CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, September 12, 2011

Geopolitik dan Geostrategi Pakistan Terhadap Afghanistan

Pakistan dianggap penting secara geopolitik oleh negara-negara kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan. Peristiwa seperti konflik Kashmir dan bahaya selanjutnya mengenai senjata nuklir Pakistan, membawa pengaruh ancaman bagi negara-negara di sekitarnya. Kepemimpinan Pakistan sendiri didominasi secara langsung oleh militer, terutama ketika Jenderal Pervez Musharraf berkuasa melalui kudeta yang dilancarkan pada 12 Oktober 1999. Kudeta tersebut dipicu oleh sikap Perdana Menteri Nawaz Sharif yang berusaha untuk memberhentikan Musharraf dari jabatannya sebagai Jenderal Bintang 4 dan melantik Direktur Inter-Service Intelligence Ziauddin Butt untuk menggantikan posisinya. Dominasi militer sebenarnya tidak hanya bertonggak pada pemberontakan tersebut, jika dilihat ke belakang melalui fakta sejarah, pentingnya kekuatan militer Pakistan berakar pada situasi yang sulit semenjak kemerdekaannya pada 1947 serta konfliknya dengan India di daerah Kashmir.

Berkenaan dengan hubungan Afghanistan dan Pakistan, kedua negara tersebut memiliki hubungan yang tidak terlalu baik. Pada September 1947, Afghanistan menjadi satu-satunya negara di dunia yang menolak masuknya Pakistan menjadi salah satu anggota PBB (Siddiqi, 2008). Hal ini tentu saja dirasa sangat menyakitkan bagi Pakistan sebagai negara yang juga sama-sama menganut paham muslim dengan Afghanistan di samping permasalahannya dengan India pada waktu itu. Keadaan tersebut juga menempatkan para pemimpin Pakistan pada situasi kekhawatiran yang kompleks akan posisi geografisnya yang dikelilingi oleh musuh di berbagai sisi. India di sebelah timur Pakistan, Afghanistan di sebelah barat laut Pakistan. Pada tahun yang sama, Pakistan juga mengalami konfrontasi klaim teritorial dari Afghanistan berkenaan dengan bagian propinsi barat lautnya. Afghanistan dengan mayoritas kaum Pashtun-nya sama sekali tidak menyetujui Duran Line bentukan Inggris sebagai pemisah area tersebut yang juga didiami oleh penduduk Pashtun (Kreft, 2008).
Pada sekitar tahun 1979, Pakistan kemudian mengalami situasi dimana negara tersebut ditempatkan pada garis depan Perang Dingin ketika Soviet dengan paham komunisnya mulai menginvasi Afghanistan. Pada waktu itu, Pakistan mendapatkan dukungan militer Amerika yang luas dan Inter-Service Intelligence Pakistan melatih para anggota mujahidin untuk perjuangan mereka melawan Soviet di Afghanistan (Siddiqi, 2008). Sejak saat itu, Pakistan memiliki pengaruh yang besar bagi sekutu Barat nya terutama ketika Amerika Serikat menyadari bahwa Karachi digunakan Afghanistan sebagai penghubungnya dengan pasar internasional mengingat Afghanistan secara geografis tidak memiliki wilayah laut. Tentu hal ini merupakan ancaman bagi Amerika Serikat sehingga melakukan pengawasan secara terus menerus pada Pakistan dengan didorong oleh perasaan khawatir pengaruh komunisme akan semakin kuat untuk memasuki Pakistan mengingat secara geografis Pakistan berbatasan langsung dengan Republik Rakyat China dan disamping Afghanistan yang juga sedang diinvasi oleh Soviet menggunakan Karachi sebagai penghubungnya dengan pasar internasional.

Pada perkembangannya, kehadiran Amerika Serikat semakin penting bagi Pakistan dalam hal geostrategis, terutama semenjak peristiwa 9/11 ketika Amerika Serikat menuduh kelompok Al-Qaeda di Afghanistan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan gedung WTC dan Pentagon. Penuduhan tersebut kemudian membawa Pakistan pada posisi mendukung Amerika Serikat dalam memerangi kelompok teroris di Afghanistan. Pakistan membantu Amerika Serikat dengan fasilitas dan basis-basis militer sebagaimana yang diperlukan intelijen dalam rangka memenangkan perang di Afghanistan dengan cepat. Namun, kurangnya jumlah pasukan darat ternyata hanya mampu memecah Taliban serta Al-Qaeda menjadi berbagai unsur saja, tanpa memusnahkannya. Banyak dari kalangan tersebut yang kemudian melarikan diri ke pegunungan-pegunugan terjal di Afghanistan serta tribal areas di Pakistan (Siddiqi, 2008). Di samping itu, kehadiran tentara Amerika Serikat menjadi penting karena para strategis Pakistan menakutkan adanya aliansi baru antara Kabul dan Delhi. Itulah mengapa kepemimpinan Pakistan merasa sangat khawatir dengan fakta bahwa India telah membentuk sejumlah besar konsulat di Afghanistan, khususnya dekat dengan perbatasan Pakistan.

