CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Rabu, Mei 26, 2010

English School

Dalam buku International Relations : The Key Concepts, Griffiths, O’Callaghan menyebutkan bahwa English School dapat menggambarkan perpaduan antara pendekatan moralis dan rasionalis. Dalam kata lain, sebuah sekolah yang berfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan moral, politik, sosial dan aturan sistem internasional, serta menunjukkan bagaimana mereka saling mendesak kepentingan negara serta tindakannya. (Griffiths, O’Callaghan. 2002). Sedangkan Linklater, menyebutkan bahwa English School, merupakan sebuah mazhab yang berorientasi pada kajian struktural, fungsional dan historikal dalam politik dunia (Linklater. 2006). Berkenaan dengan kajian struktural (yang kebanyakan oleh para sarjana HI didefinisikan sebagai pendistribusian kemampuan), sebelumnya kita tahu bahwa akibat struktur anarki dunia, hubungan internasional pada akhirnya diatur oleh berbagai macam peraturan-peraturan, dan oleh karena itu, interaksi negara-negara menunjukkan bahwa derajat suatu perintah tidak dapat diperkirakan secara wajar. Rasionalisme mengartikan kata struktur lebih cenderung pada kerangka kerja institusional dunia daripada polaritas yang ada. Berkenaan dengan kajian fungsional, para kaum rasionalis meneliti bagaimana struktur institusional dalam masyarakat internasional kontemporer telah berfungsi serta meneliti bagaimana perbandingannya dengan kemungkinan struktur institusional lain.

Dan yang terakhir, berkenaan dengan kajian historikal masyarakat internasional yang dilakukan English School, berkembang secara lambat sebagai tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan kunci tertentu yang diletakkan dalam agenda penelitian dalam British Committee pada teori politik internasional oleh Butterfield dan Wight. Wight mendefinisikan sistem negara sebagai sekelompok negara yang berdaulat, dalam arti ini berarti negara-negara tersebut mengakui bahwa tidak ada otoritas politik yang lebih tinggi lagi daripada negara. Wight menemukan tiga contoh sistem negara, yaitu sistem negara di Eropa yang berkembang pada sekitar abad ke-15, kemudian sistem Hellenic-Hellenistic klasik serta sistem negara yang masih ada selama periode Warring States.

English School ini juga membawa rasionalisme di dalamnya. Beberapa tokoh terkenal dalam English School adalah Martin Wight dan Hedley Bull. Martin Wight mendeskripsikan rasionalisme dalam serangkaian kuliahnya di London School of Economics pada sekitar tahun 1950-an. (Burchill. 1996). Selayaknya realisme, rasionalisme juga diawali dengan kondisi anarki, yang diakui oleh Wight sebagai situasi yang memaksa negara untuk mewujudkan kemanan mereka sendiri dan mengakui bahwa gagasan moralitas universal terus memeriksa egoisme kedaulatan negara. Singkatnya, tidak ada ototritas lebih tinggi daripada negara yang dilengkapi dengan hak resmi untuk memerintah negara tersebut. Menurut Wight, meskipun rasionalisme memiliki kesamaan dengan realisme berkenaan dengan kondisi anarki, namun keduanya tetap memiliki perbedaan dalam hal bagaimana suatu negara mengatur pencarian kekuasaan dalam kondisi anarki. Jika dalam realisme menaruh perhatian pada bagaimana negara-negara berbuat segala cara agar national interest-nya dapat tercapai (yaitu dengan saling mengalahkan antara negara satu dengan negara lain), maka dalam rasionalisme lebih menaruh perhatian pada bagaimana suatu negara memperoleh dan menggunakan seni ketelitian dari akomodasi serta tidak berkompromi.

Dan meskipun rasionalisme mengakui pula akan pentingnya negara dan sistem negara, namun para kaum rasionalis menolak anggapan kaum realis yang menyatakan bahwa politik dunia merupakan keadaan alami Hobbesian dimana tidak terdapat norma internasional sama sekali. (Jackson & Sorensen. 1999). Rasionalisme memandang negara merupakan gabungan antara Machstaat (negara yang berkuasa) serta Rechstaat (negara konstitusional), dimana kekuatan dan hukum yang terdapat dalam keduanya merupakan bentuk penting suatu hubungan internasional.

Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa rasionalisme secara khusus tertarik untuk menjelaskan tatanan internasional. Dan berkenaan dengan perihal tersebut, proyek kaum rasionalis adalah menjelaskan tingkat tatanan yang sangat tinggi di antara kesatuan-kesatuan politik yang menolak untuk tunduk kepada otoritas politik yang lebih tinggi. Tetapi pertanyaannya adalah apakah mungkin membuat suatu tatanan internasional dan menjadikan satu kesatuan peradaban yang sama mengingat pluralitas bangsa yang ada di dunia? Memang jika membentuk tatanan dengan peradaban yang sama adalah suatu hal yang sulit, namun jika menciptakan sebuah tatanan internasional atas dasar perbedaan tersebut, maka jawaban kaum rasionalis adalah bisa. Hal ini seperti yang telah dijelaskan oleh Wight yang menyatakan bahwa kesadaran yang besar akan perbedaan budaya dari orang-orang yang menurut dugaan semi-berperadaban dan barbar, memudahkan sistem politik berkomunikasi untuk membedakan hak serta kewajiban yang kemudian akan menghubungkan mereka bersama-sama dalam sebuah masyarakat internasional. Hedley Bull sendiri dalam salah satu karyanya menyebutkan bahwa masyarakat internasional (international society) muncul ketika sekelompok negara sadar akan kepentingan dan nilai bersama tertentu, membentuk suatu masyarakat dalam artian bahwa mereka meyakini dirinya sendiri dipersatukan oleh seperangkat aturan bersama dalam hubungannya antara satu dengan yang lain. Disamping itu, mereka juga saling berbagi dalam menjalankan institusi bersama. Menurut Bull, elemen suatu masyarakat itu selalu hadir dalam sistem internasional modern. (Jackson & Sorensen. 1999).

Dalam kesempatan ini, penulis akan menyampaikan pula kelebihan dan kelemahan rasionalisme. Adapun kelebihannya adalah rasionalisme mengindari apa yang disebut oleh E.H.Carr sebagai ‘sterilitas’ realisme serta ‘kenaifan dan kegembiraan’ idealisme. Kaum rasionalis dapat menunjukkan kemampuan negara untuk mewujudkan tata tertib dasar di antara mereka sendiri dan dengan menyangsikan kemampuan mereka mengembangkan suatu konsensus moral universal yang lebih jauh. Sedangkan kelemahannya adalah kegagalan mengembangkan sikap normatif yang memuaskan. Bagian yang menawarkan pendirian moral yang lebih tegas ini teerjadi karena rasa tidak percaya dari pemikiran etis abstrak dengan sedikit hubungan dekat dengan permasalahan utama negara. Ditambah lagi, kegagalan ini didukung akibat kecenderungan rasionalisme menekankan suatu bentuk revolusionisme yang mendukung penggulingan lembaga-lembaga politik yang ada sebagai cara meraih komunitas universal yang tunggal. (Burchill. 1996)

Referensi:
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. (1996). Theories of International Relations. New York : St. Martin’s Press.

Griffiths, Martin & O’Callaghan, Terry. (2002). International Relations : The Key Concepts. New York : Routledge.

Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999). Introduction to International Relations. New York : Oxford University Press.
Linklater, Andrew & Suganami, Hidemi. (2006). The English School of International Relation : A Contemporary Reassasment. New York : Cambridge University Press.

0 Comments: