CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Rabu, Maret 16, 2011

What Is Indonesia : Gagasan Tiap Nama Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbentuk Republik yang secara astronomis terletak pada 6o Lintang Utara hingga 11o Lintang Selatan dan 95o Bujur Timur hingga 141o Bujur Timur, sehingga beriklim tropis. Wilayah kepulauan ini secara geografis terletak di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, dan di antara Benua Australia dan Benua Asia. Mungkin terkadang kita bertanya-tanya, darimana asal-usul Indonesia?

Wilayah kepulauan Indonesia sebenarnya telah dikenal sejak dahulu dengan berbagai nama. Awalnya sebelum abad ke-20, kepulauan ini hanya dikenal sebagai Ye-Po-Ti oleh penjelajah China yang bernama Fa Hien. Dalam bukunya yang berjudul Fa-Kuo-Chi pada tahun 414, Fa Hien mengungkapkan bahwa di Ye-Po-Ti terdapat suatu kerajaan yang bernama To-Lo-Mo (Tarumanegara). Sumber asing lain mengenal kepulauan ini dengan adanya kerajaan Buddha terbesar yang bernama San-fo-Tsi (Sriwijaya). Berita tentang kerajaan ini dulunya dibawa oleh Pendeta China yang bernama Yi Jing pada tahun 671 dalam bukunya yang berjudul Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan dan Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan. Dalam buku ini, Yi Jing menyebutkan kepulauan Indonesia pada zaman dahulu sebagai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). (Takakusu. 1894).

Sedangkan berdasarkan catatan kuno bangsa India, kepulauan ini dikenal sebagai kepulauan Dwipantara yang berasal dari bahasa Sansekerta Dwipa (pulau) serta Antara (luar, seberang). Kisah Ramayana juga menyertakan keterangan pulau Suwarnadwipa yang terletak dalam kepulauan Dwipantara. Sumber lain menyebutkan bahwa kepulauan ini dinamakan sebagai Nusantara yang juga memiliki makna yang sama dengan Dwipantara. Istilah Dwipantara juga ditemukan dalam buku Pustaka Dwipantara-Parwa yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta pada tahun 1675 dengan rujukan catatan-catatan dari Panembahan Losari. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana keramaian situasi di sekitar perairan Dwipantara (yang diperkirakan berbentuk kepulauan yang terbentang mulai dari Srilanka hingga kepulauan Nusantara), mengingat di situ merupakan tempat perniagaan antar negeri. (Wangsakerta. 1675).

Sedangkan bangsa Eropa, menyebut kepulauan ini sebagai Hindia Timur (Oost-Indie), hal ini juga merujuk pada organisasi perdagangan Belanda yang dinamakan Vereenigde Oost-Indische Compagnie yang menyertakan wilayah Oost-Indische sebagai wilayah operasionalnya. Kemudian ketika dijadikan unit politik di bawah pemerintahan penjajah Belanda, kepulauan ini dinamai sebagai Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda) sebagai nama resmi. Setelah itu, Edward Douwes Dekker / Multatuli dalam bukunya Max Havelaar Of De Koffij-Veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij mengganti nama Nederlandsch-Indie menjadi Insulinde yang terdiri dari kata Insula yang berarti pulau dan Indie yang berarti Hindia. Multatuli tidak mau menggunakan nama Nederlandsch-Indie mengingat kekejaman yang dilakukan pemerintah Belanda, terutama pada saat pemberlakuan sistem cultuur-stelsel yang diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch kepada kaum bumiputra (rakyat jelata) dengan menyisihkan 20% tanah dari setiap desa untuk ditanami komoditi ekspor, terutama tanaman kopi. (Hooghe. 2004).

Pada tahun 1850, George Samuel Windsor Earl menginginkan nama khas untuk membedakan Kepulauan Hindia dengan India, yaitu antara Indunesia atau Melayunesia. Pada tahun yang sama, James Richardson Logan memungut istilah Indunesia milik Earl, namun kemudian diganti menjadi Indonesia. (Elson. 2008). Adolf Bastian pada tahun 1884 kemudian menggunakan terminologi Indonesia pada lima volume karyanya yaitu Indonesien Oder die Inseln des Malayischen Archipel.

Istilah Indonesia ini kemudian digunakan oleh Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar Dewantoro), ketika beliau tergabung dalam Indische Vereeniging dan menjadi pemimpin redaktur majalah Hindia Poetra. Istilah Indonesia juga dipergunakan Mohammad Hatta ketika sedang menyelesaikan studinya di Handels Hoogeschool pada tahun 1923. Mohammad Hatta mengganti nama Indische Vereeniging yang telah berdiri sejak tahun 1908 sebagai organisasi pelajar Nederlandsch-Indie di Belanda menjadi Indonesische Vereeniging serta mengganti nama majalah Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka. Berkenaan dengan alasan pergantian nama Nederlandsch-Indie menjadi Indonesia ditegaskan oleh Bung Hatta melalui salah satu tulisannya di Gedenkboek ialah bahwa, “Negara Indonesia Merdeka pada masa yang akan datang (de Toekomstige Vrije Indonesische Staat) mustahil nantinya disebut Nederlandsch-Indie. Juga mustahil disebut Indie saja, sebab akan menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami, nama Indonesia menyatakan tujuan politik, karena melambangkan serta mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya, Indonesier akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.” (Swasono. 1980).

Sebenarnya hal yang terpenting tidak hanya apa namanya, namun juga makna apa yang terkandung dalam setiap nama yang digagas. Tentunya para penggagas Indonesia menginginkan suatu pengharapan yang besar pada bangsa ini, seperti ibarat musafir yang mengharapkan oase di tengah gurun pasir. Terlihat pada cita-cita Hatta dan Soekarno yang melihat Indonesia sebagai bangsa yang terus berjuang, bangsa yang memiliki persatuan dan kesatuan yang kokoh, bangsa yang bernasionalisme tinggi, bangsa yang memiliki masa depan gemilang serta bangsa yang tidak lagi dijajah. Karena itulah, kemudian Indonesia membawa semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa yang diambil dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. KARENA INDONESIA ITU BERAGAM, KARENA INDONESIA ITU KAYA, KARENA INDONESIA ITU SATU.

Referensi:

Elson, R. E. (2008). Asal-Usul Ggasan Indonesia, dalam The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Serambi.

Hooghe, Marc D (ed). (2004). Max Havelaar Of De Koffij-Veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij door Multatuli. Nederlands.

Swasono, Meutia Farida. (1980). Bung Hatta Pribadinya Dalam Kenangan. Jakarta: Sinar Agepe Press.

Takakusu, Junjiro. (1896). A record of the Buddhist Religion as Practised in India and The Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing. London: Oxford University Press.

Wangsakerta, Pangeran. (1675). Pustaka Dwipantara-Parwa. Cirebon.

0 Comments: