CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Kamis, Maret 10, 2011

Imperialisme Kontemporer ASEAN Tinjauan Pada ASEAN-China Free Trade Area

ASEAN atau Association of South-East Asian Nations merupakan suatu lembaga yang beranggotakan negara-negara kawasan Asia Tenggara. Pembentukan lembaga ini awalnya dikarenakan oleh berbagai perihal, salah satunya adalah kesamaan nasib negara pendiri ASEAN sebagai negara yang pernah dijajah. Pada masa itu, imperialisme yang terlihat mungkin masih berupa pemaksaan ideologi dari negara penjajah dan lain-lain. Dalam masa kontemporer ini, bentuk imperialisme di negara-negara anggota ASEAN tidak lagi pada pemaksaan ideologi dari negara lain. Permasalahannya justru semakin samar-samar dan tidak banyak orang yang menyadarinya, kami ambil contoh pada poin ASEAN-China Free Trade Area. Adam Smith sebagai pelopor perdagangan bebas berpendapat bahwa motif manusia akan mengikuti watak dasarnya yang cenderung egois, sedang dalam kompetisi perdagangan bebas bertujuan untuk menguntungkan seluruh masyarakat dengan memaksa harga agar tetap rendah dan tetap membangun insentif dalam barang dan jasa. (Cannan. 1904). Konsep perdagangan bebas ini diharapkan oleh Smith dapat meminimalisir monopoli negara yang dianggap justru terlalu banyak ikut campur dalam proses ekonomi dan ekspansi industri, salah satunya dengan penentuan harga tarif. Namun yang kemudian perlu dipertanyakan adalah benarkah dengan perdagangan bebas tersebut dapat melahirkan kemakmuran bagi umat manusia, terutama pada negara berkembang? Ataukah justru menghasilkan suatu bentuk imperialisme model baru?

Pada kenyataannya, konsep perdagangan bebas ini masih belum terlalu dapat memajukan negara berkembang dan hanya menguntungkan negara maju untuk memperluas pangsa pasarnya, bahkan dapat mematikan industri domestik negara-negara tersebut. Dalam kasus ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), sudah tentu ini merupakan misi besar bagi China untuk memperluas jangkauan tangannya. Bagi Indonesia sendiri misalnya, ketika persetujuan ini disepakati di Bandar Seri Begawan pada 6 November 2001 silam, diharapkan dapat menghasilkan beberapa manfaat, diantaranya pertama, penurunan dan penghapusan tarif serta hambatan non tarif di China membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia tersebut. Kedua, penciptaan investasi yang kompetitif dan terbuka membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dari China. Ketiga, peningkatan kerja sama ekonomi dalam lingkup yang lebih luas membantu Indonesia melakukan peningkatan capacity building, technology transfer dan managerial capability. (www.okezone.com).

Tapi apakah hal tersebut benar-benar dapat dicapai dan bermanfaat besar bagi Indonesia? David Ricardo pada tahun 1817 mungkin pernah mengusulkan suatu perdagangan bebas dengan memperhatikan comparative advantage antar negara dalam menghasilkan komoditas tertentu sehingga dapat saling melengkapi satu sama lain. (Lindert & Kindleberger. 1983). Mungkin jika secara teoritis, hal itu bisa saja terjadi dan menguntungkan, namun benarkah kenyataannya demikian? Kenyataannya, negara asing seperti China misalnya, yang menjual barangnya di negara lain justru dilakukan pada semua komoditas. Dalam kehidupan sehari-hari saja misalnya, sudah banyak sekali produk China yang justru lebih “familiar” daripada barang domestik buatan anak bangsa sendiri, mulai dari barang elektronik, kendaraan, makanan dan masih banyak lagi. Hal ini pun terjadi pada negara-negara ASEAN, yang rata-rata merupakan negara berkembang. Jika perdagangan bebas ini terus diperjuangkan, kebijakan tarif dan bea impor dihapuskan, sedang perekonomian masih belum dapat berkembang pesat dan industri domestik masih kalah saing dengan produk asing, bukankah ini justru akan memperburuk kondisi domestik? Lantas dimana letak tujuan awal perdagangan bebas yang dapat membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia?

Jika kebijakan tarif dan bea impor dihapuskan, banyak negara berkembang yang akan mengalami kerugian karena barang asing yang masuk dapat mengalahkan barang domestik. Berbagai sektor industri, khususnya manufaktur, dipastikan akan terpukul mundur dengan kesepakatan area perdagangan bebas tersebut. Menurut Dirjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan Anwar Suprijadi, pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas (FTA) berpotensi menurunkan penerimaan negara (potential loss) dari kepabeanan hingga mencapai sekitar Rp 15 triliun. Ini tentu akan memaksa penyesuaian anggaran APBN. (http://bisniskeuangan.kompas.com). Pada akhirnya banyak industri lokal yang gulung tikar dan memperparah tingkat pengangguran. Sedangkan negara maju dapat memperoleh keuntungan besar-besaran dengan perdagangan bebas tanpa harus dikenai tarif maupun bea impor, apalagi ditambah dengan adanya Transnational Corporations yang dapat berpindah kemana-mana. Ironis ketika pada tanggal 8 kemarin, kami sempat melihat sekilas berita dengan wacana “Indonesia Kaya Akan Minyak, namun Mengalami Kelangkaan BBM”. Hal tersebut juga tak lepas dari peranan pihak asing yang ‘menancapkan’ kuku imperialisme baru dengan terus mengeksplor kekayaan alam melalui perusahaan-perusahaan trans-nasional di seluruh ASEAN. Sulit rasanya jika negara ini harus ikut perdagangan bebas seperti yang digagas negara maju dengan tanpa intervensi pemerintah, mengingat selera masyarakat terhadap produk domestik masih sangat rendah. Dari situlah, timbul pertanyaan kepada negara kita sendiri, ”Sudah benar-benar siapkah negara kita?”

Referensi:

Adam, Latif. (2009). FTA ASEAN-Cina, Sebuah Dilema. OkeZone.com. http://economy.okezone.com/read/2009/12/22/279/287131/279/fta-asean-china-sebuah-dilema. diakses tgl 9 Maret 2011.

Cannan, Edwin (ed). (1904). An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nations by Adam Smith. London: Methuen & Co. Ltd.

Kompas.com. (2009). Akibat Perdagangan Bebas, Penerimaan Negara Hilang Rp 15 Triliun.http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/12/16/1526036/akibat.perdagangan.bebas.penerimaan.negara.hilang.rp.15.triliun diakses tgl 9 Maret 2011.

Lindert, P. H. dan Kindleberger, C.P. (1983). International Economics 7th Edition. Jakarta: Erlangga.

0 Comments: