaat besar bagi Indonesia? David Ricardo pada tahun 1817 mungkin pernah mengusulkan suatu perdagangan bebas dengan memperhatikan comparative advantage antar negara dalam menghasilkan komoditas tertentu sehingga dapat saling melengkapi satu sama lain. (Lindert & Kindleberger. 1983). Mungkin jika secara teoritis, hal itu bisa saja terjadi dan menguntungkan, namun benarkah kenyataannya demikian? Kenyataannya, negara asing seperti China misalnya, yang menjual barangnya di negara lain justru dilakukan pada semua komoditas. Dalam kehidupan sehari-hari saja misalnya, sudah banyak sekali produk China yang justru lebih “familiar” daripada barang domestik buatan anak bangsa sendiri, mulai dari barang elektronik, kendaraan, makanan dan masih banyak lagi. Hal ini pun terjadi pada negara-negara ASEAN, yang rata-rata merupakan negara berkembang. Jika perdagangan bebas ini terus diperjuangkan, kebijakan tarif dan bea impor dihapuskan, sedang perekonomian masih belum dapat berkembang pesat dan industri domestik masih kalah saing dengan produk asing, bukankah ini justru akan memperburuk kondisi domestik? Lantas dimana letak tujuan awal perdagangan bebas yang dapat membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia?
Jika kebijakan tarif dan bea impor dihapuskan, banyak negara berkembang yang akan mengalami kerugian karena barang asing yang masuk dapat mengalahkan barang domestik. Berbagai sektor industri, khususnya manufaktur, dipastikan akan terpukul mundur dengan kesepakatan area perdagangan bebas tersebut. Menurut Dirjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan Anwar Suprijadi, pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas (FTA) berpotensi menurunkan penerimaan negara (potential loss) dari kepabeanan hingga mencapai sekitar Rp 15 triliun. Ini tentu akan memaksa penyesuaian anggaran APBN. (http://bisniskeuangan.kompas.com). Pada akhirnya banyak industri lokal yang gulung tikar dan memperparah tingkat pengangguran. Sedangkan negara maju dapat memperoleh keuntungan besar-besaran dengan perdagangan bebas tanpa harus dikenai tarif maupun bea impor, apalagi ditambah dengan adanya Transnational Corporations yang dapat berpindah kemana-mana. Ironis ketika pada tanggal 8 kemarin, kami sempat melihat sekilas berita dengan wacana “Indonesia Kaya Akan Minyak, namun Mengalami Kelangkaan BBM”. Hal tersebut juga tak lepas dari peranan pihak asing yang ‘menancapkan’ kuku imperialisme baru dengan terus mengeksplor kekayaan alam melalui perusahaan-perusahaan trans-nasional di seluruh ASEAN. Sulit rasanya jika negara ini harus ikut perdagangan bebas seperti yang digagas negara maju dengan tanpa intervensi pemerintah, mengingat selera masyarakat terhadap produk domestik masih sangat rendah. Dari situlah, timbul pertanyaan kepada negara kita sendiri, ”Sudah benar-benar siapkah negara kita?”
Referensi:
Adam, Latif. (2009). FTA ASEAN-Cina, Sebuah Dilema. OkeZone.com. http://economy.okezone.com/read/2009/12/22/279/287131/279/fta-asean-china-sebuah-dilema. diakses tgl 9 Maret 2011.
Cannan, Edwin (ed). (1904). An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nations by Adam Smith. London: Methuen & Co. Ltd.
Kompas.com. (2009). Akibat Perdagangan Bebas, Penerimaan Negara Hilang Rp 15 Triliun.http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/12/16/1526036/akibat.perdagangan.bebas.penerimaan.negara.hilang.rp.15.triliun diakses tgl 9 Maret 2011.
Lindert, P. H. dan Kindleberger, C.P. (1983). International Economics 7th Edition. Jakarta: Erlangga.
Dicorat-coret oleh: Reinhardt Klauss Jam: 5:14 AM 0 Comments