Hubungan antara Pakistan dan Afghanistan sampai saat ini pun ditandai dengan rasa saling tidak percaya yang mendalam di kedua belah pihak. Rasa tidak percaya tersebut terutama muncul dari Afghanistan, dimana pemerintahan Karzai menuduh Pakistan telah memperbolehkan Taliban untuk berkumpul kembali setelah kekalahan mereka dan pelarian diri mereka ke Pakistan serta kegagalan Pakistan dalam hal mencegah kelompok tersebut memasuki wilayah Afghanistan (Kreft, 2008). Daerah yang digunakan kelompok Taliban baru sebagai tempat berlindung dan rute suplai terutama berada di Federally Administered Tribal Areas (FATA), yang berada di sepanjang perbatasan Pakistan-Afghanistan. Tuduhan tersebut kemudian semakin mencuat dan berujung pada konflik terutama ketika para protester di Kabul menjarah kantor kedutaan Pakistan.

Tuduhan tersebut membuat Pakistan juga mengalami tekanan dalam rangka menolak suaka pada kelompok Taliban di tahun 2002-2003. Pada tahun itu, Amerika Serikat melalui Mayor Steve Clutter sebagai juru bicara militer menerapkan kebijakan hot pursuit dengan meminta hak untuk dapat mengejar para pejuang Taliban dan Al-Qaeda dari Afghanistan yang melarikan diri ke Pakistan tanpa ijin pemerintah setempat (Siddiqi, 2008). Sedangkan pada tahun 2006, hubungan antara Afghanistan dengan Pakistan semakin memburuk tajam. Pada periode ini, para pemberontak Taliban telah mengumpulkan kekuatan kembali, dan dengan berbekal daftar nama-nama serta alamat para pemimpin Taliban yang diduga tinggal di Pakistan, Afghanistan lagi-lagi menuduh Pakistan-lah yang mendukung gerakan pemberontak tersebut serta memberikan perlindungan kepada para pemimpin Taliban di alamat tersebut.

Semenjak pengunduran diri Musharraf pada tanggal 18 Agustus 2008 akibat tekanan impeachment dari pemerintah koalisi Pakistan People’s Party, Pakistan mengalami perubahan geopolitik yang besar. Semasa pemerintahan Musharraf, Pakistan dikenal memiliki kemampuan tentara yang kuat baik secara langsung dalam hal memerintah negara maupun dalam rangka mempertahankan pengawasan atas administrasi sipil. Kejatuhan pemerintahan Musharraf mengakibatkan tentara tidak lagi ditempatkan pada posisi step-in and impose order (Bokhari, 2008). Kepemerintahan yang baru menganggap posisi tentara yang demikian hanya akan mengakibatkan ketidakstabilan negara, sehingga kepemerintahan sebaiknya dipegang oleh kalangan sipil. Namun, semenjak lembaga sipil Pakistan secara historis tidak pernah benar-benar berfungsi secara baik memunculkan keraguan serius akan kelangsungan hidup Pakistan baru yang demokratis. Selain itu, posisi geografis Pakistan yang diapit oleh musuh serta peran tentara yang semakin dipersempit semakin membuat kekhawatiran akan stabilitas negara yang terancam.

Referensi:

Bokhari, Kamran. (2008). Pakistan Geopolitics: The Implications of Musharraf's Resignation. STRATFOR Global Intelligence. www.stratfor.com

Kreft, Heinrich. (2008). The Geopolitical Importance of Pakistan: A Country Caught between Threat of “Talibanisation” and the Return to Democracy. Berlin: Institut für Strategie-Politik-Sicherheits-und Wirtschaftsberatung.

Siddiqi, Shibil. (2008). Afghanistan-Pakistan Relations: History and Geopolitics in a Regional and International Context. Walter and Duncan Gordon Foundation.

0 Comments: