CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Minggu, Juni 13, 2010

Liberalisme & Neo-Liberalisme

LIBERALISME
Liberalisme memiliki asumsi dasar yang sangat berlawanan dengan realisme. Jika kaum realis berasumsi bahwa manusia pada dasarnya ialah makhluk yang buruk (perangainya) dan selalu pesimistis, maka kaum liberalis cenderung optimistis. Ketika realisme memandang bahwa negara sewaktu-waktu bisa menjatuhkan negara lain yang kemudian memunculkan kekhawatiran-kekhawatiran tertentu, liberalisme lebih memandang bagaimana agar dapat hidup dalam dunia yang lebih damai dan dapat bekerja sama dengan baik. (Jackson & Sorensen.1999). Jadi dapat dilihat bahwa hubungan antar negara dapat lebih bersifat kooperatif daripada konfliktual. Segala permasalahan masih bisa diselesaikan dengan cara damai, dengan pertimbangan kehidupan warga negara. Dengan kata lain, agenda utama kaum liberalis ialah mencapai kesejahteraan dan perdamaian dunia.

Menurut Immanuel Kant, perdamaian bisa bersifat abadi. Hukum alam mengatur keselarasan dan kerja sama antar manusia. Dengan keyakinan akan kekuatan akal manusia, kaum liberal selalu optimis bahwa perang bisa dihapuskan dari kehidupan manusia. Kant menginginkan sebuah perdamaian dunia dimana terdapat negara-negara yang bebas, namun bukan berarti dapat bebas seluas-luasnya, melainkan bebas dengan tetap ada aturan hukum sebagai pengontrolnya. Kaum liberal menganggap bahwa perang merupakan suatu alat yang digunakan oleh pemerintah militeris dan non-demokratis demi kepentingan pribadi mereka untuk memperluas wilayah, sementara rakyat pada dasarnya pecinta damai dan terlibat konflik semata-mata dikarenakan oleh sikap penguasa. (Burchill & Linklater.1996)

Ditinjau dari segi ekonomi, paham liberalisme ekonomi muncul berdasarkan pemikiran Adam Smith dan David Ricardo, seorang tokoh liberalis klasik abad 19 yang menyatakan bahwa pada saatnya nanti keuntungan akan dapat diperoleh secara maksimal oleh semua pihak apabila pasar dibiarkan saja bekerja dalam permainan ekonomi secara bebas dan tanpa campur tangan pemerintah. Dalam hal ini, negara berfungsi sebagai pelindung pasar. Karena pasar dilihat sebagai alat yang sangat efisien dalam mengatur produksi dan pertukaran yang dilakukan manusia. (Steans & Pettiford.2009)

Para liberalis dapat melakukan inovasi dan pengembangan karena kaum liberalis diberi kebebasan seluas-luasnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta keyakinan akan kesempurnaan kondisi manusia. Aktor utama dalam pandangan liberalisme adalah individu, dengan didukung oleh aktor lain seperti NGO, MNC dan lain-lain. Ide liberalis yang sangat menonjol hingga saat ini dalam segi ekonomi, adalah masalah free trade. Francis Fukuyama, dalam bukunya yang berjudul “The End of History and The Last Man” menyatakan bahwa kebangkitan liberalisme juga didukung oleh pemikiran “berakhirnya sejarah” yang berdasarkan kekalahan komunisme dan kemenangan demokrasi liberal. (Fukuyama.1992)

Berkenaan dengan masalah penciptaan dan pemeliharaan perdamaian dunia, kaum liberalis melihat bahwa dengan adanya saling bekerja sama antar negara, maka terciptalah suatu aturan atau hukum internasional seperti gagasan yang dikemukakan oleh Hugo Grotius. Selain itu, kaum liberalis juga mengadakan apa itu yang disebut sebagai PBB (pada masa sekarang) sebagai lembaga yang bertugas sebagai media pemelihara perdamaian dunia serta mahkamah internasional.

NEO-LIBERALISME
Pada dasarnya, neo-liberalisme hampir sama dengan liberalisme klasik. Pada paham ini, juga beranggapan bahwa pasar sebagai The Invisible Hand yang mampu memperbaiki keadaan ekonomi dan memberikan keuntungan yang maksimal bagi tiap individu. Terobosan dari neo-liberalisme adalah IMF dengan solusi Sistem Bretton Woods-nya, yakni sistem yang menetapkan nilai tukar tetap mata uang. Maksudnya dalam hal ini adalah nilai tukar yang tetap stabil dan yang paling kondusif untuk diperdagangkan. (Jackson & Sorensen. 1999). Sistem ini keluar ketika nilai tukar uang mengambang pada tahun 1930 bahkan mengalami inflasi yang berakibat fatal pada perekonomian dunia pada saat itu.

Dengan agenda utama yang masih sama dengan liberalisme klasik, neo-liberalisme pada saat ini cenderung lebih mengejar kesejahteraan dengan menggalakkan perdagangan bebas. Aktor utama dalam paham ini adalah individu (namun lebih cenderung pada peranan institusi dalam mengatur kebebasan individu tersebut) serta didukung oleh perusahaan swasta, NGO, MNC dan lain-lain. Dalam neo-liberalisme, negara tetap tidak boleh mengintervensi pasar, jadi pasar tetap dibiarkan mengatur perekonomian dan segala aktivitasnya dengan catatan, mendapat pengawasan dan aturan-aturan tertentu dari institusi tersebut sehingga diharapkan individu tidak mempergunakan kebebasannya secara luas dan tanpa batasan. Mungkin jika dilihat sekilas, maka saya rasa akan timbul pertanyaan, “Dengan adanya kebebasan luas yang ditawarkan oleh liberalisme dan neo-liberalisme tersebut, bukannya malah beresiko akan timbulnya pasar gelap (black market) ?” Bagi orang liberalis, jawabannya adalah sangat minim. Dikarenakan pasar juga didasarkan pada aturan-aturan politik yang menyatakan kerangka kerja pasar. Pada saat bersamaan, kekuatan ekonomi dapat berfungsi sebagai basis bagi kekuatan politik yang saling berinteraksi dalam cara yang rumit. (Gilpin.1987)

Jadi, menurut saya, antara liberalisme dan neo-liberalisme memiliki perbedaan dimana kaum liberalis lebih menekankan pada kebebasan individu yang seluas-luasnya tanpa adanya intervensi dalam mengembangkan usaha mereka, sedangkan kaum neo-liberalis lebih cenderung menekankan pada pembentukan institusi-institusi tertentu dalam pengaturan kebebasan individu tersebut, seperti misalnya dengan pengadaan IMF, World Bank dan lain-lain.

Referensi:

Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). Theories of International Relations. New York: St. Martin’s Press.

Fukuyama, Francis. (1992). The End of History and The Last Man. New York: Free Press.

Griffiths, M., & O’Callagan, T., (2002) International Relations, The Key Concepts, Routledge.

Gilpin, R. (1987). The Political Economy of International Relations. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999). Introduction to International Relations, Oxford University Press.

Steans, Jill & Pettiford, Lloyd. (2009). International Relations : Perspectives and Themes. Pearson Education Limited, Edinburgh Gate.

0 Comments: